Berita / Lipsus /
Soal Kawasan Hutan, Guru Besar IPB Bilang: Ruwet, Ruwet, Ruwet...
Jakarta, elaeis.co - Guru Besar Ilmu Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu hanya bisa mengurut dada setelah begitu lama memelototi semua aturan main soal kehutanan yang menjadi turunan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu.
Sebab apa yang dia duga jauh sebelum undang-undang Sapu Jagat itu disahkan, ternyata terbukti semua.
Bahkan tudingannya bahwa otoritas kehutanan sedang dan telah melakukan sabotase terhadap program Presiden Jokowi justru kian terasa.
Ini kelihatan dari garis besar aturan turunan itu; bahwa otoritas kehutanan tidak mau merubah kesalahan masa lalu dan bahkan kesalahan itu nampak betul dipelihara.
Baca juga: Akal Bulus 'Anak-Cucu' UUCK
"Sudah jelas pengertian kawasan hutan itu adalah kawasan yang sudah ditetapkan, tapi masih saja dibelokkan. Sebelum dan sesudah ditunjuk dibuat punya kekuatan. Ini maksudnya apa?" lelaki 64 tahun ini bertanya, saat berbincang dengan elaeis.co, kemarin.
Kelakuan ini kata Sudarsono Soedomo tak ubahnya seperti saat UUCK belum ada. Waktu itu, klaim kawasan hutan dibikin serampangan, penataan batas kawasan hutan dilakukan sepihak dan porsi kawasan hutan dan lahan penghidupan rakyat dibikin jomplang.
Kalaupun otoritas kehutanan mau menjalankan program Presiden tentang Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), hanya sekadarnya.
Buktinya, sebahagian besar klaim capaian TORA ternyata areal plasma (lahan transmigrasi mitra perusahaan) yang lepasnya lantaran terikut dengan perijinan korporasi, bukan langsung dilepas oleh Otoritas Kehutanan ke petani.
"Target TORA 2015-2019 4,1 juta hektar, tapi yang tercapai hanya 204.565 hektar, cuma 5%," katanya.
Yang membikin Sudarsono makin jengkel, otoritas kehutanan justru lebih gencar menyuruh rakyat untuk menjalankan program perhutanan sosial.
"Tolong tunjukkan kepada saya dimana rakyat yang sudah sejahtera dari hutan? Satu saja. Kalau memang rakyat tak bisa sejahtera dari hutan, jangan mereka dipaksa, tapi beri kebebasan untuk memilih komoditi mana yang bisa mensejahterakan mereka, sebab mereka yang paling tahu tentang itu," ujarnya.
"Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan sudah berumur lebih dari 20 tahun dan bahkan sudah masuk dalam Omnibus Law. Tapi penataan kawasan hutan justru semakin dibikin ruwet," katanya.
Kalau otoritas kehutanan benar-benar mau memahami keinginan negara, maka klaim kawasan hutan itu tak akan dibikin seruwet itu.
"Yang sudah dikuasai rakyat, lepaskan, beres. Jangan malah sudah turun temurun orang di situ, dibuat pula syarat pelepasan, dikuasai sebelum atau sesudah ditunjuk," ujarnya.
Di sisi lain, Praktisi Hukum Kebijakan Kehutanan Dr. Sadino justru meragu dengan tenggat 3 tahun yang diberikan oleh UUCK untuk menyelesaikan keruwetan kawasan hutan itu.
"Enggak mudah mengurus proses persetujuan hingga pelepasan. Apalagi isi PP dan Permen LHK itu malah lebih buruk dari UUCK," katanya.
Komentar Via Facebook :