https://www.elaeis.co

Berita / Internasional /

Begini Cerita Terbaru Industri Sawit di Konfrensi Pakistan

Begini Cerita Terbaru Industri Sawit di Konfrensi Pakistan

Ketum GAPKI, Eddy Martono, saat paparan di Pakistan Edible Oil Conference, kemarin. foto: dok. GAPKI


Pakistan, elaeis.co - Tahun ini, ekspor minyak sawit diprediksi akan berkurang lebih dari 4%. Ini terjadi lantaran permintaan domestik yang terus meningkat. 

Peningkatan produksi minyak sawit dalam negeri tak akan sampai 5%. Kalau mandatori B35 diperpanjang, kebutuhan domestik akan mencapai 25 juta ton. 

"Dengan kondisi semacam ini, ekspor tahun ini akan berkurang sekitar 4,13% atau setara dengan 29 juta ton," kata Ketua umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono dalam Pakistan Edible Oil Conference di Karachi, Pakistan, kemarin. 

Saat paparan di sana, Ketua bidang luar negeri GAPKI, Fadhil Hasan lebih detil lagi merinci, selain program mandatori biodiesel, peningkatan konsumsi juga terjadi pada produk oleochemichal. 

"Sebetulnya, penurunan ekspor sudah terjadi sejak 2020 lalu dengan tujuan ekspor utama; China, India, Uni Eropa, Pakistan dan Amerika Serikat," katanya dalam siaran pers yang diterima elaeis.co, sore ini.

Selain konsumsi dalam negeri yang meningkat, produksi kata Fadhil menjadi penyebab utama. Produksi sudah turun terus sejak 2005 silam. 

"Periode 2005-2010 penurunan produksi sebesar 10%, 2010-2015 7,4%, 2015-2020 3,2%, seterusnya stagnan,” terangnya.

 

Penurunan produksi ini kata Global Research analyst, Thomas Mielke, sangat mempengaruhi pasar global.  Terlebih, konsumsi dunia juga terus meningkat. Penyebabnya itu tadi, Indonesia adalah produsen  terbesar. 

Walau mengalami penurunan, industri sawit Indonesia tahun ini kata Mielke masih tetap mendominasi pasar minyak nabati global. Menguasai 32% produksi minyak nabati dan 53% ekspor di pasar global.

Analyst Glenauk econimics, Julian Conway Mcgill menyebut, program mandatori biodiesel dan moratorium perizinan kebun sawit oleh pemerintah Indonesia, lebih berdampak terhadap produksi ketimbang isu El Nino.

Nah, lantaran kondisi tadi, Mielke dan Director Godrej Internasional ltd, Dorab mistri sepakat kalau selain faktor supply kelapa sawit Indonesia di pasar yang menurun, kebijakan bioenergi dan sustainable Aviation fuel (SAF) di sejumlah negara turut memepengaruhi harga pasar di tahun ini. 

Apalagi sampai sekarang, belum kelihatan potensi peningkatan produksi minyak nabati lain dengan kuantitas total yang setara.

Dalam konferensi ke-6 itu, eskalasi geopolitik global disebut juga menjadi faktor yang memengaruhi ketidakpastian harga minya nabati global di tahun 2024. 

Belum selesainya eskalasi di laut hitam, dampak memanasnya laut merah musti diantidipasi terhadap supply dan ketersediaan akses logistik. 


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :