https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Riset Mahasiswa UGM Bongkar Ketimpangan Sosial Akibat Replanting Sawit di Kalbar

Riset Mahasiswa UGM Bongkar Ketimpangan Sosial Akibat Replanting Sawit di Kalbar

Universitas Gadjah Mada. Dok.Istimewa


Jakarta, elaeis.co - Tinggal tiga bulan di pedalaman Kalimantan Barat (Kalbar), dua mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan sisi kelam program replanting sawit.

Program peremajaan kelapa sawit yang selama ini digencarkan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas perkebunan di sana, ternyata menyisakan persoalan sosial yang tidak sedikit. 

Dua mahasiswa Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Ana Choirina Afdila dan Muhammad Fahmi Rafsanjani, berhasil mengungkap berbagai bentuk ketimpangan sosial yang muncul di balik implementasi program ini di Kalbar.

Lewat riset etnografi yang dilakukan selama tiga bulan di Desa Pampang Dua, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, keduanya mendalami dinamika sosial yang terjadi di tengah masyarakat petani sawit kecil. Penelitian ini juga melibatkan kolaborasi internasional dengan Tobias Graf dari University of Zurich, Swiss.

“Penelitian kami berfokus pada dampak sosial-ekonomi dari program replanting sawit, khususnya bagi petani kecil. Selama masa tanam ulang, mereka kehilangan pendapatan karena lahan tidak bisa segera menghasilkan. Ini menimbulkan tekanan ekonomi yang nyata,” jelas Ana Choirina saat pemaparan hasil riset, Senin (2/6).

Replanting sawit merupakan program nasional yang didorong oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) kelapa sawit untuk menggantikan tanaman sawit yang telah berusia lebih dari 25 tahun dengan tanaman baru yang lebih produktif. Meski secara agronomis dinilai penting, dalam praktiknya, program ini sering menimbulkan tantangan besar di lapangan, terutama bagi petani swadaya.

Muhammad Fahmi menuturkan bahwa banyak petani di Desa Pampang Dua menghadapi dilema antara mengikuti program atau mempertahankan tanaman lama demi keberlangsungan pendapatan jangka pendek. 

“Replanting membutuhkan modal besar, belum lagi masa tunggu selama 3–4 tahun hingga panen pertama. Ini menciptakan ruang ketimpangan baru antara petani yang mampu dan yang tidak,” katanya.

Selain persoalan ekonomi, riset ini juga menyoroti aspek sosial dan kultural. Banyak petani mengalami disrupsi relasi sosial akibat pergeseran penguasaan lahan, ketergantungan pada perusahaan, hingga konflik internal terkait pembagian hasil dan hak atas tanah.

Dosen pembimbing riset, Prof. Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, menyebut pendekatan observasi partisipatif yang digunakan Ana dan Fahmi sebagai kunci untuk memahami kehidupan masyarakat secara lebih mendalam. “Mereka tidak sekadar mengamati, tapi hidup bersama warga, membaur dalam kegiatan sehari-hari, dan belajar langsung dari pengalaman petani,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya riset lapangan seperti ini sebagai bekal generasi muda untuk memahami kompleksitas pembangunan berbasis sumber daya alam di Indonesia. Menurutnya, banyak kebijakan di sektor perkebunan yang masih terlalu teknokratis dan mengabaikan dimensi sosial-budaya masyarakat lokal.

Ana dan Fahmi berharap hasil penelitian mereka dapat menjadi masukan bagi perumusan kebijakan perkebunan sawit yang lebih adil dan berkelanjutan. “Kami ingin mengangkat suara petani kecil yang selama ini kurang terdengar. Replanting bukan hanya urusan teknis, tapi persoalan hidup yang menyentuh berbagai lapisan,” tutur Ana.

Kolaborasi dengan peneliti internasional juga memperkaya perspektif dalam melihat isu replanting sebagai fenomena global yang tak lepas dari dinamika pasar, iklim, dan politik agraria. “Komoditas sawit memang penting, tapi pendekatannya harus manusiawi dan berkeadilan,” pungkas Fahmi.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :