https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Disbun Riau: Pemerintah Harus Betul-betul Buka Pintu Ekspor

Disbun Riau: Pemerintah Harus Betul-betul Buka Pintu Ekspor

Seorang pekerja mengecek kualitas minyak sawit mentah (CPO) di pabrik pembuatan minyak sawit. (Foto: Reuters/Republika)


Pekanbaru, elaeis.co - Kebijakan penutupan ekspor bahan baku dan minyak goreng akhir April lalu yang dilakukan langsung oleh Presiden Jokowi memberikan dampak besar terhadap perkebunan kelapa sawit. Bahkan meski larangan itu telah dicabut Akhir Mei kemarin, hingga kini dampak itu masih dirasakan para petani.

Kepada elaeis.co, Kepala Bidang Kabid Pengolahan dan Pemasaran Dinas Perkebunan Riau, Defris Hatmaja mengatakan, secara umum larangan itu juga berdampak terhadap perusahaan pemilik PKS dan eksportir CPO dimana terjadi pemutusan kontrak (wan prestasi) dalam perdagangan internasional.

Hal itu terjadi lantaran eksportir CPO tidak bisa memenuhi pasokan sesuai kontrak yang telah disepakati dan kondisi tersebut berlanjut sampai hari ini.

"Pasar CPO Indonesia diambil alih oleh Malaysia dimana harga CPO yang mereka terima sekitar Rp20.000/kg. Tentu ini berdampak positif bagi harga TBS di Malaysia sekitar Rp5.200/kg. Kondisi ini berbanding terbalik dengan di Indonesia dimana harga CPO terjun bebas pada kisaran harga Rp8.000/kg dan harga TBS harga Rp500-Rp1.100/kg di tingkat pekebun," ujarnya, Senin (4/7)

Sementara, stok CPO di tangki penimbunan (storage) mengalami penumpukan dan relatif hampir penuh sehingga sebagian PKS sudah tidak menerima TBS dan tidak mengolah TBS lagi dari pekebun.

Gara-gara itu pula, dari pengamatannya sebagian besar pekebun tidak memanen TBS karena cost produksi sudah jauh lebih tinggi dibanding penghasilan yang diterima. 

Sehingga diprediksi kebun-kebun masyarakat akan mengalami kerusakan secara teknis. Ditambah lagi dengan tingginya harga pupuk yang mengakibatkan sebagian besar pekebun tidak dapat melakukan pemupukan.

Menurut Defris, permasalahan yang terjadi saat ini tidak lagi bersifat sektoral. Terutama di Kemendag yang sampai hari ini masih fokus dengan ketersediaan dan harga minyak goreng. 

Sementara stok minyak goreng di pasaran relatif tersedia meskipun harga sedikit lebih tinggi dari harga yang dipatok pemerintah. Secara umum kebutuhan minyak goreng bagi masyarakat masih dapat dipenuhi. 

"Permasalahan utama saat ini adalah disektor hulu yaitu harga TBS pekebun yang cenderung semakin rendah dan ranah harga TBS berada di Kementan. Sementara TBS merupakan bahan baku untuk menghasilkan CPO yang menjadi bahan baku pula untuk memproduksi minyak goreng," katanya.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kata Defrris, Kemendag dan Kementan melakukan sinkronisasi kebijakan dari hulu ke hilir dikoordinir oleh Kemenko Perekonomian dan pengambil kebijakan lainnya.

Sebab akar permasalahan adalah rendahnya harga TBS dan penumpukan CPO yang tidak terbendung akibat tidak dibukanya izin ekspor, diharapkan pemerintah menetapkan kebijakan untuk memberikan izin ekspor kepada eksportir CPO dan minyak goreng bahkan turunannya secara luas. Namun tetap memperhatikan ketentuan yang ada. 

"Diyakini dengan bergeraknya ekspor CPO, minyak goreng dan turunannya, maka akan berdampak pada pergerakan TBS pekebun sehingga diprediksi harga TBS akan semakin meningkat," tandasnya.

Komentar Via Facebook :