https://www.elaeis.co

Terpopuler

  • #1

    Ribuan Masyarakat Riau Minta Perlindungan Menhan

    Jakarta, elaeis.co – Ribuan istri pemanen sawit diam-diam ikut bekerja memungut brondolan tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa status. Di balik untung besar kebun sawit, mereka justru jadi “buruh ilegal” yang tak pernah tercatat. Sebuah laporan lapangan Project Multatuli kembali menyorot sisi gelap industri sawit Indonesia. Di balik produksi tandan buah segar (TBS) yang terus meningkat, ribuan istri pekerja pemanen justru terjerat dalam sistem kerja tak berstatus, bekerja setiap hari, namun tak pernah diakui sebagai buruh. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Family Geng”, yakni para istri yang ikut membantu suami mengejar target panen di kebun sawit milik perusahaan-perusahaan besar.  Mereka bekerja tanpa seragam, tanpa alat pelindung diri, dan tanpa perlindungan apa pun. Secara administratif, mereka tidak dianggap ada. Secara faktual, mereka menopang produksi. Di perkebunan PT London Sumatera (Lonsum), Sumatera Utara (Sumut), praktik ini terlihat sangat nyata. Para istri memunguti brondolan sawit 5–6 jam per hari, berjalan di antara semak dan duri tanpa alas kaki yang layak. Seluruh risiko—dari tertusuk duri, digigit ular, hingga kecelakaan kerja—ditanggung sendiri. Salah satu dari mereka adalah Tinik, 24 tahun. Lima tahun ia membantu suami memanen sawit, bahkan saat hamil tua. Ia pernah terjatuh dari motor saat membawa karung buah, pernah terkena infeksi akibat duri sawit menancap dalam, namun tetap masuk kerja keesokan harinya. “Kalau gak bantu, target tak tercapai. Suami bisa dipotong insentif, atau tak diperpanjang kontraknya,” ujarnya dalam laporan Project Multatuli. Target yang dimaksud bukan main-main. Untuk pohon sawit berusia lebih dari 10 tahun, produksi bisa mencapai 1,1–1,2 ton TBS per orang per hari. Jika tidak bersih dari brondolan, hasil panen dianggap gagal. Di sinilah peran “buruh ilegal” tersebut menjadi krusial, sekaligus paling rentan. Menurut Herwin Nasution, Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo), pola ini merupakan bentuk eksploitasi relasional. Perusahaan memanfaatkan hubungan keluarga untuk menekan biaya tenaga kerja. “Kalau mereka bekerja rutin dan berada di bawah pengawasan perusahaan, mereka seharusnya diakui sebagai pekerja,” tegasnya. Situasi ini juga diakui Lely Zailani, Ketua HAPSARI. Ia menyebut praktik serupa terjadi di banyak perkebunan sawit di Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Langkat. Namun, minimnya sumber daya membuat organisasi perempuan kesulitan memberi pendampingan hukum. Lonsum sendiri merupakan salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia, dengan lahan lebih dari 100 ribu hektare di Sumut, Sumsel, Kaltim, Jawa, hingga Sulawesi. Pada 2019, perusahaan ini sempat didorong keluar dari keanggotaan RSPO karena temuan pelanggaran ketenagakerjaan, meski perusahaan mengklaim keluar secara sukarela. Di balik angka-angka dan status perusahaan, ada kisah personal yang terlupakan—seperti mimpi Tinik untuk kuliah dan memberikan masa depan lebih baik bagi dua anaknya. “Awak tak mau anak-anak jadi buruh kebun kayak kami,” katanya. Kisah-kisah ini menunjukkan satu kenyataan: industri sawit tak hanya berjalan di atas keringat buruh resmi, tapi juga pada tenaga perempuan yang tak pernah tercatat. Dan selama mereka tak diakui, eksploitasi akan terus berlangsung seolah-olah itu hal biasa.
  • #2

    Ribuan Hektar Kelapa Sawit Ditindak Satgas PKH, Petani Tebo Merapat ke Aspek-Pir

    Jakarta, elaeis.co – Ribuan istri pemanen sawit diam-diam ikut bekerja memungut brondolan tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa status. Di balik untung besar kebun sawit, mereka justru jadi “buruh ilegal” yang tak pernah tercatat. Sebuah laporan lapangan Project Multatuli kembali menyorot sisi gelap industri sawit Indonesia. Di balik produksi tandan buah segar (TBS) yang terus meningkat, ribuan istri pekerja pemanen justru terjerat dalam sistem kerja tak berstatus, bekerja setiap hari, namun tak pernah diakui sebagai buruh. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Family Geng”, yakni para istri yang ikut membantu suami mengejar target panen di kebun sawit milik perusahaan-perusahaan besar.  Mereka bekerja tanpa seragam, tanpa alat pelindung diri, dan tanpa perlindungan apa pun. Secara administratif, mereka tidak dianggap ada. Secara faktual, mereka menopang produksi. Di perkebunan PT London Sumatera (Lonsum), Sumatera Utara (Sumut), praktik ini terlihat sangat nyata. Para istri memunguti brondolan sawit 5–6 jam per hari, berjalan di antara semak dan duri tanpa alas kaki yang layak. Seluruh risiko—dari tertusuk duri, digigit ular, hingga kecelakaan kerja—ditanggung sendiri. Salah satu dari mereka adalah Tinik, 24 tahun. Lima tahun ia membantu suami memanen sawit, bahkan saat hamil tua. Ia pernah terjatuh dari motor saat membawa karung buah, pernah terkena infeksi akibat duri sawit menancap dalam, namun tetap masuk kerja keesokan harinya. “Kalau gak bantu, target tak tercapai. Suami bisa dipotong insentif, atau tak diperpanjang kontraknya,” ujarnya dalam laporan Project Multatuli. Target yang dimaksud bukan main-main. Untuk pohon sawit berusia lebih dari 10 tahun, produksi bisa mencapai 1,1–1,2 ton TBS per orang per hari. Jika tidak bersih dari brondolan, hasil panen dianggap gagal. Di sinilah peran “buruh ilegal” tersebut menjadi krusial, sekaligus paling rentan. Menurut Herwin Nasution, Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo), pola ini merupakan bentuk eksploitasi relasional. Perusahaan memanfaatkan hubungan keluarga untuk menekan biaya tenaga kerja. “Kalau mereka bekerja rutin dan berada di bawah pengawasan perusahaan, mereka seharusnya diakui sebagai pekerja,” tegasnya. Situasi ini juga diakui Lely Zailani, Ketua HAPSARI. Ia menyebut praktik serupa terjadi di banyak perkebunan sawit di Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Langkat. Namun, minimnya sumber daya membuat organisasi perempuan kesulitan memberi pendampingan hukum. Lonsum sendiri merupakan salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia, dengan lahan lebih dari 100 ribu hektare di Sumut, Sumsel, Kaltim, Jawa, hingga Sulawesi. Pada 2019, perusahaan ini sempat didorong keluar dari keanggotaan RSPO karena temuan pelanggaran ketenagakerjaan, meski perusahaan mengklaim keluar secara sukarela. Di balik angka-angka dan status perusahaan, ada kisah personal yang terlupakan—seperti mimpi Tinik untuk kuliah dan memberikan masa depan lebih baik bagi dua anaknya. “Awak tak mau anak-anak jadi buruh kebun kayak kami,” katanya. Kisah-kisah ini menunjukkan satu kenyataan: industri sawit tak hanya berjalan di atas keringat buruh resmi, tapi juga pada tenaga perempuan yang tak pernah tercatat. Dan selama mereka tak diakui, eksploitasi akan terus berlangsung seolah-olah itu hal biasa.
  • #3

