https://www.elaeis.co

Berita / Siku Kata /

Semesta Dalam Dada

Semesta Dalam Dada

ilustrasi burung manyar atau tempua. foto: net


Cahaya hanya bisa ditampung oleh kesadaran. Tanpa kesadaran dan perluasan kesadaran, hidup menjadi sempit. 

Titian kesadaran [conciousness] itu bisa jalur kiri atau pun jalur kanan. Sepanjang lorong titian itu, penuh ranjau, segala ihwal musykil dan persimpangan ombak tak terduga. 

Lorong titian yang tak dihiasi rerangkai bunga menawan dan aroma mewangi, juga tiada kemerduan bunyi dan suara.

Corak titian kiri atau pun kanan, saya ambil dari model berfikir [celebral system] otak kiri dan otak kanan. Belahan kiri dalam tradisi al-madaris [madrasah] ialah domain rasional-argumentatif [alias burhaniy]. Sebaliknya, belahan kanan; irfaniy [dengan sudut tumpuan pemahaman batini] juga intuisi. Esoteris Timur, Tao mengalamatkan bahwa kiri lebih dekat ke yin dan kanan lebih cenderung ke yang.

Hewan, belajar dalam asuhan Tuhan, memperkuat sisi naluriah [instink]. Dan berlangsung secara tuntas; selesai. Tak meninggalkan bengkalai. Sehingga, muara dari tindakan instinktif itu mensejajarkan antara potensi dan prestasi. 

Baca juga: Kejahatan Apa Lagi?

Coba kerling sejenak anak burung tempua; mencapai prestasi puncak sejalan dengan jahitan kemampuan dan pelatihan naluriah yang diulang dari induk sebelumnya. Anak tempua akan mengulangi “perbuatan” dan “pembuatan” sarang super indah, halus dalam rerangkai jahitan jerami amat memukau.

Anak gajah juga menjadi “insinyur lansekap” yang piawai sebagaimana induknya. Pun, peniruan naluriah dalam asuhan Tuhan. 

Mereka menggemburkan tanah [top soil] sehingga memberi ruang kehidupan baru bagi jasad renik dan berjenis tanaman yang menjadi elemen produktif bagi bentang ekosistem ekologis.

Kita bukan tempua, jua bukan gajah. Lalu, manusia pun memperluas kesadaran lewat alur meditasi, tapa berata, hidup suci, tak mengusik luar, tapi menikam ke dalam [manusia bestari/ man of wisdom]. 

Tempuhan kedua; lewat observasi, verifikasi dan eksperimen [man of reason]. Filsuf menempuh jalur pengetahuan ‘akali’ [aqliyah], sementara kaum sufi merajut lewat pengetahuan kalbu [qalbiyah].

Terserah anda. Semua pilihan memiliki rintangan dan resiko. Tak ada jalan mulus semua jalur pengetahuan. Laksana jalan pendidikan formal yang pernah kita tempuh; dengan segala corak, peringkat, rintang-halang, ujian dan kenaikan kelas [maqamat dan ahwal, jika dalam tradisi tasawuf]. 

Immanuel Kant menukil singkat: “Science is organized knowledge. Wisdom is organized life”. Rumi mengikat perjalanan meluas itu dalam Matsnawi menawan: “Where should I go, when the journey is within my ego”? [Ke mana aku harus berlari, kalau kan perjalanan itu di dalam diri?].

Baca juga: Ada Apa (Petani) Sawit?

Syarat utama untuk beroperasinya nalar; mesti jujur, jernih dan cerdas. Berfikirlah sekuat dan sedalam mungkin yang bisa dilakukan. 

Selama proses itu berlangsung, tendanglah ‘pembatasan’ alias ‘barrier’, bukan ‘frontier’ [perbatasan]. Anda harus melampaui ‘frontier’ [perbatasan] dengan segala upaya bercorak ‘something in mural’ alias mengorek sesuatu yang berada di dalam dan di belakang tembok.

Ujung dari perjalanan pemikiran yang keras itu akan menghasilkan sejumlah kontradiksi dan kembimbangan [kebingungan]. Lanjutkan, hingga dia menabrak batas dan menjingkang segala raut halangan kontradiktif. 

Tradisi ini bisa dimulai di dalam diri, kemudian dimuaikan dalam lingkungan sebaya [intelektual dan kearifan], lalu dilanjutkan pada ranah skolastik klasik [lingkungan akademik formal; tradisi diskusi pemikiran yang dimajeliskan secara berkala].

Kesadaran harus dirawat dalam tampilan serba utuh dan dieram dalam keutuhan berjenang. Dia bak keutuhan tak terbagi dalam gerak mengalir [undivided Wholeness in Flowing Movement]

Di sini, dua jalur pengentahuan itu [otak kiri atau kanan] sama pentingnya. Tak ada yang berstatus anak tiri [apalagi anak gampang]. 

Kita berinteraksi dan komunikasi lewat verbal dan atau tulisan. Medan bisnis, sains, pendidikan memuliakan otak kiri. Sementara, realitas hidup bisa juga digali lewat kualitas “non verbal”, “non pena” alias lewat galian jeluk kedalaman puisi, penceritaan berangkai yang berpembawaan eksposisi-argumentatif. 

Lebih dipertajam lagi; bahwa tak ada ilmu yang murni berkat kerja otak kiri atau pun otak kanan secara maksimum. Teori Holografi Dennis Gabor [penerima Nobel Prize], muncul karena imajinasi dia ketika menonton pertandingan tennis. 

Bagi aliran romantik; “ilmu tak beda dengan seni, suatu proses kreatif yang dimulai dari imajinasi dan ditopang intuisi”.

Ketika kita mempersempit wawasan mengenai jalan pengetahuan yang utuh itu sebagai jalan yang terpisah, sama halnya kita menolak kaidah hidup yang berjalan secara simultan [serempak]. 

Peter Senge menyindir pahit; “kita tak punya waktu menjatuhkan pilihan apakah nalar atau intuisi; logika atau perasaan, sama halnya ketika kita tak akan memilih berjalan dengan kaki tunggal atau melihat dengan mata gazal”. Bahwa segala masalah bukan berada di luar, tetapi bertumpuk dan menguap di dalam diri.

Jika Barat lebih tampil dalam nada pilih obyektif-verifikatif, dengan segala paramater hakikat psikologi Barat, maka Zen dalam tur jenawi menghidang serapan perrenial esoteris Timur dalam jenjang tangga transformasi personal [transpersonal psychology]. Dan saya pribadi pernah mendalami satu model terapi Timur [Morita] dari Jepang.

“Kala orang lain telah mempersempit dunia, ujar Bung Hatta, maka bangunlah alam semesta di dalam dada”. Jawaban sang guru atas keresahan sang murid: “Ilmu itu bak cahaya, dia hanya bisa menerangi gelas yang bersih lagi bening”. Anda, kamu dan saya tinggal menjatuhkan pilihan. Menjaga gelas itu senantiasa bersih dan bening; atau [?]...

Yusmar Yusuf
Komentar Via Facebook :

Berita Terkait :