https://www.elaeis.co

Berita / Bisnis /

Program Biodiesel Dibayang-bayangi Ancaman Keberlangsungan Pasokan Minyak Sawit

Program Biodiesel  Dibayang-bayangi Ancaman Keberlangsungan Pasokan Minyak Sawit

Tungkot Sipayung tampil pada kesempatan pertama. Foto: Taufik Alwie


Jakarta, elaeis.co - Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Biodiesel untuk Negeri” itu, yang berlangsung menarik karena membahas tema cukup seksi, akhirnya mengerucut pada kesamaan pandangan.

Para pembicara sama-sama sependapat bahwa program mandatori biodiesel harus dipertahankan, dijaga, dan dilanjutkan karena nyata-nyata memberi banyak manfaat.

Mereka juga sepakat mengenai perlunya pembenahan signifikan di sisi hulu demi terjaminnya pasokan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel, tanpa harus menggerus pasokan minyak sawit untuk pangan dan kosmetika, serta pasokan untuk ekspor.

Begitulah kira-kira kesimpulan yang dapat dipetik dari FGD yang diselenggarakan sawitsetara.co di Hotel Santika Jakarta, Kamis petang, 18 Juli 2024.

Baca juga: Kebijakan Biodiesel Diyakini Tidak Berdampak ke Harga CPO

Acara yang didukung Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), serta sejumlah media partner termasuk elaeis.co itu menampilkan sejumlah pembicara yang mumpuni di bidangnya.

Mereka adalahTungkot Sipayung (Direktur Eksekutif The Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute, PASPI), Achmad Maulizal (Kepala Divisi Perusahaan BPDPKS), dan Rino Afrino (Sekretaris Jenderal DPP Apkasindo).

Juga ada Rapolo Hutabarat (Ketua Bidang Rantai Pasok Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia, Aprobi), serta Bina Restituta Barus dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Tungkot yang tampil pertama sebagai Special Remarks Stakeholders Sawit, menyambut gembira adanya mandatori biodiesel. Ia menyebut mandatori biodiesel yang semakin intensif telah mengangkat Indonesia naik kelas di pasar dunia.

Baca juga: Segini Harga Biodiesel Sawit untuk Periode Bulan Mei 2024

“Indonesia bukan hanya menjadi raja CPO dunia,  tapi juga sudah menjadi raja biodiesel dunia bersama-sama Amerika Serikat dan Uni Eropa. Indonesia adalah top three dunia biodiesel,” kata Tungkot, disambut tepuk tangan hadirin, yang sebagian besar kalangan mahasiwa penerima beasiswa sawit dari BPDKS.

Pertumbuhan biodiesel di Tanah Air belakangan ini memang luar biasa. Dimulai memproduksi  B-25 sebanyak 190.000 kiloliter pada 2009, kemudian meningkat secara bertahap seiring dengan peningkatan blending rate (B-10) pada tahun 2014 dengan volume produksi  3.96 juta kiloliter.

Setelah sempat menurun lebih dari 50% pada 2015 karena kalah bersaing harga dengan solar, disamping dicabutnya subsidi sebagai implikasi defisit perdagangan Indonesia, produksi biodiesel kembali berkembang.

Hal ini sejalan dengan Ditetapkannya Peraturan Pemerintah No. 24/2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Peraturan Presiden No. 61/2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Baca juga: Ekspor Biodiesel RI Anjlok Hingga 70%, ini Biang Keroknya

Kedua regulasi itu memberikan peluang bagi BPDPKS yang dibentuk untuk memanfaatkan dana sawit hasil pungutan ekspor produk sawit untuk insentif pengembangan biodiesel.

Alhasil, pertumbuhan biodiesel terus melaju, dan pada 2023 membukukan jumlah B-35 sebanyak 13,15 juta kiloliter, dengan menghabiskan bahan baku minyak sawit 10,65 juta ton, atau 45,9% dari total konsumsi minyak sawit dalam negeri.

Jumlah itu sudah melebihi volume pasokan untuk pangan yang “hanya” 10,3 juta ton, atau 44,4% dari total konsumsi minyak sawit dalam negeri.