    Menyoal TNTN

    Jakarta, elaeis.co – Ribuan istri pemanen sawit diam-diam ikut bekerja memungut brondolan tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa status. Di balik untung besar kebun sawit, mereka justru jadi “buruh ilegal” yang tak pernah tercatat. Sebuah laporan lapangan Project Multatuli kembali menyorot sisi gelap industri sawit Indonesia. Di balik produksi tandan buah segar (TBS) yang terus meningkat, ribuan istri pekerja pemanen justru terjerat dalam sistem kerja tak berstatus, bekerja setiap hari, namun tak pernah diakui sebagai buruh. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Family Geng”, yakni para istri yang ikut membantu suami mengejar target panen di kebun sawit milik perusahaan-perusahaan besar.  Mereka bekerja tanpa seragam, tanpa alat pelindung diri, dan tanpa perlindungan apa pun. Secara administratif, mereka tidak dianggap ada. Secara faktual, mereka menopang produksi. Di perkebunan PT London Sumatera (Lonsum), Sumatera Utara (Sumut), praktik ini terlihat sangat nyata. Para istri memunguti brondolan sawit 5–6 jam per hari, berjalan di antara semak dan duri tanpa alas kaki yang layak. Seluruh risiko—dari tertusuk duri, digigit ular, hingga kecelakaan kerja—ditanggung sendiri. Salah satu dari mereka adalah Tinik, 24 tahun. Lima tahun ia membantu suami memanen sawit, bahkan saat hamil tua. Ia pernah terjatuh dari motor saat membawa karung buah, pernah terkena infeksi akibat duri sawit menancap dalam, namun tetap masuk kerja keesokan harinya. “Kalau gak bantu, target tak tercapai. Suami bisa dipotong insentif, atau tak diperpanjang kontraknya,” ujarnya dalam laporan Project Multatuli. Target yang dimaksud bukan main-main. Untuk pohon sawit berusia lebih dari 10 tahun, produksi bisa mencapai 1,1–1,2 ton TBS per orang per hari. Jika tidak bersih dari brondolan, hasil panen dianggap gagal. Di sinilah peran “buruh ilegal” tersebut menjadi krusial, sekaligus paling rentan. Menurut Herwin Nasution, Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo), pola ini merupakan bentuk eksploitasi relasional. Perusahaan memanfaatkan hubungan keluarga untuk menekan biaya tenaga kerja. “Kalau mereka bekerja rutin dan berada di bawah pengawasan perusahaan, mereka seharusnya diakui sebagai pekerja,” tegasnya. Situasi ini juga diakui Lely Zailani, Ketua HAPSARI. Ia menyebut praktik serupa terjadi di banyak perkebunan sawit di Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Langkat. Namun, minimnya sumber daya membuat organisasi perempuan kesulitan memberi pendampingan hukum. Lonsum sendiri merupakan salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia, dengan lahan lebih dari 100 ribu hektare di Sumut, Sumsel, Kaltim, Jawa, hingga Sulawesi. Pada 2019, perusahaan ini sempat didorong keluar dari keanggotaan RSPO karena temuan pelanggaran ketenagakerjaan, meski perusahaan mengklaim keluar secara sukarela. Di balik angka-angka dan status perusahaan, ada kisah personal yang terlupakan—seperti mimpi Tinik untuk kuliah dan memberikan masa depan lebih baik bagi dua anaknya. “Awak tak mau anak-anak jadi buruh kebun kayak kami,” katanya. Kisah-kisah ini menunjukkan satu kenyataan: industri sawit tak hanya berjalan di atas keringat buruh resmi, tapi juga pada tenaga perempuan yang tak pernah tercatat. Dan selama mereka tak diakui, eksploitasi akan terus berlangsung seolah-olah itu hal biasa.
  • #4

    Bikin Jantungan Penertiban Kawasan Hutan 

    Jakarta, elaeis.co – Ribuan istri pemanen sawit diam-diam ikut bekerja memungut brondolan tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa status. Di balik untung besar kebun sawit, mereka justru jadi “buruh ilegal” yang tak pernah tercatat. Sebuah laporan lapangan Project Multatuli kembali menyorot sisi gelap industri sawit Indonesia. Di balik produksi tandan buah segar (TBS) yang terus meningkat, ribuan istri pekerja pemanen justru terjerat dalam sistem kerja tak berstatus, bekerja setiap hari, namun tak pernah diakui sebagai buruh. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Family Geng”, yakni para istri yang ikut membantu suami mengejar target panen di kebun sawit milik perusahaan-perusahaan besar.  Mereka bekerja tanpa seragam, tanpa alat pelindung diri, dan tanpa perlindungan apa pun. Secara administratif, mereka tidak dianggap ada. Secara faktual, mereka menopang produksi. Di perkebunan PT London Sumatera (Lonsum), Sumatera Utara (Sumut), praktik ini terlihat sangat nyata. Para istri memunguti brondolan sawit 5–6 jam per hari, berjalan di antara semak dan duri tanpa alas kaki yang layak. Seluruh risiko—dari tertusuk duri, digigit ular, hingga kecelakaan kerja—ditanggung sendiri. Salah satu dari mereka adalah Tinik, 24 tahun. Lima tahun ia membantu suami memanen sawit, bahkan saat hamil tua. Ia pernah terjatuh dari motor saat membawa karung buah, pernah terkena infeksi akibat duri sawit menancap dalam, namun tetap masuk kerja keesokan harinya. “Kalau gak bantu, target tak tercapai. Suami bisa dipotong insentif, atau tak diperpanjang kontraknya,” ujarnya dalam laporan Project Multatuli. Target yang dimaksud bukan main-main. Untuk pohon sawit berusia lebih dari 10 tahun, produksi bisa mencapai 1,1–1,2 ton TBS per orang per hari. Jika tidak bersih dari brondolan, hasil panen dianggap gagal. Di sinilah peran “buruh ilegal” tersebut menjadi krusial, sekaligus paling rentan. Menurut Herwin Nasution, Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo), pola ini merupakan bentuk eksploitasi relasional. Perusahaan memanfaatkan hubungan keluarga untuk menekan biaya tenaga kerja. “Kalau mereka bekerja rutin dan berada di bawah pengawasan perusahaan, mereka seharusnya diakui sebagai pekerja,” tegasnya. Situasi ini juga diakui Lely Zailani, Ketua HAPSARI. Ia menyebut praktik serupa terjadi di banyak perkebunan sawit di Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Langkat. Namun, minimnya sumber daya membuat organisasi perempuan kesulitan memberi pendampingan hukum. Lonsum sendiri merupakan salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia, dengan lahan lebih dari 100 ribu hektare di Sumut, Sumsel, Kaltim, Jawa, hingga Sulawesi. Pada 2019, perusahaan ini sempat didorong keluar dari keanggotaan RSPO karena temuan pelanggaran ketenagakerjaan, meski perusahaan mengklaim keluar secara sukarela. Di balik angka-angka dan status perusahaan, ada kisah personal yang terlupakan—seperti mimpi Tinik untuk kuliah dan memberikan masa depan lebih baik bagi dua anaknya. “Awak tak mau anak-anak jadi buruh kebun kayak kami,” katanya. Kisah-kisah ini menunjukkan satu kenyataan: industri sawit tak hanya berjalan di atas keringat buruh resmi, tapi juga pada tenaga perempuan yang tak pernah tercatat. Dan selama mereka tak diakui, eksploitasi akan terus berlangsung seolah-olah itu hal biasa.
  • #5

