https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Peneliti Bilang Sawit Cocok di Lahan Gambut, Cuma...

Peneliti Bilang Sawit Cocok di Lahan Gambut, Cuma...

High Level Meeting bertema “Paradigma Baru: Mengubah Pengelolaan Lahan Gambut dari Cost Center menjadi Nature Positive Economy”, yang diselenggarakan BRIN. foto: ist.


Jakarta, elaeis.co – Lahan gambut kini tak lagi dianggap sebagai beban biaya (cost center), melainkan mulai dilirik sebagai aset strategis pembangunan yang menguntungkan secara ekonomi sekaligus ramah lingkungan.

Fakta ini mengemuka dalam High Level Meeting bertema “Paradigma Baru: Mengubah Pengelolaan Lahan Gambut dari Cost Center menjadi Nature Positive Economy”, yang diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

Diskusi tersebut menggambarkan urgensi transformasi pengelolaan lahan gambut melalui pendekatan ekonomi berbasis alam (nature positive economy). Para pakar dan pemangku kepentingan lintas sektor menyuarakan perlunya perubahan paradigma, agar restorasi lahan gambut tak lagi membebani masyarakat, melainkan menjadi peluang usaha yang menguntungkan.

Salah satu pemantik diskusi, Daniel Mendham, Ketua Tim Proyek Riset Improving Community Fire Management and Peatland Restoration in Indonesia, menyebut rendahnya adopsi restorasi oleh masyarakat karena pendekatan yang tak berpihak pada ekonomi lokal.

“Kita butuh model bisnis yang memberi insentif nyata bagi masyarakat, bukan menuntut pengorbanan mereka,” tegasnya seperti dikutip dari keterangan resmi Humas BRIN, Kamis (31/7).

Daniel menyebut kelapa sawit sebagai tanaman yang jadi pilihan di lahan gambut karena punya pasar jelas, infrastruktur kuat, dan memberikan pendapatan stabil. Namun, sawit di lahan gambut kerap menjadi bom waktu ekologis.

“Drainase lahan untuk sawit mempercepat pelepasan karbon dan meningkatkan risiko kebakaran,” ujarnya.

Ia mendorong adopsi paludikultur dan agroforestri berbasis gambut sebagai alternatif, asalkan ada dukungan pasar dan pembiayaan global. “Restorasi gambut adalah barang publik global. Indonesia tak bisa menanggung sendiri. Kita butuh investasi internasional hingga ratusan miliar dolar,” tambahnya.

Dari sisi kebijakan, Franky Zamzani dari Kementerian Lingkungan Hidup menekankan pentingnya harmonisasi regulasi agar restorasi gambut bisa dihitung sebagai pengurang emisi karbon. Ini membuka peluang untuk kredit karbon, yang dapat dimonetisasi secara global.

Sementara itu, Herry Purnomo dari CIFOR-ICRAF menggarisbawahi realitas ekonomi yang membuat pembakaran lahan lebih murah dibanding metode mekanis. Ia menekankan perlunya pemahaman mendalam terhadap rantai nilai dari hulu ke hilir, serta keterlibatan aktif masyarakat lokal. “Solusinya ada di lapangan, bersama petani dan komunitas,” katanya.

Diskusi ditutup dengan Deklarasi Bersama yang dibacakan Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN, R. Hendrian. Isinya mencakup komitmen untuk mengoptimalkan potensi gambut melalui ilmu pengetahuan, mendorong insentif hijau, memperkuat perlindungan hak masyarakat adat, serta membangun ekonomi berkelanjutan berbasis ekosistem gambut.

 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :