Berita / Lingkungan /
Jelajah Tanjung Puting: Jejak Harmoni di Tanah Orangutan
 
                Feeding time orangutan di Pos Tanjung Harapan, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Foto: Taufik Awie
Tanjung Puting, elaeis.co – Sepotong pemandangan unik pada siang itu di Pos Tanjung Harapan, Taman Nasional Tanjung Puting, sungguh mengundang senyum geli, kemudian memantik tawa kecil, meski dengan volume suara direndahkan. Tengok saja, seekor bayi orangutan yang bergelayut di tengkuk induknya, dengan lincah merebut pisang dari tangan sang induk, kemudian menyantapnya dengan santai. Terlihat sangat lucu dan menggemaskan.
Sang induk juga santuy saja, mengulurkan tangannya mengambil lagi pisang yang teronggok di dekatnya, mengupas kulit, lalu mengunyahnya. Sejumlah orangutan lainnya, jantan dan betina, turut menikmati acara makan siang di atas panggung kayu yang digelar penjaga taman nasional tersebut.
Sementara itu, seekor jantan dewasa juga santai saja menyantap hidangan yang tersedia, berupa pisang dan potongan ubi dan jagung manis. Dialah sang raja dalam kelompoknya, bernama Erwin, berusia 35 tahun. Pada acara food feeding siang itu, ia datang di awal dengan langkah mantap, wajah tegas dan bulu panjang menjuntai di pundaknya—benar-benar menunjukkan wibawa sang pemimpin.
Suasana cair dan hangat. Sekelompok pengunjung dari luar negeri tampak antusias menyaksikan pemandangan unik itu, sekaligus mengabadikannya dengan kamera profesional berlensa tele. Pada momen-momen tertentu mereka kerap tertawa kecil dengan suara ditahan. Sesuai aturan di sana, pengunjung antara lain dilarang tertawa keras, atau pun membuat kebisingan, agar tak membuat orangutan menjadi tidak tenang bahkan agresif.
Begitulah suasana Pos Tanjung Harapan di jantung Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, ketika kami—rombongan awak media dari Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya—bertandang ke sana pada Rabu siang, 29 Oktober 2025, bertepatan dengan waktu food feeding para penghuninya.
Di area terbuka, sejumlah penjaga hutan menyiapkan tumpukan pisang, pepaya, dan buah hutan di atas panggung kayu sederhana. Sebagian buah-buahan itu didatangkan dari luar daerah karena memang tak bisa tumbuh di sana. Dan seperti biasa, acara makan siang itu menjadi tontotan menarik bagi para wisatawan yang kebanyakan dari mancanegara.
 
Berangkat dari Dermaga Tanjung Puting
Perjalanan kami dimulai dari Dermaga Tanjung Puting Nasional Park, Kumai, Kotawaringin Barat, 30 menit dari pusat Kota Pangkalan Bun. Dermaga yang letaknya tak jauh dari Pelabuhan Kumai ini khusus melayani kapal “klotok” kayu dengan tujuan Taman Nasional Tanjung Puting.
 Rombongan awak media bersama tim Astra Agro Lestari. Dok. AAL.
Rombongan awak media bersama tim Astra Agro Lestari. Dok. AAL.
Kami ditemani rekan-rekan para petinggi Media Relation PT Astra Agro Lestari Tbk (AAL). Ada Mas Husni, Mas Galih, dan Mas Pandu. Lalu ada Mas Azhar, Mbak Yuni, dan Mbak Puteri. Tak ketinggalan, Pak Bandung Sahari, salah satu Direktur AAL, tak sungkan membaur akrab bersama kami.
Jangan heran kalau yang menemani perjalanan kami ini sampai berjumlah tujuh orang. Maklumlah, kami para awak media yang ikut berjumlah 44 orang, lumayan banyak. Asyiknya, semua rekan dari AAL tersebut ramah dan hangat, cukup kocak pula, membuat perjalanan terasa makin menyenangkan.
Kami menempuh jalur sungai menggunakan kapal klotok—alat transportasi tradisional yang kini menjadi ikon wisata konservasi Tanjung Puting. Klotok rata-rata berbobot 30 ton, ditenagai mesin diesel eks truk Mitsubishi Fuso berkapasitas 7.545 cc, enam silinder berkonfigurasi segaris. Cukup mumpuni mendorong kapal dengan model bodi menjulang tersebut.
