Berita / Nusantara /
Meraba Keberlangsungan Industri Sawit Indonesia
Ilustrasi-petani kelapa sawit. (Dok. Elaeis)
Jakarta, elaeis.co - Direktur Penghimpunan Dana BPDPKS, Sunari menyampaikan, hampir separuh perkebunan kelapa sawit di Indonesia merupakan perkebunan milik petani swadaya.
Yang terluas itu kata dia berada di Pulau Sumatera dan Kalimantan, termasuk wilayah Timur Indonesia seperti Sulawesi, Maluku dan Papua.
"Pemerintah telah melakukan upaya strategis dalam meningkatkan kinerja sektor sawit, hanya saja, persoalan utama yang dihadapi sektor sawit saat ini turunnya harga CPO yang juga berdampak pada kesejahteraan petani," kata Sunari dalam Diskusi online Ngopi Sawit dan Launching Buku Panduan Sawit, dua hari lalu.
Menurut Sunari, untuk memperbaiki kondisi itu, perlu beberapa inovasi program yang dilakukan dalam jangka pendek dan panjang. Pertama, perbaikan dukungan untuk petani sawit rakyat melalui peningkatan pendataan petani.
Kedua, dukungan perbaikan rantai pasok petani sawit rakyat atau peningkatan daya saing. Misalnya, kata dia, melakukan perbaikan tata kelola pasokan dari petani ke pabrik kelapa sawit (PKS), daya saing PKS dan perbaikan infrastruktur logistik.
"Lalu yang ketiga, penyediaan layanan informasi kepada petani sawit rakyat atau penyediaan referensi harga TBS dan aplikasi petani sawit,” ujarnya.
Sementara, menurut Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Tofan Mahdi, secara umum terdapat tiga tantangan yang dihadapi industri sawit Nasional saat ini.
Pertama, bersama-sama berkolaborasi dalam rantai pasok kelapa sawit, semisal dengan tetap menjaga kinerja perkebunan kelapa sawit sehingga tingkat kesejahteraan petani sekitar kebun sawit juga tetap terjaga bahkan terangkat, kendati dengan kondisi ekonomi global yang masih belum menentu.
Lalu tantangan kedua ialah terkait keberlanjutan, terlebih dari total produksi minyak sawit Indonesia yang mencapai 53 juta ton, sekitar 70 persennya diekspor. Sementara 30 persen diserap di tingkat domestik. Dimana pasar utama minyak sawit adalah India, China, Uni Eropa dan Pakistan.
Untuk pasar Uni Eropa kata Tofan, menuntut sustainability, namun demikian persyaratan aspek keberlanjutan menjadi keniscayaan supaya bisa bertahan.
"Sustainability ini memastikan kelapa sawit tetap eksis dan berkelanjutan, terlebih pemerintah sudah komit untuk tidak menambah lahan, kendati produktivitas sawit rakyat masih menjadi PR besar," kata dia.
Sementara tantangan ketiga, ialah terkait kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang berdampak serius terhadap industri sawit. “Sebab itu, kita harus sering duduk bersama,” tandas Tofan.
Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto menilai, sampai saat ini kondisi petani kelapa sawit terutama petani swadaya tidak mengalami perubahan, kendati pemerintah telah menerbitkan beragam kebijakan.
Untuk itu ia mendorong ke depan membangun kemitraan harus menguntungkan dan sejajar. Dalam konteks kemitraan harus menguntungkan secara bersama, baik petani maupun pabrik kelapa sawit.
“Selama ini apakah kemitraan petani sudah seimbang dan sejajar, adil dan menguntungkan? Apakah pabrik sawit bersedia membagi saham kepemilikannya dengan petani?," tutur Darto.
Sampai saat ini juga kata Darto, petani masih belum memiliki daya tawar tinggi dan tidak bisa menentukan harga TBS sawit, serta bagaimana posisi tawar koperasi dengan pabrik sawit.
"Ke depan, berikanlah kesempatan masyarakat untuk mengelola kelapa sawit. Namun itu butuh kebijakan yang nyata,” tandas Darto.







Komentar Via Facebook :