Berita / Nasional /
FPKMS Merupakan Keadilan Bagi Petani Sawit
Konferensi Hukum kemitraan usaha perkebunan dan FPKMS pada Senin 12 Agustus 2024 kemarin. Dok.Istimewa
Jakarta, elaeis.co - Kemitraan usaha perkebunan dan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar (FPKMS) seharusnya diletakkan sebagai instrumen kebijakan reforma agraria di perkebunan kelapa sawit melalui redistribusi tanah untuk petani dan masyarakat sekitar perkebunan.
Sejumlah organisasi yang terdiri dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sawit Watch dan IHCS pun menggelar Konferensi Hukum kemitraan usaha perkebunan dan FPKMS pada Senin 12 Agustus 2024 kemarin. Tujuan kegiatan ini untuk mendapatkan keadilan bagi petani dan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
Ketua SPKS, Sabarudin menjelaskan bahwa mencari solusi atas konflik kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit merupakan prioritas utama pemerintah. Bahkan juga dalam menyelesaikan berbagai konflik kemitraan yang muncul diberbagai daerah.
Baca juga: Beda Persepsi Tentang FPKMS Jadi Salah Satu Biang Konflik Perkebunan
Menurutnya aturan dan kebijakan pengembangan sawit lewat pola kemitraan usaha perkebunan terus mengalami perubahan dengan berbagai skema pembiayaan. Tetapi masih dalam naungan pola inti plasma.
Sayangnya pelaksanaan kemitraan usaha perkebunan tidak selalu mencapai tujuan pokok untuk kesejahteraan petani. Justru acapkali melahirkan persoalan baru akibat pengelolaan kerjasama dalam naungan pola inti plasma manajemen satu atap, yang menempatkan perusahaan lebih dominan perannya dalam kerjasama pengelolaan lahan hingga pengelolaan hasil.
Ini karena Dldalam banyak konflik seringkali ditemukan minimnya transparansi, perjanjian kerjasama yang merugikan petani, hingga akuntabilitas yang dipertanyakan.
Baca juga: Petani Sawit di Siak Terima SK TORA Dari Presiden Jokowi
“Persoalan kemitraan usaha perkebunan bukan saja pada tataran implementasi tetapi juga pada aturan/regulasi serta penegakan hukumnya, karena itu diperlukan resolusi konflik agar petani
tidak dibiarkan sendiri untuk mencapai keadilan, tetapi ada campur tangan pemerintah," ujarnya dalam siaran pers yang diterima elaeis.co, Rabu (14/8).
Direktur Sawit Watch Ahcmad Surambo mengatakan, bahwa permasalahan agrarian baru di perkebunan sawit juga muncul karena tidak terealisasinya fasilitasi FPKMS sebagai salah satu kewajiban perusahaan dalam pengembangan kelapa sawit.
Minimnya realisasi FPKMS hingga melahirkan konflik dengan masyarakat sekitar menambah rentetan persoalan baru.
Baca juga: Kemendag Bakal Tambah Beban TBS Melalui New DMO, Petani Sawit Meradang
Lebih lanjut Surambo mengatakan, bahwa konflik Masyarakat dengan Perusahaan akibat tidak terealisasinya FPKMS disebabkan karena perspektif yang berbeda memaknai FPKMS dan implemetasi yang rumit di lapangan serta adanya dualisme pengaturan/regulasi FPKMS, di sektor pertanahan, kehutanan dan di sektor pertanian, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidkadilan bagi masyarakat sekitar perkebunan.
“Banyak Perusahaan yang mengambil keuntungan dari kemelut regulasi yang berbeda dan berubah ubah di 3 kementerian tersebut, hingga tidak terlaksananya kewajiban perusahaan untuk memenuhi FPKMS, dan dampaknya tuntutan masyarakat terhadap realisasi pembangunan 20% tidak mencapai solusi yang jelas dan konflik terus menerus terjadi di berbagai wilayah," jelas Surambo.
Sementara menurut Penasehat Senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, kemitraan usaha perkebunan dan FMPKS seharusnya dilaksanakan untuk mendemokratiskan dan menciptakan keadilan perkebunan.
Lebih lanjut, Gunawan mengatakan bahwa kemitraan usaha perkebunan dan FPKMS harus dimaknai sebagai bagian dari reforma agraria melalui redistribusi tanah untuk petani, sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, prinsip kemitraan, dan etika usaha.
“Pelaksanaan dari adanya penguasaan negara melalui kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengawasan dan pengelolaan kemitraan usaha perkebunan sawit dan FKMS dalam rangka melindungi tujuan untuk besar-besar kemakmuran rakyat, serta mewujudkan pemberdayaan kelembagaan petani dan kelembagaan ekonomi petani (badan usaha milik petani) dan mencegah diskriminasi terhadap petani," tegas Gunawan.







Komentar Via Facebook :