    Beredar SK Kades di Siak Jual Lahan PT SSL

    Jakarta, elaeis.co – Ribuan istri pemanen sawit diam-diam ikut bekerja memungut brondolan tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa status. Di balik untung besar kebun sawit, mereka justru jadi “buruh ilegal” yang tak pernah tercatat. Sebuah laporan lapangan Project Multatuli kembali menyorot sisi gelap industri sawit Indonesia. Di balik produksi tandan buah segar (TBS) yang terus meningkat, ribuan istri pekerja pemanen justru terjerat dalam sistem kerja tak berstatus, bekerja setiap hari, namun tak pernah diakui sebagai buruh. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Family Geng”, yakni para istri yang ikut membantu suami mengejar target panen di kebun sawit milik perusahaan-perusahaan besar.  Mereka bekerja tanpa seragam, tanpa alat pelindung diri, dan tanpa perlindungan apa pun. Secara administratif, mereka tidak dianggap ada. Secara faktual, mereka menopang produksi. Di perkebunan PT London Sumatera (Lonsum), Sumatera Utara (Sumut), praktik ini terlihat sangat nyata. Para istri memunguti brondolan sawit 5–6 jam per hari, berjalan di antara semak dan duri tanpa alas kaki yang layak. Seluruh risiko—dari tertusuk duri, digigit ular, hingga kecelakaan kerja—ditanggung sendiri. Salah satu dari mereka adalah Tinik, 24 tahun. Lima tahun ia membantu suami memanen sawit, bahkan saat hamil tua. Ia pernah terjatuh dari motor saat membawa karung buah, pernah terkena infeksi akibat duri sawit menancap dalam, namun tetap masuk kerja keesokan harinya. “Kalau gak bantu, target tak tercapai. Suami bisa dipotong insentif, atau tak diperpanjang kontraknya,” ujarnya dalam laporan Project Multatuli. Target yang dimaksud bukan main-main. Untuk pohon sawit berusia lebih dari 10 tahun, produksi bisa mencapai 1,1–1,2 ton TBS per orang per hari. Jika tidak bersih dari brondolan, hasil panen dianggap gagal. Di sinilah peran “buruh ilegal” tersebut menjadi krusial, sekaligus paling rentan. Menurut Herwin Nasution, Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo), pola ini merupakan bentuk eksploitasi relasional. Perusahaan memanfaatkan hubungan keluarga untuk menekan biaya tenaga kerja. “Kalau mereka bekerja rutin dan berada di bawah pengawasan perusahaan, mereka seharusnya diakui sebagai pekerja,” tegasnya. Situasi ini juga diakui Lely Zailani, Ketua HAPSARI. Ia menyebut praktik serupa terjadi di banyak perkebunan sawit di Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Langkat. Namun, minimnya sumber daya membuat organisasi perempuan kesulitan memberi pendampingan hukum. Lonsum sendiri merupakan salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia, dengan lahan lebih dari 100 ribu hektare di Sumut, Sumsel, Kaltim, Jawa, hingga Sulawesi. Pada 2019, perusahaan ini sempat didorong keluar dari keanggotaan RSPO karena temuan pelanggaran ketenagakerjaan, meski perusahaan mengklaim keluar secara sukarela. Di balik angka-angka dan status perusahaan, ada kisah personal yang terlupakan—seperti mimpi Tinik untuk kuliah dan memberikan masa depan lebih baik bagi dua anaknya. “Awak tak mau anak-anak jadi buruh kebun kayak kami,” katanya. Kisah-kisah ini menunjukkan satu kenyataan: industri sawit tak hanya berjalan di atas keringat buruh resmi, tapi juga pada tenaga perempuan yang tak pernah tercatat. Dan selama mereka tak diakui, eksploitasi akan terus berlangsung seolah-olah itu hal biasa.
  • #6

    DMO Sawit untuk B50, CPO dan TBS Diprediksi Jatuh Bebas

    Jakarta, elaeis.co – Ribuan istri pemanen sawit diam-diam ikut bekerja memungut brondolan tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa status. Di balik untung besar kebun sawit, mereka justru jadi “buruh ilegal” yang tak pernah tercatat. Sebuah laporan lapangan Project Multatuli kembali menyorot sisi gelap industri sawit Indonesia. Di balik produksi tandan buah segar (TBS) yang terus meningkat, ribuan istri pekerja pemanen justru terjerat dalam sistem kerja tak berstatus, bekerja setiap hari, namun tak pernah diakui sebagai buruh. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Family Geng”, yakni para istri yang ikut membantu suami mengejar target panen di kebun sawit milik perusahaan-perusahaan besar.  Mereka bekerja tanpa seragam, tanpa alat pelindung diri, dan tanpa perlindungan apa pun. Secara administratif, mereka tidak dianggap ada. Secara faktual, mereka menopang produksi. Di perkebunan PT London Sumatera (Lonsum), Sumatera Utara (Sumut), praktik ini terlihat sangat nyata. Para istri memunguti brondolan sawit 5–6 jam per hari, berjalan di antara semak dan duri tanpa alas kaki yang layak. Seluruh risiko—dari tertusuk duri, digigit ular, hingga kecelakaan kerja—ditanggung sendiri. Salah satu dari mereka adalah Tinik, 24 tahun. Lima tahun ia membantu suami memanen sawit, bahkan saat hamil tua. Ia pernah terjatuh dari motor saat membawa karung buah, pernah terkena infeksi akibat duri sawit menancap dalam, namun tetap masuk kerja keesokan harinya. “Kalau gak bantu, target tak tercapai. Suami bisa dipotong insentif, atau tak diperpanjang kontraknya,” ujarnya dalam laporan Project Multatuli. Target yang dimaksud bukan main-main. Untuk pohon sawit berusia lebih dari 10 tahun, produksi bisa mencapai 1,1–1,2 ton TBS per orang per hari. Jika tidak bersih dari brondolan, hasil panen dianggap gagal. Di sinilah peran “buruh ilegal” tersebut menjadi krusial, sekaligus paling rentan. Menurut Herwin Nasution, Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo), pola ini merupakan bentuk eksploitasi relasional. Perusahaan memanfaatkan hubungan keluarga untuk menekan biaya tenaga kerja. “Kalau mereka bekerja rutin dan berada di bawah pengawasan perusahaan, mereka seharusnya diakui sebagai pekerja,” tegasnya. Situasi ini juga diakui Lely Zailani, Ketua HAPSARI. Ia menyebut praktik serupa terjadi di banyak perkebunan sawit di Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Langkat. Namun, minimnya sumber daya membuat organisasi perempuan kesulitan memberi pendampingan hukum. Lonsum sendiri merupakan salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia, dengan lahan lebih dari 100 ribu hektare di Sumut, Sumsel, Kaltim, Jawa, hingga Sulawesi. Pada 2019, perusahaan ini sempat didorong keluar dari keanggotaan RSPO karena temuan pelanggaran ketenagakerjaan, meski perusahaan mengklaim keluar secara sukarela. Di balik angka-angka dan status perusahaan, ada kisah personal yang terlupakan—seperti mimpi Tinik untuk kuliah dan memberikan masa depan lebih baik bagi dua anaknya. “Awak tak mau anak-anak jadi buruh kebun kayak kami,” katanya. Kisah-kisah ini menunjukkan satu kenyataan: industri sawit tak hanya berjalan di atas keringat buruh resmi, tapi juga pada tenaga perempuan yang tak pernah tercatat. Dan selama mereka tak diakui, eksploitasi akan terus berlangsung seolah-olah itu hal biasa.
  • #7

    Berubah Jadi Kebun Sawit, Satgas PKH Didesak Tertibkan Tahura SSH

    Jakarta, elaeis.co – Ribuan istri pemanen sawit diam-diam ikut bekerja memungut brondolan tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa status. Di balik untung besar kebun sawit, mereka justru jadi “buruh ilegal” yang tak pernah tercatat. Sebuah laporan lapangan Project Multatuli kembali menyorot sisi gelap industri sawit Indonesia. Di balik produksi tandan buah segar (TBS) yang terus meningkat, ribuan istri pekerja pemanen justru terjerat dalam sistem kerja tak berstatus, bekerja setiap hari, namun tak pernah diakui sebagai buruh. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Family Geng”, yakni para istri yang ikut membantu suami mengejar target panen di kebun sawit milik perusahaan-perusahaan besar.  Mereka bekerja tanpa seragam, tanpa alat pelindung diri, dan tanpa perlindungan apa pun. Secara administratif, mereka tidak dianggap ada. Secara faktual, mereka menopang produksi. Di perkebunan PT London Sumatera (Lonsum), Sumatera Utara (Sumut), praktik ini terlihat sangat nyata. Para istri memunguti brondolan sawit 5–6 jam per hari, berjalan di antara semak dan duri tanpa alas kaki yang layak. Seluruh risiko—dari tertusuk duri, digigit ular, hingga kecelakaan kerja—ditanggung sendiri. Salah satu dari mereka adalah Tinik, 24 tahun. Lima tahun ia membantu suami memanen sawit, bahkan saat hamil tua. Ia pernah terjatuh dari motor saat membawa karung buah, pernah terkena infeksi akibat duri sawit menancap dalam, namun tetap masuk kerja keesokan harinya. “Kalau gak bantu, target tak tercapai. Suami bisa dipotong insentif, atau tak diperpanjang kontraknya,” ujarnya dalam laporan Project Multatuli. Target yang dimaksud bukan main-main. Untuk pohon sawit berusia lebih dari 10 tahun, produksi bisa mencapai 1,1–1,2 ton TBS per orang per hari. Jika tidak bersih dari brondolan, hasil panen dianggap gagal. Di sinilah peran “buruh ilegal” tersebut menjadi krusial, sekaligus paling rentan. Menurut Herwin Nasution, Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo), pola ini merupakan bentuk eksploitasi relasional. Perusahaan memanfaatkan hubungan keluarga untuk menekan biaya tenaga kerja. “Kalau mereka bekerja rutin dan berada di bawah pengawasan perusahaan, mereka seharusnya diakui sebagai pekerja,” tegasnya. Situasi ini juga diakui Lely Zailani, Ketua HAPSARI. Ia menyebut praktik serupa terjadi di banyak perkebunan sawit di Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Langkat. Namun, minimnya sumber daya membuat organisasi perempuan kesulitan memberi pendampingan hukum. Lonsum sendiri merupakan salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia, dengan lahan lebih dari 100 ribu hektare di Sumut, Sumsel, Kaltim, Jawa, hingga Sulawesi. Pada 2019, perusahaan ini sempat didorong keluar dari keanggotaan RSPO karena temuan pelanggaran ketenagakerjaan, meski perusahaan mengklaim keluar secara sukarela. Di balik angka-angka dan status perusahaan, ada kisah personal yang terlupakan—seperti mimpi Tinik untuk kuliah dan memberikan masa depan lebih baik bagi dua anaknya. “Awak tak mau anak-anak jadi buruh kebun kayak kami,” katanya. Kisah-kisah ini menunjukkan satu kenyataan: industri sawit tak hanya berjalan di atas keringat buruh resmi, tapi juga pada tenaga perempuan yang tak pernah tercatat. Dan selama mereka tak diakui, eksploitasi akan terus berlangsung seolah-olah itu hal biasa.
  • #8

    1.200 Hektar Kebun Sawit di Asahan Siap Dialihkan Jadi Sawah Tadah Hujan

    Jakarta, elaeis.co – Ribuan istri pemanen sawit diam-diam ikut bekerja memungut brondolan tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa status. Di balik untung besar kebun sawit, mereka justru jadi “buruh ilegal” yang tak pernah tercatat. Sebuah laporan lapangan Project Multatuli kembali menyorot sisi gelap industri sawit Indonesia. Di balik produksi tandan buah segar (TBS) yang terus meningkat, ribuan istri pekerja pemanen justru terjerat dalam sistem kerja tak berstatus, bekerja setiap hari, namun tak pernah diakui sebagai buruh. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Family Geng”, yakni para istri yang ikut membantu suami mengejar target panen di kebun sawit milik perusahaan-perusahaan besar.  Mereka bekerja tanpa seragam, tanpa alat pelindung diri, dan tanpa perlindungan apa pun. Secara administratif, mereka tidak dianggap ada. Secara faktual, mereka menopang produksi. Di perkebunan PT London Sumatera (Lonsum), Sumatera Utara (Sumut), praktik ini terlihat sangat nyata. Para istri memunguti brondolan sawit 5–6 jam per hari, berjalan di antara semak dan duri tanpa alas kaki yang layak. Seluruh risiko—dari tertusuk duri, digigit ular, hingga kecelakaan kerja—ditanggung sendiri. Salah satu dari mereka adalah Tinik, 24 tahun. Lima tahun ia membantu suami memanen sawit, bahkan saat hamil tua. Ia pernah terjatuh dari motor saat membawa karung buah, pernah terkena infeksi akibat duri sawit menancap dalam, namun tetap masuk kerja keesokan harinya. “Kalau gak bantu, target tak tercapai. Suami bisa dipotong insentif, atau tak diperpanjang kontraknya,” ujarnya dalam laporan Project Multatuli. Target yang dimaksud bukan main-main. Untuk pohon sawit berusia lebih dari 10 tahun, produksi bisa mencapai 1,1–1,2 ton TBS per orang per hari. Jika tidak bersih dari brondolan, hasil panen dianggap gagal. Di sinilah peran “buruh ilegal” tersebut menjadi krusial, sekaligus paling rentan. Menurut Herwin Nasution, Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo), pola ini merupakan bentuk eksploitasi relasional. Perusahaan memanfaatkan hubungan keluarga untuk menekan biaya tenaga kerja. “Kalau mereka bekerja rutin dan berada di bawah pengawasan perusahaan, mereka seharusnya diakui sebagai pekerja,” tegasnya. Situasi ini juga diakui Lely Zailani, Ketua HAPSARI. Ia menyebut praktik serupa terjadi di banyak perkebunan sawit di Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Langkat. Namun, minimnya sumber daya membuat organisasi perempuan kesulitan memberi pendampingan hukum. Lonsum sendiri merupakan salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia, dengan lahan lebih dari 100 ribu hektare di Sumut, Sumsel, Kaltim, Jawa, hingga Sulawesi. Pada 2019, perusahaan ini sempat didorong keluar dari keanggotaan RSPO karena temuan pelanggaran ketenagakerjaan, meski perusahaan mengklaim keluar secara sukarela. Di balik angka-angka dan status perusahaan, ada kisah personal yang terlupakan—seperti mimpi Tinik untuk kuliah dan memberikan masa depan lebih baik bagi dua anaknya. “Awak tak mau anak-anak jadi buruh kebun kayak kami,” katanya. Kisah-kisah ini menunjukkan satu kenyataan: industri sawit tak hanya berjalan di atas keringat buruh resmi, tapi juga pada tenaga perempuan yang tak pernah tercatat. Dan selama mereka tak diakui, eksploitasi akan terus berlangsung seolah-olah itu hal biasa.
  • #9