Dinakodai Mardiono, 48 tahun, klotok mearayap diringi deru mesin diesel, memecah ketenangan Sungai Kumai, lalu lanjut menyusuri Sungai Sekonyer yang lebih kecil. Di kiri kanan sungai dipenuhi pohon nipah yang tumbuh rapat.
Di keheningan sungai dengan air yang kecokelatan karena zat tanin tanaman, kehidupan terasa bergerak pelan namun pasti. Seperti halnya klotok yang melaju sangat pelan, tapi pasti. Klotok memang tidak boleh sembarang dipacu mengingat bodinya yang menjulang, lemah dalam keseimbangan.
Pemandu kami, M. Arsyad, 64 tahun, menerangkan bahwa hutan di daerah itu adalah mosaik dari beragam ekosistem—hutan rawa gambut, hutan kerangas, hingga hutan sekunder yang tumbuh kembali. “Kalau di pagi hari, banyak bekantan berayun atau duduk-duduk di pohon di tepi sungai,” tuturnya.
 Nakoda Mardiono (atas) dan pemandu M. Arsyad. Foto: Taufik Alwie
Nakoda Mardiono (atas) dan pemandu M. Arsyad. Foto: Taufik Alwie
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam, kami pun tiba di Pos Tanjung Harapan. Kami tidak merasa penat, karena sudah makan siang di atas klotok. Menunya asyik: ada ikan asin, ayam bakar, tempe, bakwan, sambal terasi, serta sayur capcay minimalis. Masakan yang dihidangkan sang koki Ibu Norsiah, isteri M. Arsyad, itu terasa nikmat sekali.
Di TN Tanjung Puting, terdapat tiga pos utama, yaitu Pos Tanjung Harapan, Pondok Tanggui, dan Camp Leakey. Pos Tanjung Harapan sering menjadi tempat pertama yang dikunjungi, letaknya paling dekat dengan pintu masuk dari Kumai. Fungsi awalnya pusat rehabilitasi, kini sering menjadi pos pengamatan orangutan yang dilepasliarkan.
Ada pun Pondok Tanggui merupakan pos rehabilitasi untuk melatih orangutan muda agar siap kembali ke alam liar. Sedangkan Camp Leakey merupakan pusat penelitian orangutan tertua dan paling terkenal di TN Tanjung Putting. Camp Leakey didirikan tahun 1971 oleh Dr. Biruté Galdikas, primatolog asal Kanada-Lituania yang mendedikasikan hidupnya untuk meneliti dan melindungi orangutan Borneo. Fungsi awalnya sebagai tempat pelepasan dan rehabilitasi, kini menjadi pusat penelitian jangka panjang.
Untuk menuju arena food feeding, dari tepi sungai kami berjalan kaki sekitar 25 menit. Saat tiba di sana menjelang feeding time pukul 15.00, sudah banyak pengunjung yang kebanyakan dari mancanegara duduk di bangku kayu di depan area panggung kayu tempat food feeding. Sementara itu, sejumlah orangutan bergelayut di pohon di sekitar situ, turut menunggu acara makan siang. Maklum, mereka sudah hafal waktunya.
 Direktur AAL, Bandung Sahari (kanan), ikut menyusuri jalan tanah menuju area food feeding. Foto: Taufik Alwie
Direktur AAL, Bandung Sahari (kanan), ikut menyusuri jalan tanah menuju area food feeding. Foto: Taufik Alwie
Saat jam pemberian makan tiba, dua staf dari Orangutan Foundation International (OFI), Abah Dri dan Abang Iyan, naik ke panggung dan menumpahkan karung berisi pisang serta potongan jagung manis dan ubi. Abah Dri kemudian menirukan teriakan orangutan sebagai panggilan untuk makan. Seketika, orangutan berlompatan ke atas panggung, didahului sang raja. Lalu acara santap siang ala orangutan pun dimulai, berlangsung tertib.
Menurut Hadeli, ranger senior di sana, di Tanjung harapan jarang sekali primata lain ikut bergabung santap siang. Semuanya orangutan. “Kalau di Camp Leakey, sering ada monyet owa ikut makan,” tuturnya kepada elaeis.co.

