Berita / Bisnis /
Wayan Supadno: Petani dan Pengusaha Sawit Itu Investor, Tolong Hargai!
Anggota Dewan Pakar DPP Apkasindo, Wayan Supadno. foto: Ist
Sudah tiga bulan belakangan industri sawit dalam negeri hancur-hancuran, persis setelah 'wabah' Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) muncul dengan dalih menyelamatkan ketersediaan dan harga minyak goreng (migor).
Tapi apa lacur, boro-boro migor terselamatkan, yang ada justru industri sawit menjadi babak belur. Jutaan petani menjerit lantaran harga Tandan Buah Segar (TBS) mereka ambruk.
Perusahaan yang bersentuhan dengan industri sawit ini juga kelimpungan lantaran harus memenuhi syarat yang sebetulnya sangat tidak masuk akal.
Salah satunya adalah meninggalkan 20 persen minyak sawit yang harus diekspor dengan harga sangat murah. Katakanlah harga minyak sawit dunia Rp17 ribu perkilogram, yang ditinggalkan itu hanya dihargai Rp9500 perkilogram.
Celakanya lagi, refinery harus rela menyerahkan produksi migornya kepada pemerintah seharga Rp11.500 meski modalnya sudah di angka Rp22 ribu.
Adalah anggota Dewan Pakar DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Wayan Supadno, yang kemudian mengurai apa saja yang menjadi 'tumbal' atas munculnya 'wabah' tadi kepada elaeis.co dalam perbincangan melalui sambungan telepon pagi ini. Berikut petikannya;
Apa yang Anda maknai dari apa yang terjadi dalam tiga bulan belakangan di industri sawit Indonesia?
Kita tahu bahwa Presiden Jokowi sering bepergian ke luar negeri. Salah satu tujuannya adalah mencari investor. Hadirnya investor di dalam negeri diharapkan bisa menciptakan lapangan kerja demi menyerap pengangguran.
Oleh investor tadi, perolehan pajakpun semakin besar untuk menambah APBN, mencetak devisa, mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan sebagainya.
Tapi saya kemudian menangis. Di saat kita sangat susah menyeret investasi besar ke dalam negeri, kita malah merusak investasi raksasa yang sudah ada.
Anda bisa bayangkan, ada 16,38 juta hektar kebun kelapa sawit di negeri ini. Sekitar 9,58 juta hektar milik pengusaha dan 6,8 juta hektar milik petani. Belum lagi 1.118 Pabrik Kelapa Sawit (PKS).
Dalam menghadirkan kebun seluas itu, pengusaha maupun petani mengeluarkan duit. Ini investasi raksasa. Petani auto pilot menghadirkan kebun-kebunnya itu.
Hasilnya, tahun lalu, industri sawit bisa memberikan devisa USD35 miliar. Ini setara dengan Rp400 triliun. Belum lagi devisa impor akibat biodiesel kita mengurangi impor solar. Ini mencapai Rp267 triliun.
Belum lagi ekonomi yang selalu lancar di ribuan desa dan kota oleh transaksi industri sawit. Semestinya semua ini harus sangat kita syukuri dengan cara merawat dan menjaga investasi yang ada ini.
Tiga haru lalu, Menteri Keuangan mengeluarkan aturan baru; meniadakan Pungutan Ekspor (PE). Tanggapan Anda?
Saya mengapresiasi kebijakan Menteri Keuangan ini. Yang tadinya PE USD200, menjadi nol. Ini berarti harga jual CPO akan terdongkrak sekitar Rp3 juta per ton. Dengan kondisi ini harga TBS petani akan terdongkrak sekitar Rp600 perkilogram. Kalau misalnya saat ini harga TBS Rp1000, maka jadi Rp1600 lah. Itupun jika rendemennya 20%.
Hanya saja, boro-boro petani bisa untung, harga segitu malah masih belum bisa menutupi Harga Pokok Produksi (HPP) yang saat ini sudah di angka Rp1800 perkilogram TBS.
Baca juga: PE Dinolkan, Wayan Supadno: Kalau Tak Serius, Kondisi Ekstrim Akan Terjadi
Lagi pula, kebijakan tadi tidak akan serta merta berdampak kepada petani lantaran sebelumnya kondisi distribusi TBS ke PKS sudah sangat kacau. Jadi, kebijakan Menteri Keuangan tadi belum sesuai harapan lah.
Dan perlu dipahami, bahwa dari sekarang sampai November nanti, adalah musim panen raya. Besar kemungkinan, sampai akhir Agustus, CPO akan bertambah 5,2 juta ton. Sementara saat ini stok CPO sudah mencapai 7,2 juta ton. Ini berarti, sampai akhir Agustus akan ada CPO yang menumpuk sekitar 12,4 juta ton.
Anggap konsumsi domestik perbulan 1,5 juta ton. Berarti masih ada sisa 10,9 juta ton. Nah, kalau sampai akhir Agustus stok ini tidak berkurang 8 juta ton, maka akan semakin banyak PKS yang tutup.
Lantas?
Saya menyarankan pakai manajemen Production Planning and Inventory Control (PPIC) minyak sawit. Ini menjadi perangkat yang tepat untuk mengendalikan situasi "gawat darurat" saat ini.
Lagi-lagi saya bilang, ini menyangkut kelangsungan usaha yang telah dibangun oleh investor massal; petani dan pengusaha, serta mereka yang terkait dengan industri ini. Misalnya transportasi, alat berat dan lainnya.
Iklim usaha harus dijaga agar produktifitasnya dinamis. Ingat, investasi di sawit sangat besar. Data BPS menyebutkan kontribusinya ke Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 3,5%. Ini tergolong besar.
Apa solusi yang Anda tawarkan?
Pertama, ada baiknya pemerintah menahan diri tanpa pajak ekspor (Bea Keluar) juga. Saat ini kan BK itu USD288 perton. DMO dan DPO itu dicabut saja, toh harga CPO di dalam negeri sudah sangat rendah Rp7.000 perkilogram. Jumlahnya pun sangat berlimpah.
Kalau itu dilakukan, ekspor 6,5 juta ton hingga 31 Agustus akan terpacu. Ini akan menjadi devisa dan PPN minimal Rp130 triliun. Tangki timbun pun akan kosong. Kalau sudah kosong, otomatis hasil panen petani bisa ditampung PKS.
Saya sangat berharap dan bahkan memohon; kasihanilah petani sawit Indonesia. Sebab mereka adalah investor juga.







Komentar Via Facebook :