https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Sawit Indonesia Paling Produktif di Dunia, tapi Diposisikan Musuh Lingkungan Global

Sawit Indonesia Paling Produktif di Dunia, tapi Diposisikan Musuh Lingkungan Global

Ilustrasi. Dok.elaeis


Jakarta, elaeis.co – Kelapa sawit Indonesia lagi-lagi ditempatkan di bangku terdakwa. Dari isu deforestasi, krisis iklim, hingga banjir besar di Sumatera, sawit kerap disebut sebagai penyebab utama. 

Narasi itu berulang, bergema di forum internasional, laporan LSM global, hingga kebijakan perdagangan. Pelan tapi pasti, sawit diposisikan sebagai musuh lingkungan dunia.

Padahal, menurut ahli ekonomi digital Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Agus M. Maksum, S.Si., persoalan utama sawit Indonesia bukan terletak pada lemahnya dasar ilmiah. Masalahnya justru ada pada kekalahan Indonesia dalam pertarungan narasi global.

“Sawit Indonesia hari ini bukan kalah karena salah, tapi kalah karena ceritanya kalah,” ujar Agus dalam catatan analisisnya. 

Agus menjelaskan, secara ilmiah kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati paling efisien di dunia. 

Data International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan Our World in Data menunjukkan, sekitar 35–40 persen minyak nabati global dihasilkan hanya dari kurang dari 9 persen total lahan tanaman minyak dunia.

“Angka ini bukan slogan industri, tapi hasil perhitungan sains. Sayangnya, fakta ini jarang muncul dalam debat publik global,” katanya.

Ironinya, efisiensi sawit justru menjadi alasan utama mengapa komoditas ini diserang. Menurut Agus, sawit menjadi ancaman ekonomi bagi produsen minyak nabati lain seperti kedelai, bunga matahari, dan rapeseed yang secara agronomis jauh lebih boros lahan. Di titik inilah isu lingkungan berubah fungsi, dari kepedulian ekologis menjadi alat proteksi ekonomi terselubung.

Ia menilai, hambatan non-tarif berbasis lingkungan kerap digunakan untuk menekan sawit di pasar internasional. Agus mengutip konsep displacement effect dalam laporan IUCN (Meijaard dkk., 2018), yang menegaskan bahwa pelarangan sawit tidak otomatis mengurangi kerusakan hutan secara global.

“Permintaan minyak nabati tidak pernah benar-benar hilang. Kalau sawit disingkirkan, produksinya berpindah ke tanaman lain yang butuh lahan empat sampai sembilan kali lebih luas. Hutan tetap tertekan, hanya lokasinya yang bergeser,” ujarnya.

Meski demikian, Agus menegaskan Indonesia juga perlu jujur pada sejarah. Ia mengakui ekspansi sawit pada periode 1990–2010 memang berkontribusi terhadap deforestasi. Namun, menurutnya, masa lalu tidak bisa dijadikan satu-satunya dasar untuk menghakimi kondisi hari ini.

“Sejak sekitar 2017, laju kehilangan hutan primer Indonesia menurun. Moratorium izin berjalan, tata kelola mulai diperketat, tapi cerita perubahan ini jarang ikut terdengar di panggung global,” katanya.

Dalam pandangannya, persoalan ekologis sawit sejatinya tidak terletak pada tanamannya, melainkan pada tata kelola. Mulai dari penentuan lokasi kebun, pengelolaan tata air, hingga konsistensi penegakan hukum. Ketika faktor-faktor tersebut dijalankan dengan benar, jejak lingkungan sawit akan sangat berbeda.

Agus juga menyinggung upaya pemerintah yang kini mulai meluruskan tata kelola industri sawit, termasuk memperkuat posisi petani, memperbaiki kemitraan, dan mendorong hilirisasi. Namun, ia mengingatkan bahwa perbaikan teknis saja tidak cukup tanpa kepemimpinan narasi di tingkat global.

“Dunia hari ini digerakkan oleh cerita yang dipercaya, bukan semata oleh data yang benar,” ujarnya.

Ia menutup dengan peringatan tegas. Selama Indonesia membiarkan pihak lain mendefinisikan sawit secara sepihak, risiko kebijakan global yang merugikan akan terus berulang. Sawit akan terus dicitrakan sebagai musuh lingkungan, meski fakta ilmiah berkata sebaliknya.

“Dalam kebijakan global, siapa yang menguasai definisi, dialah yang menulis masa depan,” pungkas Agus.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :