https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

Selusin SK Men-LHK; Terpaksa 'Mengaku' Salah Walau Tak Salah

Selusin SK Men-LHK; Terpaksa

Hamparan kebun kelapa sawit di Riau. Foto: aziz


Jakarta, elaeis.co - Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men-LHK) Tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha Yang Telah Terbangun di Dalam Kawasan Hutan Yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan, terus berseliweran ke mana-mana. 

Ada yang nongol di media online, ada pula yang sengaja berbagi 'pantulan' di group-group whatsapp (khususnya) di kalangan para pelaku perkebunan kelapa sawit

Baca juga: Kalau Belum Dikukuhkan Jadi Kawasan Hutan, Tak Perlu Ada Pelepasan

Hingga dua bulan lalu, persis 5 April 2023, Men-LHK telah mengeluarkan 12 SK dengan total subjek hukum atau 'pelanggar'sebanyak 2701.

Adapun total luas lahan yang dikuasai para 'pelanggar' ini mencapai 3.372.615 hektar. Di Provinsi Riau, total pelanggar mencapai 1058 dengan luas lahan mencapai 698.447,86 hektar.   

Para 'pelanggar' kawasan hutan tadi, termasuk di Riau, tidak hanya perorangan, tapi juga kelompok, korporasi dan bahkan pemerintah daerah. Mereka dianggap telah mengusahai tanah tanpa izin, yang menurut KLHK adalah kawasan hutan.

Entah itu kawasan hutan lindung (HL), kawasan hutan produksi terbatas (HPT), kawasan hutan produksi tetap (HP) dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).

Uniknya, tak sedikit dari 'pelanggar' ini justru telah mengantongi Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanahnya. Bahkan ada SHM itu yang sudah terbit jauh sebelum kawasan hutan di daerahnya ditunjuk, juga diklaim dalam kawasan hutan. 

 

Dasar KLHK mengatakan itu kawasan hutan, hanya berdasarkan peta berwarna yang dibikin. Bukan dengan menyodorkan bukti-bukti seperti; Berita Acara Tata Batas (BATB) yang dilengkapi dengan peta tracking polygon serta SK Pengukuhan. 

Nah, orang-orang kemudian mengistilahkan SK-SK tadi adalah pintu masuk 'pengampunan' oleh KLHK terhadap para pelanggar. 

Dasar KLHK memberikan 'pengampunan' itu adalah pasal 110A dan 110B. Pasal itu telah diselipkan oleh pembuat undang-undang pada Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), cluster kehutanan. 

Baca juga: Narasi Sesat; Kebun Sawit dalam "Kawasan Hutan"

Secara sederhana, KLHK akan mengenakan pasal 110A kepada para 'pelanggar' yang telah mengantongi perizinan berusaha sebelum UUCK berlaku dan jika sebaliknya, dipakai pasal 110B. 

Pasal terakhir ini, selain membayar denda seperti pada pasal 110A, 'pelanggar' hanya diberikan waktu usaha, satu daur.  

Aturan main soal denda ini ada pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 tahun 2021. PP ini merupakan turunan dari UUCK tadi.   

 

Di sinilah kemudian persoalan itu mulai rumit dan tidak nyambung. Sebab sesungguhnya, persoalan kawasan hutan adalah persoalan tanah, bukan persoalan apa yang ditanam oleh 'pelanggar' di atas tanah itu. Begitulah kata Prof. Budi Mulyanto, guru Besar IPB. 

Sebab urusan penggunaan lahan, sudah menjadi urusan lembaga lain. Misalnya; Rencana Rata Ruang Wilayah (RTRW) adalah urusan pemerintah daerah, dan  seterusnya. 

Baca juga: Pejabat KLHK: Tidak Ada Kawasan Hutan di Riau

Hanya saja, KLHK nampaknya tidak memperdulikan itu. Dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR pada Selasa pekan lalu, Men-LHK Siti Nurbaya justru telah menyodorkan estimasi bahwa negara akan mendapat duit dari pembayaran denda pelanggaran itu mencapai Rp50 triliun. 

Angka ini tentu teramat menggiurkan meski sebenarnya masih lebih kecil ketimbang Pungutan Ekspor (PE) yang didapat oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam setahun. 

BPDPKS ini adalah Badan Layanan Umum (BLU) yang didirikan oleh Kementerian Keuangan, lembaga negara juga. 

