https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Penyitaan Sawit 3,4 Juta Hektare Cacat Hukum, MKMK: Negara Harus Buktikan Penetapan Hutan

Penyitaan Sawit 3,4 Juta Hektare Cacat Hukum, MKMK: Negara Harus Buktikan Penetapan Hutan

Ilustrasi - dok.elaeis


Jakarta, elaeis.co - Penunjukan kawasan hutan kembali memanas setelah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menegaskan bahwa dasar hukum penetapan hutan melalui Surat Keputusan (SK) Penunjukan tidak berlaku lagi. Pernyataan ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) meralat Putusan MK No. 147/PUU-XXII/2024 melalui mekanisme renvoi.

Direktur Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (PUSTAKA ALAM), Muhamad Zainal Arifin, menegaskan bahwa negara tidak bisa lagi menggunakan penunjukan administratif untuk klaim kawasan hutan. Artinya, langkah penertiban dan penguasaan kembali lahan yang hanya berdasar SK penunjukan cacat hukum.

“Kalau negara mau menertibkan atau menguasai kembali lahan, harus ada bukti bahwa kawasan itu sudah ditata batas dan ditetapkan secara sah. Ini bagian dari penegakan rule of law,” ujar Zainal.

Data terbaru per 1 Oktober 2025 menunjukkan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) telah menyita sekitar 3,4 juta hektare lahan sawit, yang dianggap ilegal masuk kawasan hutan. Dari jumlah itu, 1,5 juta hektare sudah dikelola PT Agrinas Palma Nusantara. Tapi menurut Zainal, penyitaan ini cacat hukum, karena belum ada penetapan kawasan hutan yang sah.

Ketua Satgas PKH, Febrie Adriansyah, mengatakan penertiban bukan hanya soal pidana, tapi juga penguasaan kembali lahan negara. Semua keuntungan yang diperoleh secara tidak sah harus dikembalikan. Namun, Zainal menekankan bahwa hanya lahan yang telah melewati tahap penetapan yang bisa ditertibkan. Tahapan ini meliputi penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan—di mana penunjukan hanyalah identifikasi awal tanpa kekuatan hukum.

Zainal berharap Presiden Prabowo Subianto mengembalikan penertiban ke jalur hukum, agar praktik penyitaan berbasis peta penunjukan dihentikan. Menurutnya, langkah yang salah bisa merusak iklim investasi, bahkan menimbulkan kesan nasionalisasi aset tanpa dasar hukum.

Majelis Kehormatan MK sendiri telah memberikan teguran lisan kepada sembilan Hakim Konstitusi terkait kekeliruan dalam Putusan MK No. 147/PUU-XXII/2024. Kesalahan ini muncul karena definisi “kawasan hutan” yang digunakan mengutip frasa yang sudah dibatalkan. MK kemudian mengakui kesalahan tersebut melalui Berita Acara Renvoi tanggal 27 Oktober 2025.

Zainal menegaskan, renvoi ini penting untuk menjaga integritas MK sebagai penjaga konstitusi. “Ini bukan untuk mempermalukan hakim, tapi memastikan semua tindakan negara berbasis hukum, bukan kekuasaan,” tegasnya.

Dengan keputusan MKMK ini, seluruh penyitaan lahan sawit 3,4 juta hektare harus ditinjau ulang, dan hak petani maupun perusahaan yang sah harus dipulihkan. Dunia internasional pun akan mengawasi langkah Indonesia dalam mengelola hutan dan sumber daya alam, memastikan rule of law dijalankan, bukan semena-mena.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :