Berita / Nasional /
Isu Pengembangan Sawit di Pulau Jawa Kembali Mencuat, Begini Reaksi yang Muncul
Diskusi dan peluncuran buku terkait sawit di Pulau Jawa yang digelar oleh Sawit Watch, Kamis (16/5/2024). (Foto: Sawit Watch)
Jakarta, elaeis.co - Isu pengembangan komoditas perkebunan kelapa sawit di Pulau Jawa kembali mencuat beberapa waktu terakhir ini.
Padahal, isu ini sempat meredup beberapa tahun yang lalu seiring tidak terealisasinya investasi besar-besaran pembangunan perkebunan kelapa sawit di kawasan selatan Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur (Jatim).
Perlu diketahui, Pulau Jawa sendiri sebenarnya sentra pertanian pangan nasional, bulan komoditas perkebunan, termasuk sawit.
Namun, bukan tak ada sawit di Pulau Jawa. Sejumlah kabupaten di Provinsi Banten diketahui memiliki perkebunan dan pabrik pengolahan sawit.
Baca Juga: Perkebunan Sawit di Pulau Jawa Justru Sangat Memungkinkan, Asal...
Baik milik perusahaan sawit swasta, anak usaha PTPN Nusantara, maupun perkebunan sawit milik masyarakat.
Termasuk yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspek-PIR).
Selain itu, perkebunan sawit juga ada di Provinsi Jawa Barat (Jabar), termasuk di Kabupaten Sukabumi. Bahkan terdengar kabar kalau perkebunan teh milik Holding PTPN Nusantara akan diganti menjadi tanaman sawit
Situasi ini memunculkan reaksi dan polemik di sejumlah kalangan, termasuk reaksi dari Sawit Watch, salah satu organisasi nonpemerintah atau non government organization (ornop/NGO).
Baca Juga: Ini Hasil Kajian Sawit Watch Terkait Isu Pengembangan Perkebunan Sawit di Pulau Jawa
Sawit Watch bahkan menggelar diskusi dan peluncuran buku berjudul "Gula-gula Sawit di Pulau Jawa (Harapan Manis Berbuah Tangis?)", Kamis (16/5/2024).
Buku itu sendiri merupakan hasil inisiasi Sawit Watch dan didasari sebuah kegelisahan, apakah pengembangan sawit di Pulau Jawa merupakan sebuah urgensi atau latah semata?
Diskusi yang digelar Sawit Watch tersebut, seperti keterangan resmi yang diterima elaeis.co, Sabtu (18/5/2024), menghadirkan sejumlah pembicara berkompeten.
Seperti Dr I Gusti Ketut Astawa S.Sos MM yang merupakan Deputi 1 Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan pada Badan Pangan Nasional.
Selanjutnya sebagai tuan rumah adalah Achmad Surambo selaku Direktur Eksekutif Sawit Watch.
Lalu, Arief Rahman SSi MSi dari Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB University, dan terakhir adalah Tejo Wahyu Jatmiko dari Perkumpulan Indonesia Berseru
Ketut Astawa bilang, Pulau Jawa berperan sebagai lumbung pangan nasional, dan itu artinya memiliki kontribusi besar dalam menyediakan kebutuhan pangan nasional.
Baca Juga: Isu Perkebunan Sawit Dikembangkan di Pulau Jawa Mengandung Novelty
Kata dia, Pulau Jawa memiliki luasan lahan serta daya dukung dan tampung lingkungan yang mendekati ambang batas.
Jika ditambah kondisi krisis pangan global, menanam sawit di Jawa, ia menilai hal itu akan menimbulkan pertanyaan apakah benar sawit memberikan keuntungan?
"Khususnya bila dibandingkan dengan mengusahakan komoditas selain sawit terutama komoditas pangan?" ujarnya.
I Gusti Ketut Astawa menegaskan
bahwa Pulau Jawa merupakan sentra pangan nasional.
“Rata-rata produksi komoditas pangan di Pulau Jawa mencapai 60 persen dari total produksi pangan nasional. Hal ini menjadikan Pulau Jawa sentra pangan nasional," kata Astawa.
Ia mendesak agar Badan Pangan Nasional berusaha mengendalikan harga dari hulu hingga hilir, dengan cara memastikan kesediaan pasokan pangan.
"Sawit bukan menjadi komoditas utama yang ingin didorong karena suplai sawit di Indonesia sudah mencukupi bahkan dapat diekspor,” ujar Astawa menambahkan.
Achmad Surambo selaku Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan bisa saja jika kisah sawit di Pulau Jawa mengikuti sejarah perkebunan gula di Indonesia yang awalnya digemari lalu ditinggalkan.
Kata dia, di Pulau Jawa, perkebunan kelapa sawit seharusnya tidak menjadi komoditas unggulan.
“Maraknya konversi lahan menjadi lahan sawit di Pulau Jawa merupakan hal baru. Sawit seharusnya tidak menjadi komoditas unggulan di Pulau Jawa," ujar pria yang akrab disapa Rambo.
"Sebaiknya, dikembangkan pangan dan kawasan hutan diberikan izin perhutanan sosial, serta memberlakukan agroforestry. Berlakukan juga TORA untuk eks HGU yang sudah tak terpakai,” ujarnya.
Sebagai informasi, TORA adalah singkatan dari tanah objek reforma agraria. TORA adalah tanah yang dikuasai oleh negara dan atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi.
Adapun subjek Reforma Agraria adalah penerima TORA yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan oleh Pemerintah.







Komentar Via Facebook :