    Klaim Kawasan Hutan Buat PSR di Kalteng Terseok-Seok

    Jakarta, elaeis.co – Ribuan istri pemanen sawit diam-diam ikut bekerja memungut brondolan tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa status. Di balik untung besar kebun sawit, mereka justru jadi “buruh ilegal” yang tak pernah tercatat. Sebuah laporan lapangan Project Multatuli kembali menyorot sisi gelap industri sawit Indonesia. Di balik produksi tandan buah segar (TBS) yang terus meningkat, ribuan istri pekerja pemanen justru terjerat dalam sistem kerja tak berstatus, bekerja setiap hari, namun tak pernah diakui sebagai buruh. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Family Geng”, yakni para istri yang ikut membantu suami mengejar target panen di kebun sawit milik perusahaan-perusahaan besar.  Mereka bekerja tanpa seragam, tanpa alat pelindung diri, dan tanpa perlindungan apa pun. Secara administratif, mereka tidak dianggap ada. Secara faktual, mereka menopang produksi. Di perkebunan PT London Sumatera (Lonsum), Sumatera Utara (Sumut), praktik ini terlihat sangat nyata. Para istri memunguti brondolan sawit 5–6 jam per hari, berjalan di antara semak dan duri tanpa alas kaki yang layak. Seluruh risiko—dari tertusuk duri, digigit ular, hingga kecelakaan kerja—ditanggung sendiri. Salah satu dari mereka adalah Tinik, 24 tahun. Lima tahun ia membantu suami memanen sawit, bahkan saat hamil tua. Ia pernah terjatuh dari motor saat membawa karung buah, pernah terkena infeksi akibat duri sawit menancap dalam, namun tetap masuk kerja keesokan harinya. “Kalau gak bantu, target tak tercapai. Suami bisa dipotong insentif, atau tak diperpanjang kontraknya,” ujarnya dalam laporan Project Multatuli. Target yang dimaksud bukan main-main. Untuk pohon sawit berusia lebih dari 10 tahun, produksi bisa mencapai 1,1–1,2 ton TBS per orang per hari. Jika tidak bersih dari brondolan, hasil panen dianggap gagal. Di sinilah peran “buruh ilegal” tersebut menjadi krusial, sekaligus paling rentan. Menurut Herwin Nasution, Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo), pola ini merupakan bentuk eksploitasi relasional. Perusahaan memanfaatkan hubungan keluarga untuk menekan biaya tenaga kerja. “Kalau mereka bekerja rutin dan berada di bawah pengawasan perusahaan, mereka seharusnya diakui sebagai pekerja,” tegasnya. Situasi ini juga diakui Lely Zailani, Ketua HAPSARI. Ia menyebut praktik serupa terjadi di banyak perkebunan sawit di Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Langkat. Namun, minimnya sumber daya membuat organisasi perempuan kesulitan memberi pendampingan hukum. Lonsum sendiri merupakan salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia, dengan lahan lebih dari 100 ribu hektare di Sumut, Sumsel, Kaltim, Jawa, hingga Sulawesi. Pada 2019, perusahaan ini sempat didorong keluar dari keanggotaan RSPO karena temuan pelanggaran ketenagakerjaan, meski perusahaan mengklaim keluar secara sukarela. Di balik angka-angka dan status perusahaan, ada kisah personal yang terlupakan—seperti mimpi Tinik untuk kuliah dan memberikan masa depan lebih baik bagi dua anaknya. “Awak tak mau anak-anak jadi buruh kebun kayak kami,” katanya. Kisah-kisah ini menunjukkan satu kenyataan: industri sawit tak hanya berjalan di atas keringat buruh resmi, tapi juga pada tenaga perempuan yang tak pernah tercatat. Dan selama mereka tak diakui, eksploitasi akan terus berlangsung seolah-olah itu hal biasa.
  • #10

    BPDP hingga Perusahaan Sawit Takjub Melihat Mahasiswa INSTIPER Praktik Lapangan

    Jakarta, elaeis.co – Ribuan istri pemanen sawit diam-diam ikut bekerja memungut brondolan tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa status. Di balik untung besar kebun sawit, mereka justru jadi “buruh ilegal” yang tak pernah tercatat. Sebuah laporan lapangan Project Multatuli kembali menyorot sisi gelap industri sawit Indonesia. Di balik produksi tandan buah segar (TBS) yang terus meningkat, ribuan istri pekerja pemanen justru terjerat dalam sistem kerja tak berstatus, bekerja setiap hari, namun tak pernah diakui sebagai buruh. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Family Geng”, yakni para istri yang ikut membantu suami mengejar target panen di kebun sawit milik perusahaan-perusahaan besar.  Mereka bekerja tanpa seragam, tanpa alat pelindung diri, dan tanpa perlindungan apa pun. Secara administratif, mereka tidak dianggap ada. Secara faktual, mereka menopang produksi. Di perkebunan PT London Sumatera (Lonsum), Sumatera Utara (Sumut), praktik ini terlihat sangat nyata. Para istri memunguti brondolan sawit 5–6 jam per hari, berjalan di antara semak dan duri tanpa alas kaki yang layak. Seluruh risiko—dari tertusuk duri, digigit ular, hingga kecelakaan kerja—ditanggung sendiri. Salah satu dari mereka adalah Tinik, 24 tahun. Lima tahun ia membantu suami memanen sawit, bahkan saat hamil tua. Ia pernah terjatuh dari motor saat membawa karung buah, pernah terkena infeksi akibat duri sawit menancap dalam, namun tetap masuk kerja keesokan harinya. “Kalau gak bantu, target tak tercapai. Suami bisa dipotong insentif, atau tak diperpanjang kontraknya,” ujarnya dalam laporan Project Multatuli. Target yang dimaksud bukan main-main. Untuk pohon sawit berusia lebih dari 10 tahun, produksi bisa mencapai 1,1–1,2 ton TBS per orang per hari. Jika tidak bersih dari brondolan, hasil panen dianggap gagal. Di sinilah peran “buruh ilegal” tersebut menjadi krusial, sekaligus paling rentan. Menurut Herwin Nasution, Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo), pola ini merupakan bentuk eksploitasi relasional. Perusahaan memanfaatkan hubungan keluarga untuk menekan biaya tenaga kerja. “Kalau mereka bekerja rutin dan berada di bawah pengawasan perusahaan, mereka seharusnya diakui sebagai pekerja,” tegasnya. Situasi ini juga diakui Lely Zailani, Ketua HAPSARI. Ia menyebut praktik serupa terjadi di banyak perkebunan sawit di Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Langkat. Namun, minimnya sumber daya membuat organisasi perempuan kesulitan memberi pendampingan hukum. Lonsum sendiri merupakan salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia, dengan lahan lebih dari 100 ribu hektare di Sumut, Sumsel, Kaltim, Jawa, hingga Sulawesi. Pada 2019, perusahaan ini sempat didorong keluar dari keanggotaan RSPO karena temuan pelanggaran ketenagakerjaan, meski perusahaan mengklaim keluar secara sukarela. Di balik angka-angka dan status perusahaan, ada kisah personal yang terlupakan—seperti mimpi Tinik untuk kuliah dan memberikan masa depan lebih baik bagi dua anaknya. “Awak tak mau anak-anak jadi buruh kebun kayak kami,” katanya. Kisah-kisah ini menunjukkan satu kenyataan: industri sawit tak hanya berjalan di atas keringat buruh resmi, tapi juga pada tenaga perempuan yang tak pernah tercatat. Dan selama mereka tak diakui, eksploitasi akan terus berlangsung seolah-olah itu hal biasa.
  • #11

    Jurus Fokus 2+1 Astra Agro: Upaya Menjawab Tantangan Zaman Industri Sawit

    Jakarta, elaeis.co – Ribuan istri pemanen sawit diam-diam ikut bekerja memungut brondolan tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa status. Di balik untung besar kebun sawit, mereka justru jadi “buruh ilegal” yang tak pernah tercatat. Sebuah laporan lapangan Project Multatuli kembali menyorot sisi gelap industri sawit Indonesia. Di balik produksi tandan buah segar (TBS) yang terus meningkat, ribuan istri pekerja pemanen justru terjerat dalam sistem kerja tak berstatus, bekerja setiap hari, namun tak pernah diakui sebagai buruh. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Family Geng”, yakni para istri yang ikut membantu suami mengejar target panen di kebun sawit milik perusahaan-perusahaan besar.  Mereka bekerja tanpa seragam, tanpa alat pelindung diri, dan tanpa perlindungan apa pun. Secara administratif, mereka tidak dianggap ada. Secara faktual, mereka menopang produksi. Di perkebunan PT London Sumatera (Lonsum), Sumatera Utara (Sumut), praktik ini terlihat sangat nyata. Para istri memunguti brondolan sawit 5–6 jam per hari, berjalan di antara semak dan duri tanpa alas kaki yang layak. Seluruh risiko—dari tertusuk duri, digigit ular, hingga kecelakaan kerja—ditanggung sendiri. Salah satu dari mereka adalah Tinik, 24 tahun. Lima tahun ia membantu suami memanen sawit, bahkan saat hamil tua. Ia pernah terjatuh dari motor saat membawa karung buah, pernah terkena infeksi akibat duri sawit menancap dalam, namun tetap masuk kerja keesokan harinya. “Kalau gak bantu, target tak tercapai. Suami bisa dipotong insentif, atau tak diperpanjang kontraknya,” ujarnya dalam laporan Project Multatuli. Target yang dimaksud bukan main-main. Untuk pohon sawit berusia lebih dari 10 tahun, produksi bisa mencapai 1,1–1,2 ton TBS per orang per hari. Jika tidak bersih dari brondolan, hasil panen dianggap gagal. Di sinilah peran “buruh ilegal” tersebut menjadi krusial, sekaligus paling rentan. Menurut Herwin Nasution, Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo), pola ini merupakan bentuk eksploitasi relasional. Perusahaan memanfaatkan hubungan keluarga untuk menekan biaya tenaga kerja. “Kalau mereka bekerja rutin dan berada di bawah pengawasan perusahaan, mereka seharusnya diakui sebagai pekerja,” tegasnya. Situasi ini juga diakui Lely Zailani, Ketua HAPSARI. Ia menyebut praktik serupa terjadi di banyak perkebunan sawit di Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Langkat. Namun, minimnya sumber daya membuat organisasi perempuan kesulitan memberi pendampingan hukum. Lonsum sendiri merupakan salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia, dengan lahan lebih dari 100 ribu hektare di Sumut, Sumsel, Kaltim, Jawa, hingga Sulawesi. Pada 2019, perusahaan ini sempat didorong keluar dari keanggotaan RSPO karena temuan pelanggaran ketenagakerjaan, meski perusahaan mengklaim keluar secara sukarela. Di balik angka-angka dan status perusahaan, ada kisah personal yang terlupakan—seperti mimpi Tinik untuk kuliah dan memberikan masa depan lebih baik bagi dua anaknya. “Awak tak mau anak-anak jadi buruh kebun kayak kami,” katanya. Kisah-kisah ini menunjukkan satu kenyataan: industri sawit tak hanya berjalan di atas keringat buruh resmi, tapi juga pada tenaga perempuan yang tak pernah tercatat. Dan selama mereka tak diakui, eksploitasi akan terus berlangsung seolah-olah itu hal biasa.
  • #12

