Berita / Nasional /
Menang di WTO, Bukti Indonesia Tak Tunduk pada Tekanan Uni Eropa
Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Kebijakan Luar Negeri, Darmansjah Djumala. Foto: Dok. BPIP
Jakarta, elaeis.co - Dewan Pakar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Bidang Strategi Kebijakan Luar Negeri, Dr Darmansjah Djumala, buka suara menanggapi putusan Panel Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang memenangkan gugatan Indonesia atas Uni Eropa (UE) terkait sengketa perdagangan minyak sawit dan biofuel berbahan sawit.
Dalam putusannya beberapa hari lalu, WTO menilai kebijakan UE yang membatasi penggunaan minyak sawit untuk biofuel merupakan praktik diskriminasi. Kebijakan ini merugikan Indonesia sebagai salah satu eksportir kelapa sawit terbesar dunia.
Darmansyah menilai putusan WTO yang memenangkan gugatan Indonesia atas kebijakan diskriminatif UE menunjukkan bahwa Indonesia tidak tunduk pada tekanan politik pihak manapun. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa WTO tegak di atas aturan hukum dalam menyelesaikan sengketa dagang.
"Keputusan WTO yang memenangkan gugatan Indonesia di WTO menunjukkan Indonesia tak pernah tunduk pada tekanan politik UE dalam sengketa dagang kelapa sawit. Ini preseden bagus bagi Indonesia jika menghadapi sengketa dagang lainnya dengan negara anggota WTO untuk komoditi lain di masa depan," kata Darmansjah dalam keterangan resmi dikutip elaeis.co Rabu (22/1).
UE selama ini menuduh kelapa sawit Indonesia tidak memenuhi standar kesehatan dan lingkungan karena dihasilkan dari deforestasi. Namun, tuduhan tersebut menurutnya lebih bermotif politik dagang. “UE sejak 2003 mulai menerapkan kebijakan renewable energy dengan menggunakan minyak nabati untuk produksi biofuel, yaitu rapeseed dan bunga matahari. Namun biaya produksinya jauh lebih mahal dibandingkan kelapa sawit. Untuk melindungi petani rapeseed dan bunga matahari, UE membatasi penggunaan kelapa sawit sebagai biofuel,” paparnya.
Djumala, yang pernah menjabat Duta Besar untuk Austria dan PBB di Wina, juga menilai kemenangan Indonesia ini membuktikan bahwa forum perdagangan multilateral WTO taat hukum dalam menyelesaikan sengketa dagang sesuai dengan fatsunnya, rule-based approach.
Dijelaskannya, pada dasarnya di setiap lembaga dunia seperti WTO berlaku apa yang disebut ‘anarki struktural’, yaitu keadaan di mana sistem internasional bergerak dalam situasi anarki. Maksudnya, yang kuat akan mengambil manfaat lebih banyak dari yang lemah karena ketiadaan penataan dalam pendistribusian kekuasaan antar negara.
“Di awal pembentukan WTO pada 1995, kekhawatiran anarki struktural ini sempat mengemuka. Namun seiring berjalannya waktu, WTO mampu menunjukkan konsistensinya pada pilar rule-based approach dalam penyelesaian sengketa dagang,” ungkapnya.
“Jika WTO konsisten berpegang pada semangat rule-based seperti itu, maka negara berkembang tak perlu khawatir terhadap tekanan politik negara maju dalam menyelesaikan sengketa dagang, sekalipun mereka menggunakan pretext non-ekonomi seperti dalih kesehatan dan lingkungan hidup,” sambungnya.
Djumala mengingatkan, pendekatan rule-based seperti ini bisa juga diperjuangkan dalam menghadapi gugatan UE terhadap kebijakan hilirisasi nikel Indonesia. "Dengan mempelajari aturan WTO secara seksama, Indonesia dapat melawan tekanan politik UE. Keputusan WTO yang konsisten pada aturan hukum menunjukkan bahwa negara berkembang memiliki peluang menang jika bertahan pada prinsip hukum," pungkasnya.







Komentar Via Facebook :