Berita / Nasional /
Di Balik Tuduhan Perusak, Perusahaan Sawit Nyatanya Ikut Selamatkan Hutan dan Satwa Langka
Dosen Kehutanan Institut Pertanian Stiper (Instiper) Yogyakarta sekaligus penerima Kalpataru 2017, Siti Maimunah.
Jakarta, elaeis.co – Tuduhan bahwa perusahaan sawit selalu identik dengan perusakan lingkungan mulai dipertanyakan. Di tengah krisis ekologi dan perubahan iklim yang kian terasa, sebagian pelaku usaha justru terlibat langsung dalam upaya menjaga hutan dan melindungi satwa langka.
Gambaran ini mengemuka dalam diskusi publik “Quo Vadis Konstitusi dan Krisis Ekologi: Belajar dari Bencana Hidrometeorologis Sumatera” yang mempertemukan akademisi, aktivis, dan praktisi lapangan.
Dosen Kehutanan Institut Pertanian Stiper (Instiper) Yogyakarta sekaligus penerima Kalpataru 2017, Siti Maimunah, menegaskan bahwa bencana hidrometeorologis di Sumatera, mulai dari banjir bandang, longsor, hingga kekeringan ekstrem tidak bisa dipahami semata sebagai gejala alam.
Menurutnya, rangkaian bencana tersebut merupakan konsekuensi panjang dari kegagalan struktural dalam pengelolaan lingkungan hidup, lemahnya penegakan hukum, serta belum maksimalnya penerapan nilai-nilai konstitusi terkait hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Kalau kita turun ke lapangan, terlihat jelas kerusakannya. Ini bukan hanya soal hujan deras, tapi tentang bagaimana hutan dan daerah resapan air sudah kehilangan fungsinya,” ujar Siti.
Berangkat dari pengalamannya mendampingi perusahaan kehutanan, tambang, dan perkebunan sawit, Siti menawarkan sudut pandang berbeda.
Ia mengaku kerap berjalan menembus konsesi hutan produksi hingga wilayah tambang batubara untuk mendorong praktik konservasi. Dalam proses itu, ia melihat tidak semua perusahaan berdiri di posisi berlawanan dengan lingkungan.
“Ada perusahaan yang mau diajak belajar, mau mengubah cara pandang, dan ikut menjaga hutan yang tersisa,” katanya.
Pendekatan kolaboratif ini, lanjut Siti, menjadi penting di tengah keterbatasan negara. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan kawasan hutan Indonesia seluas sekitar 120 juta hektare berada di bawah berbagai bentuk tekanan aktivitas ekonomi.
Namun di saat yang sama, KLHK juga mencatat meningkatnya penerapan skema Nilai Konservasi Tinggi (NKT) dan High Carbon Stock (HCS) di sejumlah perkebunan sawit sebagai upaya melindungi kawasan bernilai ekologis penting.
Siti menilai keterlibatan perusahaan justru membuka ruang konservasi yang lebih nyata. Perlindungan satwa langka seperti orangutan, bekantan, dan spesies endemik lainnya, misalnya, kini banyak bergantung pada lanskap yang berada di dalam atau sekitar konsesi.
Berdasarkan data KLHK, populasi orangutan Kalimantan yang diperkirakan tersisa sekitar 104 ribu individu sangat membutuhkan konektivitas habitat yang sebagian berada di wilayah konsesi perusahaan.
Tak hanya itu, upaya rehabilitasi kawasan terbuka, termasuk bekas proyek food estate, juga mulai diarahkan pada restorasi ekosistem. Siti terlibat langsung dalam edukasi masyarakat dan pendampingan perusahaan agar kawasan yang terlanjur terbuka bisa dipulihkan secara bertahap.
Pengalaman lapangan tersebut bahkan ia bawa ke forum internasional. Pekan lalu, Siti mewakili Indonesia dalam pertemuan di Yunnan, China, untuk memaparkan praktik konservasi yang melibatkan sektor swasta.
“Tanpa perusahaan, anggaran konservasi tidak akan cukup. Justru dengan melibatkan mereka, kita bisa menyelamatkan lebih banyak,” ujarnya.
Di tengah tuduhan dan kecurigaan, sebagian perusahaan sawit mulai menunjukkan bahwa di balik kepentingan ekonomi, masih ada ruang untuk menjaga hutan dan satwa, asal negara tegas, aturan jelas, dan semua pihak mau duduk di meja yang sama.







Komentar Via Facebook :