 

Multiplier effect

Nah, meningkatnya kebutuhan pasokan minyak sawit ini praktis menjaga harga TBS pada posisi yang bagus, sehingga meningkatkan kesejahteraan petani sawit.

Daya beli petani yang tinggi telah mendorong geliat ekonomi di sekitar lingkungan mereka, bahkan menjangkau ke luar wilayah domisili mereka.

Sekjen Apkasindo Rino Afrino memaparkan, bukan hal aneh lagi kalau keluarga petani sawit memiliki kendaraan roda empat yang bagus dan rumah besar. Pendidikan anak-anak mereka juga terjamin hingga jenjang S1 dan S2.

“Penelitian Universitas Riau menyebutkan, 7% anak petani sawit sudah S1 dan S2. Tidak ada lagi yang cuma tamat SMA,” tuturnya.

Baca juga: Naik Hampir Rp 400 Harga Biodiesel Sawit di Februari 2024

Manfaat positif biodiesel memang banyak. Rapolo Hutabarat menyebut, selain menyerap minyak sawit dalam jumlah besar, juga menghemat devisa, dan meningkatkan nilai tambah CPO.

Sebagai contoh, tahun 2023 tercatat menghemat devisa impor BBM sebesar US$ 7,92 milyar. Pada tahun yang sama, penambahan nilai CPO tercatat sebesar Rp 15,85 triliun.

Biodiesel juga menyerap tenaga kerja, dan mereduksi gas rumah kaca. Pada 2023, misalnya, tercatat menyerap tenaga kerja on farm sebanyak 1,5 juta dan off farm sebanyak 11.533. Sedangkan gas CO2 yang ditekan mencapai 32,6 juta ton.

Pembenahan di sektor hulu

Hanya saja, di balik gegap-gempita program biodiesel tersebut, terdapat hambatan yang tidak bisa dibilang remeh.

Yaitu menyangkut kelangsungan pasokan bahan baku yang cukup mengkhawatirkan mengingat produksi CPO Indonesia mulai stagnan di kisaran 50 juta ton per tahun.

Bahkan pada periode 2019-2022 trennya sempat menurun di kisaran angka 46-47 juta ton.

Hal itu tak terlepas dari problem di sektor hulu. Kenyataan ini diakui oleh semua pembicara. Rapolo memaparkan ada beberapa kondisi yang perlu dibenahi, dalam rangka meningkatkan produktivitas.

Yang pertama, petani sawit harus mendapat akses bibit bersertifikat dan murah, serta memperoleh pupuk bersubsidi.

Baca juga: BPDPKS Serahkan Perjanjian Kerja Sama Pendanaan Program Mandatory Biodiesel 

Kedua, petani juga harus diupayakan menerapkan cara bertani sawit yang benar.

Menurut Rapolo, kalau itu bisa diupayakan, maka akan bisa dicapai peningkatan produktifitas sawit rakyat.

“Kalau bisa ditingkatkan 2-3 ton saja, maka dengan luasan lahan petani sawit rakyat 6,7 juta hektar, sudah berapa peningkatan totalnya,” ujar Rapolo.

Senada, Rino Afrino mengatakan, ada 3,4 juta hektar lahan sawit rakyat yang terancam hilang karena berada dalam kawasan hutan.

“Dengan produksi 4 ton saja, kalau lahan itu dihilangkan, berarti akan ada 12-13 juta ton CPO yang hilang,” kata Rino.

Rino juga menyayangkan program PSR masih tersendat. Dari target 2,4 juta hektar, baru 360.000 hektar yang terealisasi.

Baca juga: Apkasindo Sebut Produksi Fame Tak Cukup untuk Biodiesel

Tersendatnya PSR ini diakui Achmad Maulizal. Menurut dia, hal itu disebabkan beberapa faktor. Di antaranya, masih kurangnya sosialisasi sehinggap banyak petani belum tahu kalau ada dana PSR sebesar Rp 30 juta per hektar.

Kalau pun sudah banyak yang tahu, menurut Maulizal, banyak pula petani masih enggan. “Mungkin mereka merasa cukup makmur, sehingga menganggap uang segitu kecil-lah,” ucap Maulizal.

Ia menegaskan, BPDPKS akan terus melakukan sosialisasi dan mendorong percepatan PSR.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :