Berita / Nusantara /
Kontribusi Industri Sawit dari Perspektif Sains, Ekonomi, dan Lingkungan, Dikaji di UGM
Yogyakarta, elaeis.co - Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS) menggelar bedah buku dan diskusi bertema "Kelapa Sawit dalam Pembangunan Berkelanjutan: Tinjauan Sains, Ekonomi, dan Lingkungan" di Auditorium Sukadji Ranuwihardjo, Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Sleman, Yogyakarta. Acara ini dihadiri ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.
Acara yang digelar oleh Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM bekerja sama dengan penerbit buku Kompas serta Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMY dan UNY ini diharapkan bisa membangun perspektif objektif tentang kelapa sawit di mata mahasiswa dan akademisi. Ini mengingat komoditas kelapa sawit terus mendapatkan kampanye hitam dan isu miring mulai dari deforestasi, perusakan lingkungan, hingga pelanggaran hak asasi manusia.
Acara ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif keberadaan dan kontribusi industri kelapa sawit bagi perekonomian Indonesia dari perspektif sains, ekonomi, dan lingkungan. Hadir sebagai keynote speaker Dubes Yuri O. Thamrin MA selaku dewan pengawas IPOSS.
Tiga narasumber lainnya yakni Prof. Budi Mulyanto (Kepala Pusat Studi Sawit IPB), Petrus Gunarso PhD (Pakar Kehutanan dan Lingkungan), dan Akhmad Akbar Susamto PhD (Kaprodi Magister Ekonomi Pembangunan UGM). Diskusi dipandu oleh Siwi Istiana Dinarti MSc (Kaprodi Agribisnis Instiper Yogyakarta).
Dalam forum diskusi tersebut, ragam stigma dan tabir mengenai keberadaan industri sawit di kalangan masyarakat Indonesia mulai terbuka. Para peserta terlihat antusias menyimak materi yang dipaparkan oleh para narasumber.
Prof. Budi Mulyanto mengawali paparannya dengan mengungkap sejarah, keistimewaan, dan kampanye negatif yang menerpa industri minyak sawit, seperti isu deforestasi dan emisi karbon. “Pada dasarnya, perang dagang dalam pasar minyak nabati global menjadi motif utama dari kampanye negatif tersebut. Tujuannya adalah untuk merusak citra sawit demi menjaga citra minyak nabati produk Eropa dan melindungi kepentingan petani Eropa, serta sebagai strategi untuk mendapatkan harga produk minyak sawit yang lebih murah,” paparnya seperti dikutip dari rilis Humas UGM Senin (30/9).
Petrus Gunarso mengamini apa yang disampaikan Mulyanto tentang isu deforestasi. Ia menyebutkan bahwa komoditas sawit merupakan komoditas eksotis yang kontroversial dan terus ia perjuangkan di pasar global melalui dialog di World Trade Organization (WTO). Gunarso juga mengapresiasi FEB UGM yang telah memberikan ruang diskusi tentang sawit.
“Saya salut kepada UGM yang telah mengakomodasi pertemuan mengenai sawit. Pasalnya, tidak banyak perguruan tinggi negeri di Indonesia yang menyambut baik sawit,” ujarnya.
Perspektif tentang sawit dan pembangunan berkelanjutan semakin lengkap ketika dilihat dari sudut pandang ekonomi. Sawit telah menjadi salah satu komponen penting dalam perekonomian nasional, terutama sebagai salah satu komoditas unggulan. Kontribusi sawit terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), penciptaan lapangan kerja, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi argumen yang mendukung keberlanjutan sektor ini dari sudut pandang ekonomi.
Menurut Akhmad Akbar Susamto, dari perspektif pembangunan berkelanjutan, sawit memunculkan tantangan yang mencakup aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola. Tantangan tersebut meliputi: pertama, tantangan yang murni berasal dari pengusahaan sawit, termasuk kebutuhan lahan yang luas dan budidaya yang bersifat monokultur; kedua, tantangan yang muncul akibat perilaku negatif sebagian perusahaan sawit; dan ketiga, tantangan akibat lemahnya institusi hukum di Indonesia.
“Jika kita ingin sawit berperan lebih besar dalam pembangunan berkelanjutan, maka pemaknaan ‘sawit sebagai anugerah yang perlu diperjuangkan’ harus mencakup upaya serius untuk mengatasi tantangan di atas. Tanpa upaya tersebut, posisi sawit dalam pembangunan berkelanjutan akan terus dipertanyakan,” tegasnya.
Di akhir sesi, Hilmar, salah satu mahasiswa MEP FEB UGM, mengajukan pertanyaan tentang daya saing sawit Indonesia di pasar global. “Mengapa daya tawar Indonesia lemah, padahal Indonesia merupakan produsen sawit terbesar dunia dengan kontribusi 59 persen?” tanyanya. “Tidak ada yang perlu ditakuti dari Eropa. Kita siap bersaing, maka belajarlah sebaik-baiknya tentang sawit,” jawab Prof. Budi.
Komentar Via Facebook :