Berita / Dewandaru /
Badan Sawit Indonesia, Sebuah Harapan
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dalam siaran persnya melaporkan bahwa pertumbuhan konsumsi sawit di dalam negeri meroket tajam. Saat Halal Bihalal di Balai GAPKI Jakarta, 30 April 2024.
Tahun 2020 sebanyak 16,7 juta ton, 2021 sebanyak 17,3 juta ton, tahun 2022 sebanyak 20,9 juta ton dan tahun 2023 sebanyak 23,2 juta ton. Indonesia jadi produsen sekaligus konsumen sawit terbesar di dunia.
Selain karena program hilirisasi B35 ke B40 sebagai pencipta pangsa pasar baru jumlah besar. Juga karena penambahan jumlah penduduk berdampak untuk pangan dan oleokimia juga naik tajam.
Data di atas, mencerminkan bahwa telah merebut pangsa pasar produk ekspor naik konsisten dari 23% ke 35,9%. Fenomena ini harus dicermati serius terhadap keseimbangan produktivitasnya.
Satu sisi menghemat devisa karena impor solar fosil berkurang, sisi lain kehilangan devisa jatah ekspor berkurang. Karena sawit sangat " marketable " dipakai oleh 188 negara. Jika berkurang, implikasinya luas.
GAPKI juga mengingatkan komitmen janji pemerintah yang akan membentuk Badan Sawit Indonesia, bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Agar tata kelola sawit makin baik, karena terkendali.
Baca juga: Peluang di Balik Perang
Apalagi Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Gibran juga punya target energi ramah lingkungan B60 dan produksi CPO 100 juta ton (2045). Ini target tantangan menawan bagi pelaku industri sawit Indonesia.
Padahal saat ini, produksi CPO hanya 49 juta ton dan PKO 5,6 juta ton/tahun. Artinya kurang dua kali lipatnya. Jika tanpa penambahan luas tanam wajib produktivitasnya naik dua kalinya. Tantangan menggairahkan.
Analisa saya, masih sangat logis. Karena potensi benih inovasi 30 - 35 ton TBS/ha/tahun. Rendemen CPO 25% - 27% dari TBS nya. Setara 7 - 9 ton CPO/ha/tahun. Ini laporan dari semua Pusat Penelitian penghasil benih unggul.
Luas sawit 16,38 juta hektar. Jika yang buah (TM) normal. Bukan yang masih kecil atau tua umurnya, hanya 14 juta hektar. Maka dapat 14 juta x 7,5 ton = 105 juta ton/tahun. Itu kalkulasi logisnya jika tanpa penambahan luas tanam (intensifikasi).
Peluang terbesarnya ada di petani sawit yang luasnya 42% dari total luas sawit. Atau 6,8 juta ha dari 16,38 juta ha. Karena selama ini produktivitasnya rendah dibandingkan milik perusahaan besar dan PTPN. Petani sawit harus jadi atensi serius.
Hal mutlak, benih sawit petani harus seperti perusahaan besar yaitu legal inovasi dari Pusat Penelitian. Peremajaan sawit oleh BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) lebih serius lagi. PKS Komersial diperbanyak, utamanya di sentra sawit petani.
Yang harus dilakukan oleh petani. Jika benihnya sudah valid inovasi. Pupuk NPK 9 kg/pokok/tahun. Hanya setara Rp 72.000/pokok/tahun plus upah mupuk. Akan menghasilkan 200 kg/pokok/tahun setara 27 ton TBS/ha/tahun. Setara omzet Rp 500.000/pokok/tahun, jika harga lazim saat ini Rp 2.500/kg TBS.
Artinya harga pokok produksi (HPP) dari pupuk NPK hanya Rp 72.000 : 200 kg = Rp 360/kg TBS. Pruning dan herbisida maksimal Rp 150/kg. Ongkos panen dan muat Rp 150/kg. Truk Rp 100/kg. Total HPP sampai PKS maksimal Rp 1.100/kg. Laba Rp 1.400/kg TBS. Ini yang harus disadari petani.
Ilmu hikmahnya. Bahwa berkat inovasi membumi dari Dr Tatang, Prof Subagjo dkk di ITB Bandung. Inovator Biodiesel Sawit. Mengubah sawit jadi energi hijau dan mengubah masa depan sawit sangat cerah menjanjikan. Indonesia makin harum karena energi hijau sawit.
Petani sejahtera asal disiplin konsisten adaptif dengan inovasi benih dan perlakuan sesuai anjuran Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan. Akan makin mulia jika Kementerian KLHK tahu diri segera mengakhiri menyusahkan petani dengan klaim sepihak.
Komentar Via Facebook :