    Ram Sawit Ilegal di Kawasan Hutan di Kuansing Ditutup

    Jakarta, elaeis.co – Ribuan istri pemanen sawit diam-diam ikut bekerja memungut brondolan tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa status. Di balik untung besar kebun sawit, mereka justru jadi “buruh ilegal” yang tak pernah tercatat. Sebuah laporan lapangan Project Multatuli kembali menyorot sisi gelap industri sawit Indonesia. Di balik produksi tandan buah segar (TBS) yang terus meningkat, ribuan istri pekerja pemanen justru terjerat dalam sistem kerja tak berstatus, bekerja setiap hari, namun tak pernah diakui sebagai buruh. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Family Geng”, yakni para istri yang ikut membantu suami mengejar target panen di kebun sawit milik perusahaan-perusahaan besar.  Mereka bekerja tanpa seragam, tanpa alat pelindung diri, dan tanpa perlindungan apa pun. Secara administratif, mereka tidak dianggap ada. Secara faktual, mereka menopang produksi. Di perkebunan PT London Sumatera (Lonsum), Sumatera Utara (Sumut), praktik ini terlihat sangat nyata. Para istri memunguti brondolan sawit 5–6 jam per hari, berjalan di antara semak dan duri tanpa alas kaki yang layak. Seluruh risiko—dari tertusuk duri, digigit ular, hingga kecelakaan kerja—ditanggung sendiri. Salah satu dari mereka adalah Tinik, 24 tahun. Lima tahun ia membantu suami memanen sawit, bahkan saat hamil tua. Ia pernah terjatuh dari motor saat membawa karung buah, pernah terkena infeksi akibat duri sawit menancap dalam, namun tetap masuk kerja keesokan harinya. “Kalau gak bantu, target tak tercapai. Suami bisa dipotong insentif, atau tak diperpanjang kontraknya,” ujarnya dalam laporan Project Multatuli. Target yang dimaksud bukan main-main. Untuk pohon sawit berusia lebih dari 10 tahun, produksi bisa mencapai 1,1–1,2 ton TBS per orang per hari. Jika tidak bersih dari brondolan, hasil panen dianggap gagal. Di sinilah peran “buruh ilegal” tersebut menjadi krusial, sekaligus paling rentan. Menurut Herwin Nasution, Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo), pola ini merupakan bentuk eksploitasi relasional. Perusahaan memanfaatkan hubungan keluarga untuk menekan biaya tenaga kerja. “Kalau mereka bekerja rutin dan berada di bawah pengawasan perusahaan, mereka seharusnya diakui sebagai pekerja,” tegasnya. Situasi ini juga diakui Lely Zailani, Ketua HAPSARI. Ia menyebut praktik serupa terjadi di banyak perkebunan sawit di Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Langkat. Namun, minimnya sumber daya membuat organisasi perempuan kesulitan memberi pendampingan hukum. Lonsum sendiri merupakan salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia, dengan lahan lebih dari 100 ribu hektare di Sumut, Sumsel, Kaltim, Jawa, hingga Sulawesi. Pada 2019, perusahaan ini sempat didorong keluar dari keanggotaan RSPO karena temuan pelanggaran ketenagakerjaan, meski perusahaan mengklaim keluar secara sukarela. Di balik angka-angka dan status perusahaan, ada kisah personal yang terlupakan—seperti mimpi Tinik untuk kuliah dan memberikan masa depan lebih baik bagi dua anaknya. “Awak tak mau anak-anak jadi buruh kebun kayak kami,” katanya. Kisah-kisah ini menunjukkan satu kenyataan: industri sawit tak hanya berjalan di atas keringat buruh resmi, tapi juga pada tenaga perempuan yang tak pernah tercatat. Dan selama mereka tak diakui, eksploitasi akan terus berlangsung seolah-olah itu hal biasa.
  • #13

    Ribuan Hektare Kebun Sawit PBS di Kalteng Disegel Satgas PKH

    Jakarta, elaeis.co – Ribuan istri pemanen sawit diam-diam ikut bekerja memungut brondolan tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa status. Di balik untung besar kebun sawit, mereka justru jadi “buruh ilegal” yang tak pernah tercatat. Sebuah laporan lapangan Project Multatuli kembali menyorot sisi gelap industri sawit Indonesia. Di balik produksi tandan buah segar (TBS) yang terus meningkat, ribuan istri pekerja pemanen justru terjerat dalam sistem kerja tak berstatus, bekerja setiap hari, namun tak pernah diakui sebagai buruh. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Family Geng”, yakni para istri yang ikut membantu suami mengejar target panen di kebun sawit milik perusahaan-perusahaan besar.  Mereka bekerja tanpa seragam, tanpa alat pelindung diri, dan tanpa perlindungan apa pun. Secara administratif, mereka tidak dianggap ada. Secara faktual, mereka menopang produksi. Di perkebunan PT London Sumatera (Lonsum), Sumatera Utara (Sumut), praktik ini terlihat sangat nyata. Para istri memunguti brondolan sawit 5–6 jam per hari, berjalan di antara semak dan duri tanpa alas kaki yang layak. Seluruh risiko—dari tertusuk duri, digigit ular, hingga kecelakaan kerja—ditanggung sendiri. Salah satu dari mereka adalah Tinik, 24 tahun. Lima tahun ia membantu suami memanen sawit, bahkan saat hamil tua. Ia pernah terjatuh dari motor saat membawa karung buah, pernah terkena infeksi akibat duri sawit menancap dalam, namun tetap masuk kerja keesokan harinya. “Kalau gak bantu, target tak tercapai. Suami bisa dipotong insentif, atau tak diperpanjang kontraknya,” ujarnya dalam laporan Project Multatuli. Target yang dimaksud bukan main-main. Untuk pohon sawit berusia lebih dari 10 tahun, produksi bisa mencapai 1,1–1,2 ton TBS per orang per hari. Jika tidak bersih dari brondolan, hasil panen dianggap gagal. Di sinilah peran “buruh ilegal” tersebut menjadi krusial, sekaligus paling rentan. Menurut Herwin Nasution, Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo), pola ini merupakan bentuk eksploitasi relasional. Perusahaan memanfaatkan hubungan keluarga untuk menekan biaya tenaga kerja. “Kalau mereka bekerja rutin dan berada di bawah pengawasan perusahaan, mereka seharusnya diakui sebagai pekerja,” tegasnya. Situasi ini juga diakui Lely Zailani, Ketua HAPSARI. Ia menyebut praktik serupa terjadi di banyak perkebunan sawit di Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Langkat. Namun, minimnya sumber daya membuat organisasi perempuan kesulitan memberi pendampingan hukum. Lonsum sendiri merupakan salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia, dengan lahan lebih dari 100 ribu hektare di Sumut, Sumsel, Kaltim, Jawa, hingga Sulawesi. Pada 2019, perusahaan ini sempat didorong keluar dari keanggotaan RSPO karena temuan pelanggaran ketenagakerjaan, meski perusahaan mengklaim keluar secara sukarela. Di balik angka-angka dan status perusahaan, ada kisah personal yang terlupakan—seperti mimpi Tinik untuk kuliah dan memberikan masa depan lebih baik bagi dua anaknya. “Awak tak mau anak-anak jadi buruh kebun kayak kami,” katanya. Kisah-kisah ini menunjukkan satu kenyataan: industri sawit tak hanya berjalan di atas keringat buruh resmi, tapi juga pada tenaga perempuan yang tak pernah tercatat. Dan selama mereka tak diakui, eksploitasi akan terus berlangsung seolah-olah itu hal biasa.
  • #14

