Berita / Jenggi /
U-distopia (5)
Apakah Tuhan sama seperti kita, ikut menebak-nebak tentang hari esok? Untuk mendesakkan peranti kehendak bebas (free will) ke dalam gerak semesta, kita secara ambigu tengah mendegradasi Tuhan. Padahal kita tahu bahwa Tuhan itu memiliki kemahatahuan ilahi (divine omniscience) yang absolut.
Apakah gerak gerik manusia dan seluruh tabiat kosmos bersifat liar dan acak, atau dalam keteraturan penuh dan presisi? There is no use crying over spilled milk, tidak ada gunanya menangisi susu yang tumpah, itu hanya berarti bahwa tidak ada yang bisa dilakukan oleh siapa pun sekarang; tumpahnya susu berada di luar kendali kausal kita.
Tuhan harusnya bukan sang penebak-nebak. Penyair Yunani kuno Hesiodos berseru, tidak satupun daun jatuh di Athena tanpa diketahui oleh Zeus.
Syair Hesiodos seolah diislamkan belasan abad kemudian, melalui al-An'aam: 59___ dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula).
Jika maut sepenuhnya ada di tangan Tuhan, lalu siapa yang ada di belakang seorang pembunuh? Jika Dia yang meniupkan ruh dan seorang bayi lahir atas takdir-Nya, lalu siapa yang menghasut seorang pezina dan pemerkosa hingga bayi itu lahir?
Pertanyaan-pertanyaan kurang ajar seperti ini bahkan dihindari oleh para fatalis teologis, lalu memilih argumen yang lebih sopan untuk membanting para libertarian penganut kehendak bebas.
Bahkan premis-premis fatalisme teologis maupun logis telah diasingkan dari ruang pengadilan demi penghakiman kehendak bebas, lalu orang-orang yang mengaku bertuhan, telah menyudutkan argumen pre-determinisme Tuhan ke dalam kotak metafisika yang dituduh berpotensi mengacaukan hukum-hukum positif.
Di abad fajar saat jejak-jejak pikiran lahir, Aristoteles sudah memberi solusi dengan menempatkan Tuhan sebagai Sang Maha Tinggi, cuasa prima, penyebab awal semesta yang segera keluar dari ruang dan waktu.
Ini dianggap dapat menjadi penyelamat muka Tuhan dari rasa bersalah sebagai otak pelaku atas “kejahatan” takdir.
Atheisme menjadikan ini sebagai simpulan, “Tuhan tidak mungkin jahat, maka Tuhan tidak ada”. Mereka menolak Tuhan justru karena mengagungkannya sebagai yang suci bersih, ironi dengan fanatisme picik, yang merendahkan Tuhan di medan pembantaian.
Agama-agama dianggap tumbuh sebagai metode untuk mengecilkan Tuhan galaksi sebatas milik etnik tertentu dan partisan yang mudah murka.
Kaji soal ini telah lari dari apa yang seharusnya ingin saya katakan dalam risalah U-distopia ini. Yang sebenarnya dimaksud untuk memblokade jalan pikiran libertarian-eksistensialisme dan membenturkannya dengan suatu sifat logis Tuhan yang tak terpecahkan.
Ini akan menjadi berbelit-belit, saya tidak tahu cara membuat garis lurus terhadap dilema kemanusiaan kita.
Apakah pikiran manusia dan horizon peristiwa yang mengitarinya adalah bagian dari kehendak bebas? Bahkan fakta hari ini kecerdasan buatan dapat mengambil alih kehendak bebas manusia untuk menentukan keputusan terbaik, dengan hanya mengerkah (crunching) algoritma kita.
Sebelumnya telah bermunculan para ahli yang menyebut kehendak bebas hanyalah ilusi setelah terhasut oleh Darwin, Huxley, dan Einstein. Dan bahkan apa yang kita sebut sebagai pikiran itu sebenarnya tidak nyata, kata Profesor Donald Hoffman pula.
Kita benar-benar dalam manipulasi semesta. Artinya Sartre dkk sedang dirumahkan oleh pemikir modern dan perenial klasik sekaligus. Terimpit di tengah-tengah dan meninggalkan pemujanya dalam kebingungan. Apakah kemanusiaan kita akan tamat. Ilmu budaya dan penyelidikan akal budi harus permisi?
Bahwa Kierkegaard, Sartre, Heidegger, Kafka, Camus, Nietzsche misalkan, telah berjuang keras untuk memanusiakan para Sapiens yang terlalu lama (ikhlas) dalam penjara pikiran. Dan terus terkurung dengan banyak cara hingga sekarang.
Menurut William Klemm, Ph.D, para ilmuan telah membuat serangkaian eksprimen untuk membuktikan bahwa otak membuat keputusan bawah sadar sebelum ia menyadarinya.
Dalam eksperimen tipikal yang mendukung kehendak bebas ilusif, seorang subjek diminta menekan tombol secara bebas kapan saja dan memperhatikan posisi penanda jam bila dia merasa menghendaki terlebih dahulu gerakan untuk menekan tombol tersebut.
Pada waktu yang sama, aktivitas otak dimonitor tepat pada bagian pengendali mekanika gerakan. Hasil observasi ini mengejutkan, ternyata subjek memperlihatkan perubahan aktivitas otak sebelum dia berniat membuat gerakan.
Dengan kata lain, alam bawah sadar (subconscious mind) diduga terlebih dahulu menerbitkan perintah sebelum pikiran sadar sempat memutuskan untuk bergerak.
Mari kita lakukan penyelidikan mandiri, di bagian mana kita benar-benar telah menggunakan kehendak bebas? Saban hari kita didorong dari dalam dan ditarik dari luar. Pikiran sadar kita secara manipulatif hanya memutuskan beberapa hal yang tampak sebagai kehendak bebas namun ilusif.
Secara sederhana, bila kita suka warna merah, maka secara otomatis kita akan memilih merah dari sebelas warna yang ada. Cara kita memilih warna bukan kehendak bebas, tapi didorong oleh preferensi kita terhadap warna tertentu.
Secara lebih rumit, manusia berada dalam keterpencilan eksistensi dirinya dari apapun label ditanamkan pada dirinya, termasuk profesi, stereotipe, definisi, atau kategori dan ragam esensi lainnya yang diatribusikan oleh orang lain atau sistem.
Para determinis menyebut kita telah dan sedang dalam pengendalian penuh Tuhan, dan para sekuleris ultra modern, sebutlah Bostrom dari Oxford, Terrile dari Nasa, dan Elon Musk si Raja Tesla, menemukan landasan logika bahwa kita sedang berada dalam dunia simulasi di bawah pengawasan entitas superior di luar sana. Lalu oleh para saintis, kehendak bebas dianggap sebagai ilusi.
Di sini kemudian masuk “orang baru” bernama kecerdasan buatan. Mereka mampu meretas kehendak bebas kita (entah itu ilusif atau nyata) dan segera memandu detik per detik tentang apa dan harus bagaimana hari esok dimulai.
Pada hari itu tiba, pada saat terjadi singularitas masif dan ledakan kecerdasan dalam otak para mesin, secara fungsional akan muncul pertanyaan, siapa yang sebenarnya robot, kita atau mereka? (Bersambung)
Komentar Via Facebook :