Kawasan Hutan Versi Undang-Undang

 

Klaim kawasan hutan yang empat tahun belakangan digembar-gemborkan oleh KLHK sontak mendapat dukungan penuh dari Non Government Organization (NGO) pecinta lingkungan. 

Maklum, yang diusung oleh KLHK dibalik bahasa kawasan hutan itu adalah penyelamatan hutan dan lingkungan. 

Jadilah klaim kawasan hutan itu menjadi sebuah pembenaran, dan...kelapa sawit yang sudah tumbuh subur di tanah yang diklaim kawasan hutan itu pun kemudian disebut ilegal. 

Bahasa ilegal inilah yang kemudian berseliweran kemana-mana, tak terkecuali ke Benua Eropa sana. Sawit kemudian dianggap sebagai sumber deforestasi di Indonesia. 

Selain itu, bahasa kebun sawit ilegal ini juga telah memicu pelaku perkebunan kelapa sawit menjadi 'ATM berjalan' oleh oknum-oknum yang punya 'kekuatan'.

 

Padahal sesungguhnya, kawasan hutan tadi belumlah sepenuhnya bisa disebut kawasan hutan. Sebab pada pasal 1 ayat 3 UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pmerintah sebagai hutan tetap. 

Pengertian kawasan hutan ini dikuatkan oleh Putusan MK 45 tahun 2011 yang menghilangkan frasa ditunjuk dan atau pada pengertian kawasan hutan yang ada di UU 41 tahun 1999 tadi. 

Pun kalau frasa ditunjuk dan atau ditetapkan masih berlaku, pasal 14 dan 15 UU itu justru tetap menuntut penetapan. Misalnya di pasal 14; kawasan hutan harus melalui proses pengukuhan untuk mendapatkan kepastian hukum. 

Pasal 15; pengukuhan kawasan hutan dilakukan dalam empat tahapan; penunjukan; pementaan; penataan batas; penetapan. Penetapan ini biasanya dibuktikan dengan BATB dan tracking peta polygon tadi.

 

Pertanyaan yang kemudian muncul; apakah kawasan hutan yang disebut oleh KLHK tadi sudah benar-benar kawasan hutan seperti yang dibilang UU tadi? 

Ambil saja contoh di Riau. Januari lalu, adalah pejabat KLHK, Mulja Pradata menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus Duta Palma Group di Pengadilan Tidak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

Bekas Kepala Seksi Pengukuhan dan Tenurial kawasan hutan wilayah Sumatera KLHK yang kini menjabat sebagai Kepala Seksi Dokumentasi KLHK mengatakan bahwa secara keseluruhan, di Riau belum (ada yang dikukuhkan menjadi kawasan hutan). Masih berproses untuk ditetapkan menjadi kawasan hutan. 

Menurut Mulja, ada proses yang cukup panjang yang musti dilakukan oleh KLHK dalam menetapkan sehamparan lahan menjadi kawasan hutan. 

Apa yang dibilang Mulja itu tak berlebihan. Sebab belakangan, tim Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Riau justru baru turun ke lapangan memasang patok-patok kawasan hutan. 

Bagi yang mengerti apa itu kawasan hutan, pemasangan patok ini sontak mendapat perlawanan. Misalnya di Desa Sekayan Kecamatan Kemuning Kabupaten Indragiri Hilir dan di Rantau Kopar, Rokan Hilir (Rohil). 

 

Praktisi Hukum Perhutanan, Dr. Sadino mengatakan bahwa 80 persen penataan batas yang dilakukan oleh KLHK di Indonesia, masih penataan batas luar. 

"Penataan batas itu kan proses pemisahan hak-hak para pihak. Kalau norma pengukuhan mengabaikan hak konstitusional warga negara dan tidak diselesaikan, ya itu tidak mengikat kepada rakyat yang punya hak," ujarnya.

Lalu, kenapa orang berbondong-bondong mengajukan 'pengampunan' atas klaim kawasan hutan itu? "Terpaksa. Dari pada nanti kebun sawit saya digusur, ya ikut saja. Mudah-mudahan saja dendanya tidak membikin saya semakin pening," sederhana jawaban salah seorang pelaku kebun sawit yang tak mau namanya disebut ini.   


 

Komentar Via Facebook :