Ranger Hadeli (kiri) dan turis asing. Foto: Taufik Alwie
Harmoni yang Tumbuh di Lingkar Sawit
Taman Nasional Tanjung Puting memiliki luas sekitar 415.040 hektare dan menjadi rumah bagi lebih dari 5.000 orangutan liar Borneo (Pongo pygmaeus). Namun di luar batas kawasannya, terbentang perkebunan sawit rakyat dan perusahaan yang menjadi denyut ekonomi masyarakat Kotawaringin Barat.
Kedekatan dua dunia itu—antara hutan dan sawit—sering dianggap berisiko. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, muncul babak baru yang menggembirakan, memberikan harapan. Yakni sebuah kolaborasi nyata antara industri dan konservasi.
Salah satu kisah yang menguatkan optimisme itu datang dari film dokumenter berjudul Palm Oil in The Land of Orangutans, karya sineas Denmark Dan Sall. Film yang dibintangi Carl Traeholt, peneliti dari Copenhagen Zoo, menyoroti lanskap di sekitar Pangkalan Bun dan Kotawaringin Barat—wilayah yang sama dengan Taman Nasional Tanjung Puting.
Melalui mata Traeholt, penonton diajak melihat bahwa sawit, hutan, dan manusia dapat hidup berdampingan tanpa harus saling meniadakan. Ia merekam bagaimana perusahaan seperti United Plantation—milik pengusaha Denmark, negara asal Carl Traeholt-- membangun wildlife corridor seluas 318 hektare untuk menghubungkan perkebunan sawit dengan hutan lindung di sekitar Tanjung Putting, termasuk di tiga pos utama tadi. Jalur hijau ini menjadi lintasan alami bagi orangutan, burung, hingga reptil, sehingga satwa liar tak lagi terjebak di blok kebun.
Film tersebut juga menunjukkan wajah lain dari industri sawit Indonesia: wajah yang ingin belajar, berbenah, dan berkolaborasi. Carl Traeholt bahkan mengakui, ia datang ke Kalimantan dengan banyak pertanyaan, namun pulang membawa harapan.
“Saya melihat sawit tidak selalu menjadi cerita buruk. Ia bisa menjadi bagian dari solusi jika dikelola dengan ilmu dan tanggung jawab,” ujarnya dalam sesi diskusi setelah pemutaran film itu di Jakarta, pertengahan Oktober lampau.
 Penampakan lahan sawit United Plantation dalam film Palm Oil in The Land of Orangutans. Foto: Taufik Alwie.
Penampakan lahan sawit United Plantation dalam film Palm Oil in The Land of Orangutans. Foto: Taufik Alwie.
Refleksi semacam itu memberi warna baru bagi narasi tentang Tanjung Puting dan lingkar sawitnya. Bahwa di antara perbedaan kepentingan, ada ruang untuk bertemu. Di sinilah konservasi tak lagi dipandang sebagai tembok pembatas, melainkan jembatan komunikasi antara manusia dan alam.
Kini sejumlah perusahaan di sekitar taman nasional mulai aktif mendukung konservasi melalui buffer zone, reboisasi, dan edukasi masyarakat. Upaya yang sejalan dengan semangat film tersebut: menampilkan bukti nyata bahwa keberlanjutan bukanlah sekadar hayalan atau utopia, melainkan hasil kerja bersama.
Dan pada akhirnya, para penghuninya—orangutan, bekantan, dan satwa lainnya—tetap dapat hidup dengan tenang. Mereka adalah saksi sekaligus pelaku bahwa harmoni bisa tumbuh bahkan di tengah bentang ekonomi modern. Mereka rutin mendapat pasokan tambahan makanan, yang menjadi tontotan menyenangkan bagi pengunjung, termasuk kami.
Puas menikmati pemandangan unik nan langka tadi, menjelang sore kami pun berkemas pulang. Klotok yang membawa kami kembali meluncur di atas air sungai yang kini berwarna keemasan ditimpa cahaya mentari sore. Bayangan pepohonan memantul di permukaan air, sementara di atas pohon tersebut tampak kawanan bekantan bergelantungan. Sore itu kami beruntung, sempat menyaksikan bekantan dari dekat.
Jujur, perjalanan ini membuat kami merasa cukup penat. Namun itu semua seakan sirna tertutupi rasa hepi dan riang memperoleh pengalaman unik.-







Komentar Via Facebook :