    Perpres 5/2025 dan Sepak Terjang Satgas PKH Jadi Sorotan

    Jakarta, elaeis.co – Ribuan istri pemanen sawit diam-diam ikut bekerja memungut brondolan tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa status. Di balik untung besar kebun sawit, mereka justru jadi “buruh ilegal” yang tak pernah tercatat. Sebuah laporan lapangan Project Multatuli kembali menyorot sisi gelap industri sawit Indonesia. Di balik produksi tandan buah segar (TBS) yang terus meningkat, ribuan istri pekerja pemanen justru terjerat dalam sistem kerja tak berstatus, bekerja setiap hari, namun tak pernah diakui sebagai buruh. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Family Geng”, yakni para istri yang ikut membantu suami mengejar target panen di kebun sawit milik perusahaan-perusahaan besar.  Mereka bekerja tanpa seragam, tanpa alat pelindung diri, dan tanpa perlindungan apa pun. Secara administratif, mereka tidak dianggap ada. Secara faktual, mereka menopang produksi. Di perkebunan PT London Sumatera (Lonsum), Sumatera Utara (Sumut), praktik ini terlihat sangat nyata. Para istri memunguti brondolan sawit 5–6 jam per hari, berjalan di antara semak dan duri tanpa alas kaki yang layak. Seluruh risiko—dari tertusuk duri, digigit ular, hingga kecelakaan kerja—ditanggung sendiri. Salah satu dari mereka adalah Tinik, 24 tahun. Lima tahun ia membantu suami memanen sawit, bahkan saat hamil tua. Ia pernah terjatuh dari motor saat membawa karung buah, pernah terkena infeksi akibat duri sawit menancap dalam, namun tetap masuk kerja keesokan harinya. “Kalau gak bantu, target tak tercapai. Suami bisa dipotong insentif, atau tak diperpanjang kontraknya,” ujarnya dalam laporan Project Multatuli. Target yang dimaksud bukan main-main. Untuk pohon sawit berusia lebih dari 10 tahun, produksi bisa mencapai 1,1–1,2 ton TBS per orang per hari. Jika tidak bersih dari brondolan, hasil panen dianggap gagal. Di sinilah peran “buruh ilegal” tersebut menjadi krusial, sekaligus paling rentan. Menurut Herwin Nasution, Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo), pola ini merupakan bentuk eksploitasi relasional. Perusahaan memanfaatkan hubungan keluarga untuk menekan biaya tenaga kerja. “Kalau mereka bekerja rutin dan berada di bawah pengawasan perusahaan, mereka seharusnya diakui sebagai pekerja,” tegasnya. Situasi ini juga diakui Lely Zailani, Ketua HAPSARI. Ia menyebut praktik serupa terjadi di banyak perkebunan sawit di Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Langkat. Namun, minimnya sumber daya membuat organisasi perempuan kesulitan memberi pendampingan hukum. Lonsum sendiri merupakan salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia, dengan lahan lebih dari 100 ribu hektare di Sumut, Sumsel, Kaltim, Jawa, hingga Sulawesi. Pada 2019, perusahaan ini sempat didorong keluar dari keanggotaan RSPO karena temuan pelanggaran ketenagakerjaan, meski perusahaan mengklaim keluar secara sukarela. Di balik angka-angka dan status perusahaan, ada kisah personal yang terlupakan—seperti mimpi Tinik untuk kuliah dan memberikan masa depan lebih baik bagi dua anaknya. “Awak tak mau anak-anak jadi buruh kebun kayak kami,” katanya. Kisah-kisah ini menunjukkan satu kenyataan: industri sawit tak hanya berjalan di atas keringat buruh resmi, tapi juga pada tenaga perempuan yang tak pernah tercatat. Dan selama mereka tak diakui, eksploitasi akan terus berlangsung seolah-olah itu hal biasa.
  • #15

    Cerita Replanting Sawit di Teluk Merbau Siak: Dapat Dana Miliaran Dari Pusat, Bibit Terkesan Asalan

    Jakarta, elaeis.co – Ribuan istri pemanen sawit diam-diam ikut bekerja memungut brondolan tanpa upah, tanpa perlindungan, dan tanpa status. Di balik untung besar kebun sawit, mereka justru jadi “buruh ilegal” yang tak pernah tercatat. Sebuah laporan lapangan Project Multatuli kembali menyorot sisi gelap industri sawit Indonesia. Di balik produksi tandan buah segar (TBS) yang terus meningkat, ribuan istri pekerja pemanen justru terjerat dalam sistem kerja tak berstatus, bekerja setiap hari, namun tak pernah diakui sebagai buruh. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Family Geng”, yakni para istri yang ikut membantu suami mengejar target panen di kebun sawit milik perusahaan-perusahaan besar.  Mereka bekerja tanpa seragam, tanpa alat pelindung diri, dan tanpa perlindungan apa pun. Secara administratif, mereka tidak dianggap ada. Secara faktual, mereka menopang produksi. Di perkebunan PT London Sumatera (Lonsum), Sumatera Utara (Sumut), praktik ini terlihat sangat nyata. Para istri memunguti brondolan sawit 5–6 jam per hari, berjalan di antara semak dan duri tanpa alas kaki yang layak. Seluruh risiko—dari tertusuk duri, digigit ular, hingga kecelakaan kerja—ditanggung sendiri. Salah satu dari mereka adalah Tinik, 24 tahun. Lima tahun ia membantu suami memanen sawit, bahkan saat hamil tua. Ia pernah terjatuh dari motor saat membawa karung buah, pernah terkena infeksi akibat duri sawit menancap dalam, namun tetap masuk kerja keesokan harinya. “Kalau gak bantu, target tak tercapai. Suami bisa dipotong insentif, atau tak diperpanjang kontraknya,” ujarnya dalam laporan Project Multatuli. Target yang dimaksud bukan main-main. Untuk pohon sawit berusia lebih dari 10 tahun, produksi bisa mencapai 1,1–1,2 ton TBS per orang per hari. Jika tidak bersih dari brondolan, hasil panen dianggap gagal. Di sinilah peran “buruh ilegal” tersebut menjadi krusial, sekaligus paling rentan. Menurut Herwin Nasution, Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo), pola ini merupakan bentuk eksploitasi relasional. Perusahaan memanfaatkan hubungan keluarga untuk menekan biaya tenaga kerja. “Kalau mereka bekerja rutin dan berada di bawah pengawasan perusahaan, mereka seharusnya diakui sebagai pekerja,” tegasnya. Situasi ini juga diakui Lely Zailani, Ketua HAPSARI. Ia menyebut praktik serupa terjadi di banyak perkebunan sawit di Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Langkat. Namun, minimnya sumber daya membuat organisasi perempuan kesulitan memberi pendampingan hukum. Lonsum sendiri merupakan salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia, dengan lahan lebih dari 100 ribu hektare di Sumut, Sumsel, Kaltim, Jawa, hingga Sulawesi. Pada 2019, perusahaan ini sempat didorong keluar dari keanggotaan RSPO karena temuan pelanggaran ketenagakerjaan, meski perusahaan mengklaim keluar secara sukarela. Di balik angka-angka dan status perusahaan, ada kisah personal yang terlupakan—seperti mimpi Tinik untuk kuliah dan memberikan masa depan lebih baik bagi dua anaknya. “Awak tak mau anak-anak jadi buruh kebun kayak kami,” katanya. Kisah-kisah ini menunjukkan satu kenyataan: industri sawit tak hanya berjalan di atas keringat buruh resmi, tapi juga pada tenaga perempuan yang tak pernah tercatat. Dan selama mereka tak diakui, eksploitasi akan terus berlangsung seolah-olah itu hal biasa.