Berita / Nasional /
Ekspor CPO Terancam Kebijakan Tarif Impor AS, Begini Solusi Versi Sahat Sinaga
 
                Sahat Sinaga. Foto: ist.
Jakarta, elaeis.co - Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang mengenakan tarif impor resiprokal terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, semakin memperburuk pelemahan nilai tukar rupiah. Hal ini berdampak pada daya saing produk Indonesia, terutama komoditas seperti CPO (Crude Palm Oil) dan Stearic Acid (Oleochemicals), di pasar global.
Dari kaca mata Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, ada beberapa langkah strategis yang dapat diambil untuk menghadapi tantangan ini. Indonesia perlu segera menanggapi kebijakan tarif tinggi dari AS, yang dapat mengancam daya saing produk Indonesia, khususnya CPO dan Stearic Acid, jika dibandingkan dengan produk serupa dari Malaysia.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah melakukan pembicaraan bilateral dengan AS untuk mengurangi defisit pembelian barang Indonesia. Sahat menyarankan agar Indonesia mengalihkan pembelian produk teknis dan farmasi dari AS, yang dapat membuka peluang baru tanpa mengganggu produksi produk lainnya.
“Selain itu, eksportir Indonesia dapat memanfaatkan trading office yang ada di Singapura untuk mengekspor produk ke AS. Menggunakan jalur ini akan lebih menguntungkan, karena tarif impor yang dikenakan hanya sebesar 10%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan 32% jika langsung dari Indonesia,” ujarnya kepada elaeis.co, Kamis (10/4).
Melihat potensi pasar yang terus berkembang, Sahat juga menyarankan agar Indonesia mengalihkan fokus ekspor ke pasar timur, seperti Kanada dan Meksiko, yang memiliki permintaan tinggi terhadap CPO dan Stearic Acid. “Langkah ini akan membantu Indonesia menjaga stabilitas pasar ekspor sawit di tengah ketegangan perdagangan global,” tukasnya.
Sahat juga mengusulkan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Papua. Ini dapat menjadi pusat industri sawit dari hulu hingga hilir. Dengan demikian, Indonesia dapat menghemat biaya pengiriman (freight cost) sekitar US$ 28-30 per ton jika dibandingkan dengan ekspor melalui Malaysia. Pengembangan KEK ini akan memberikan keunggulan kompetitif bagi Indonesia dalam menembus pasar global.
Tidak hanya itu, Pantai Barat Indonesia, seperti di Sibolga atau Madina, perlu juga dibangun KEK serupa untuk menurunkan biaya pengiriman ke pasar Barat. “Dengan KEK di wilayah Pantai Barat, Indonesia bisa menghemat sekitar USD 10-12 per ton dibandingkan dengan ekspor melalui Pelabuhan Dumai atau Malaysia, sehingga kita menjadi lebih kompetitif,” ujarnya.
“Selain itu, untuk memperluas pasar sawit Indonesia di kawasan Asia Barat, Indonesia juga perlu mempertimbangkan pembukaan hub-port di Pakistan. Dengan memanfaatkan Silk Road yang dikembangkan oleh China, Indonesia bisa dengan mudah memasuki pasar negara-negara Asia Tengah seperti Afganistan dan Kazakhstan,” tambahnya.







Komentar Via Facebook :