Berita / Lipsus /
Mengulik Sustainable (Bagian 1)
My Name Is R(I)SPO
Seorang pekerja sedang mengegrek TBS dari pohon kelapa sawit di kebun yang sudah mengantongi sertifikat ISPO di Kota Lama, Rokan Hulu, Riau. foto: Ist
Jakarta, elaeis.co - Sepuluh tahun lalu, persis pada perayaan 100 tahun komersialisasi kelapa sawit di Medan Sumatera Utara (Sumut), Menteri Pertanian masa itu, Suswono, mengumumkan berlakunya Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Aturan baru ini sempat juga membikin pelaku usaha sawit bingung. Soalnya tiga tahun sebelumnya mereka telah dihadang oleh Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).
Sertifikasi berbasis demand side yang lahir di Eropa pada 2004. Dibilang berbasis demand side lantaran sertifikasi ini muncul oleh permintaan konsumen yang konon membutuhkan minyak sawit yang sustainable alias berkelanjutan.
Walau tidak wajib, banyak juga para pelaku usaha sawit berusaha mengantongi sertifikat RSPO ini lantaran di luar sana, pasar yang notabene anggota RSPO ternyata banyak.
Nah, belakangan, datang pula aturan main yang isinya sama dengan RSPO itu; ISPO. Tak salah kalau dibilang 'kembar' lantaran perbedaan keduanya hanya; ISPO mandatory.
"Lantaran 'inang' lahirnya ISPO ini adalah Undang-Undang Perkebunan dan Lingkungan Hidup, mestinya sertifikasinya berbasis suplay side, tapi kenyataannya demand side," kata Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Dr. Tungkot Sipayung, kepada elaeis.co.
Dari sini saja kata lelaki 56 tahun ini sudah, ISPO sudah tidak konsisten. "Sebab sertifikasi suplay side itu semestinya relatif, bukan absolute," ujar Ketua Tim Lintas Kementerian dan Asosiasi Penyusunan Roadmap Industri Sawit Indonesia ini.
Ini persis sama dengan apa yang nampak di lapangan. Bahwa kondisi tanah, umur tanaman hingga pelaku usaha sawit di Indonesia, beragam.
"Enggak mungkin bisa disamakan antara tanaman berumur 5 tahun dan 20 tahun dan enggak mungkin pula bisa disamakan antara kebun di lahan gambut atau tanah mineral dan bahkan kebun yang sudah generasi ketiga dan baru menjalani generasi pertama," Tungkot berumpama.
Keberagaman ini juga diakui oleh Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Ekonomi, Dr. Musdhalifah Machmud.
Kebetulan kemarin, perempuan 57 tahun ini saat didapuk menjadi keynote speaker pada webinar bertajuk; Mendorong Sertifikasi Berkelanjutan Bagi Petani Sawit: tantangan dan Peluang.
Dia bilang bahwa tantangan untuk menerapkan ISPO itu sangat banyak. Persebaran kebun kelapa sawit, kondisi lahan, kondisi kebun, hingga karakter petani berbeda-beda.
Malah kata Doktor Manajemen Bisnis di Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, masih banyaknya kebun yang produktifitasnya rendah, minim bibit unggul, petani yang lemah dan akses modal yang sulit, ikut menambah panjangnya daftar masalah itu.
Belum lagi nanti para pelaku perkebunan musti merogoh kocek dalam-dalam lantaran biaya yang harus dikeluarkan demi mendapatkan sertifikat ISPO itu adalah antara Rp1 juta hingga Rp2 juta per hektar kebun.
Angka ini sedikit lebih rendah ketimbang duit yang dibutuhkan untuk mendapatkan sertifikat RSPO yang antara Rp1,5 juta hingga Rp2 juta per hektar kebun.
Gara-gara keberagaman tadilah kata Musdalifah, pemerintah terpaksa mengkategorikan kebun kelapa sawit itu menjadi merah, kuning dan hijau.
"Kategori merah adalah kebun yang masih harus difasilitasi dari A- sampai Z nya. Kategori kuning, masih ada yang perlu difasilitasi dan kategori hijau adalah yang sudah siap, tinggal gimana mendokumenkan biar bisa segera mengantongi sertifikat," perempuan kelahiran Ujungpandang ini merinci.
Uniknya, saat elaeis.co melontarkan pertanyaan, Musdalifah tak membantah dan malah mengakui bahwa ISPO itu absolute tapi pelaksanaan di lapangan harus disesuaikan dengan kondisi alamnya masing-masing.
Di pasar dunia juga kata Tungkot, tipikal konsumennya juga beragam. Ada yang sangat menuntut sustainable, moderat (masyarakat yang sudah punya kesadaran pentingnya sustainable) dan sama sekali tidak menuntut.
Konsumen Eropa kata Tungkot sudah pintar dan mereka tahu kalau absolute itu berarti sangat ideal.
Sementara di sisi lain, mereka tetap saja dapat cerita kalau di Indonesia, deforestasi, penggunaan lahan gambut, kebakaran, masih terjadi. Akhirnya mereka bertanya, mana yang kalian bilang absolute itu?
"Ujung-ujungnya kita kena hukum. Saat ini ada 80 juta ton produksi minyak sawit dunia. Dari jumlah itu, 22,3 juta ton sudah bersertifikat RSPO. Tapi konsumen hanya mengakui 40 persennya. Sisanya mereka mau membeli tapi dengan harga biasa. Itulah yang terjadi," katanya.
Tapi itu masih mending ketimbang ISPO. Sampai sekarang ISPO belum mendapat pengakuan dari negara manapun.
Makanya yang sudah bersertifikat dan yang tidak bersertifikat, harga jualnya tetap sama. Gimana pula konsumen mau membedakan mana yang bersertifikat dan tidak bersertifikat.
Di lapangan, Tandan Buah Segar (TBS) dari yang tersertifikasi dan tidak tersertifikasi sudah bercampur di pabrik, lalu tercampur pula di tangki timbun, di kapal juga begitu, sudah tercampur.
"Sampai di negara tujuan, juga tidak terpisah, saya sudah cek itu," Tungkot memastikan. Alamaak...







Komentar Via Facebook :