Berita / Lipsus /
Bagian 1
Cerita Sontoloyo Sertfikasi ISPO

Tumpukan Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit yang akan diolah di salah satu Pabrik Kelapa Sawit di Kalimantan Barat. Foto: aziz
Walau sudah pernah dipublish di Elaeis Magazine edisi September 2021, cerita ini masih relevan hingga sekarang.
Terlebih, saat para petani kelapa sawit kembali menjerit ulah sertifikasi sontoloyo (tidak jelas) itu. Menjerit lantaran tenggat mandatorynya sudah dekat. 2025. Sertifikasi itu bernama; Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Bermula dari kedatangan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) ke Indonesia sekitar tahun 2008 silam. Sertifikasi berbasis demand side ini lahir di Eropa sekitar tahun 2004.
Menengok sertifikasi ini datang, orang-orang di Kementerian Pertanian sempat kebakaran jenggot. Diconteklah isi RSPO itu menjadi ISPO dan tiga tahun kemudian sertifikasi ini di-launching oleh bekas Menteri Pertanian Suswono pada perayaan 100 tahun komersialisasi sawit Indonesia di Medan, Sumatera Utara (Sumut).
Adalah Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Dr. Tungkot Sipayung yang cerita panjang lebar kepada Elaeis Magazine tentang sertifikasi contekan ini pada dua tahun lalu, dalam sebuah wawancara khusus.
Hari ini Tungkot sedang meluncurkan bukunya bertajuk Mitos VS Fakta Industri Sawit Indonesia volume 4 dalam helat advokasi sawit yang ditaja oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan PASPI. Bekas Menteri Pertanian Bungaran Saragih ada di sana.
Balik ke hasil wawancara khusus tadi, Tungkot bilang ISPO itu hasil contekan lantaran isinya memang persis dengan RSPO.
Bedanya hanya; ISPO mandatory. RSPO tidak mandatory lantaran dia tidak lahir di Indonesia dan dia tidak punya negara.
RSPO hanya mengklaim kalau dia mewakili apa yang dibutuhkan oleh konsumen. Oleh karena itu, negaranya hanya konsumen anggota RSPO.
Dan lantaran itu pula sifatnya voluntary atau sukarela. Beda dengan ISPO yang lahir dari Undang-Undang Perkebunan dan Lingkungan Hidup.
“Lantaran akarnya dari undang-undang tadi, mestinya sertifikasi ISPO berbasis suplay side. Tapi kenyataannya, casing-nya ISPO, isinya justru contekan dari RSPO yang notabene demand side,” kata Lelaki 58 tahun ini.
Dari situ saja menurut Tim Ahli Pemerintah pada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam menghadapi kebijakan Renewable Energy Directives (RED II) ILUC Uni Eropa ini, sudah terjadi inkonsistensi.
Soalnya sertifikasi berbasis suplay side, sebetulnya konsep sustainability-nya relative, namanya juga development.
Analoginya begini; enggak mungkin bisa disamakan antara kebun kelapa sawit yang sudah berumur 20 tahun dengan yang baru berumur 5 tahun, enggak mungkin.
Tapi kenyataanya, RSPO dan ISPO itu justru sama-sama menganut Sustainable Absolute. Kalau perkebunan itu sudah dapat sertifikat, berarti sudah sustainable. Pilihannya cuma dua; sustainable dan unsustainable.
Hanya saja, konsumen Eropa ternyata melihatnya enggak kayak begitu (sustainable dan unsustainable). Sebab konsumen Eropa itu beragam.
Ada yang sangat menuntut sustainable, moderat (masyarakat yang sudah punya kesadaran pentingnya sustainable) dan tidak menuntut.
Di suplay side juga seperti itu, ada kebun yang baru mulai masuk ke sustainable, ada yang sudah mendekati ideal dan ada pula yang sangat sustainable.
“Nah, oleh kondisi demand side dan suplay side yang seperti inilah makanya, sertifikasi yang relevan adalah sustainable dalam konsep relative, bukan absolute,” tegasnya.
Sebagai konsumen yang sudah pintar, Eropa melihat kalau absolute itu berarti sangat ideal. Sementara di sisi lain, mereka justru dapat cerita kalau di Indonesia, deforestasi, penggunaan lahan gambut, kebakaran, masih terjadi. Akhirnya mereka bertanya, mana yang kalian bilang absolute itu?
“Alhasil kita dihukum. Dengan cara apa, saat ini ada 80 (data 2021) juta ton produksi minyak sawit dunia. Dari jumlah itu, 22,3 juta ton sudah bersertifikat RSPO. Tapi, konsumen hanya mengakui 40 persennya. Sisanya mereka mau membeli tapi dengan harga biasa. Itulah yang terjadi,” Tungkot buka-bukaan.
Tapi capaian RSPO itu masih mending ketimbang ISPO. Sampai sekarang ISPO belum mendapat pengakuan dari negara manapun. Makanya yang sudah bersertifikat dan yang tidak bersertifikat, harganya sama saja.
“Gimana pula konsumen mau membedakan mana yang bersertifikat dan tidak. Di lapangan, Tandan Buah Segar (TBS) dari yang tersertifikasi dan tidak tersertifikasi sudah bercampur di pabrik, lalu tercampur pula di tangki timbun, di kapal juga begitu, sudah tercampur. Sampai di negara tujuan, juga tidak terpisah, saya sudah cek itu,” ujarnya. (Bersambung)
Komentar Via Facebook :