https://www.elaeis.co

CLOSE ADS
CLOSE ADS
Berita / Lingkungan /

Begini Kontribusi Industri Sawit Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca

Begini Kontribusi Industri Sawit Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca

Hamparan kebun sawit menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar. foto: Disbunnak Kalbar


Jakarta, elaeis.co - Pemerintah Indonesia menepis tudingan bahwa industri sawit memperburuk pemanasan global. Sawit justru diklaim berkontribusi besar terhadap penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan, kebijakan bauran energi berupa biodiesel 30 persen (B30) terbukti mampu menurunkan emisi karbon dari penggunaan bahan bakar solar hingga lebih 60 persen. Saat ini pemerintah meningkatkan program biodiesel ke B35 untuk meningkatkan penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar kendaraan bermotor.

"Dibandingkan bahan bakar fosil, biodiesel paling baik, turunkan emisi 62 persen. Sekarang B35 sudah ada dan sudah banyak perusahaan (produsen) berdiri di Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi," kata Dadan dalam keterangan resmi yang diperoleh Kamis (25/5).

Pohon sawit sendiri pun berkontribusi terhadap penurunan emisi karena mampu menyerap emisi CO2 di udara. Berdasarkan penelitian Forestry and Forest Product Research Institute, pohon sawit mampu menyerap CO2 sebanyak 25 ton per hektare per tahun sedangkan pohon lain hanya 6 ton per hektare per tahun. Penelitian lain menyebutkan sawit bahkan bisa menyerap 64,5 ton CO2 per hektare per tahun. 

Dari data Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2020-2022, luas lahan sawit Indonesia adalah 14,38 juta hektare. Dengan kemampuan menyerap karbon dioksida (CO2) sebesar 64,5 ton per hektar, maka sawit terhitung mampu menyerap 927,5 juta ton CO2 pada tahun 2022.

"Secara langsung saya sampaikan, sawit itu bagus untuk lingkungan karena menyerap CO2 lebih banyak dibanding pohon lain," tegas Dadan.

Ia tak menampik sawit punya sejarah kelam karena pembukaan hutan secara besar-besaran untuk perkebunan sawit. "Tapi perlu dibandingkan antara luasan sawit dengan luasan hutan yang masih ada saat ini," tukasnya.

 

"Kami mendorong agar pelaku usaha dan petani mengikuti sertifikasi RSPO dan ISPO sebagai bukti jaminan ramah lingkungan," tambahnya.

Menurutnya, pemerintah juga terus mendorong pengembangan pembangkit listrik berbasis limbah sawit sebagai energi baru terbarukan. Ia mencatat potensi sawit sebagai bahan baku produksi listrik mencapai 28.148 megawatt (MW). Adapun saat ini total kapasitas pembangkit listrik yang sudah menggunakan sawit sudah mencapai 874,57 MW.

Subkoordinator Direktorat Perlindungan Perkebunan, Kementerian Pertanian, Dwimas Suryanata, menambahkan, pemerintah terus mendorong sertifikasi ISPO yang menjadi standar Indonesia. "Adapun untuk perluasan perkebunan sawit hanya dapat dilakukan pada lahan telantar atau terdegradasi," sebutnya.

Direktur Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB University, Meika Syahbana Rusli, mengatakan, sawit termasuk tanaman dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Karena itu, kemampuan serapan CO2 sawit tergolong lebih tinggi ketimbang tanaman lainnya. Semakin banyak bagian dari sawit yang dimanfaatkan, maka kian besar perannya dalam penurunan emisi.

“Saat ini sawit terutama digunakan untuk campuran bahan bakar, pembangkit listrik, pupuk, dan lainnya,” katanya.

Menurut dia, penggunaan sawit untuk biodiesel, dikutip dari data Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) yang menemukan penggunaan B30 (campuran 30 persen biodiesel dalam seliter bahan bakar solar) dapat mengurangi emisi sebesar 24,6 juta ton pada 2020. Jumlah itu setara dengan 7,8 persen dari target capaian penurunan emisi sektor energi pada 2030, yaitu sebesar 314 juta ton.
 

Komentar Via Facebook :