Berita / Nusantara
Tak Ada Klausul Evaluasi Pengukuhan Kawasan Hutan di Perpres No. 5/2025, WSN Kirim Surat Terbuka ke Prabowo
Hutan di Provinsi Riau. foto: MC Riau
Jakarta, elaeis.co - Terbitnya Peraturan Presiden (perpres) Nomor 5 Tahun 2025 Tentang Penertiban Kawasan Hutan yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada 21 Januari 2025 menghentak sejumlah kalangan. Sebab, di dalamnya tidak ada klausul evaluasi pengukuhan kawasan hutan yang telah dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Abdul Aziz, Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Sawit Nusantara (WSN), adalah salah satu yang terhenyak membaca perpres tersebut. “Kami sangat terkejut, karena dari 18 pasal yang ada pada perpres itu, tidak satupun yang menyebutkan agar proses pengukuhan kawasan hutan ditinjau kembali,” katanya kepada elaeis.co, kemarin.
Sebagai respon atas terbitnya perpres itu, Azis selaku Ketua Umum WSN dan Warsito Teguh selaku Sekretaris Jenderal WSN mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto pada 24 Januari 2025.
Di surat itu Azis menyebutkan, akibat ketiadaan narasi ‘evaluasi proses pengukuhan kawasan hutan’, maka secara otomatis semua proses pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan sejak munculnya UU Cipta Kerja telah dianggap benar oleh pemerintah. “Implikasinya, jutaan hektar lahan masyarakat yang terjebak di dalam kawasan hutan, telah divonis bersalah sehingga masyarakat harus menerima konsekuensi atas kesalahan itu,” urainya.
Dia lantas mencontohkan kawasan hutan di Riau yang hingga tahun 2016 masih berstatus penunjukan berdasarkan SK.903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 Tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau. Artinya, hingga 2016, belum ada kawasan hutan yang definitif di Riau. “Kalau merujuk aturan yang berlaku di masa itu, proses pengukuhan kawasan hutan berstatus penunjukan harus segera dilakukan setelah SK penunjukan kawasan hutan keluar agar kawasan hutan yang ditunjuk tadi bisa optimal didapatkan,” sebutnya.
Sayangnya, proses penataan batas seperti yang diminta oleh undang-undang dan ragam peraturan terkait kawasan hutan tidak kunjung dilakukan. Lalu, persis setelah UU Cipta Kerja keluar, pihak kehutanan tiba-tiba memasangi patok pada titik-titik yang dianggap menjadi batas kawasan hutan tanpa perduli apakah lahan itu sudah ada pemiliknya baik digunakan untuk kebun maupun permukiman.
“Bahkan lahan yang telah bersertifikat serta kebun kelapa sawit masyarakat eks transmigrasi yang umur tanamannya telah akan menjalani peremajaan, juga dipasangi patok kawasan hutan. Walau masyarakat protes, semuanya dianggap angin lalu,” tandasnya.
Klaim sepihak oleh KLHK inilah yang menurut Azis tidak bisa diterima. “Menurut Bapak Presiden, apakah perbuatan kehutanan semacam itu tidak melanggar aturan? Apakah oleh kelalaian atau kesengajaan kehutanan tidak segera melakukan penataan batas hingga pengukuhan kawasan hutan, lalu semuanya menjadi kesalahan yang harus dilimpahkan kepada masyarakat?” kritiknya.
Dia mengaku bisa menerima andai masyarakat harus menerima konsekuensi jika melanggar kawasan hutan yang sudah ditetapkan lebih dulu. “Yang tidak bisa diterima adalah bila masyarakat harus menerima konsekuensi dan dipaksa mengakui kesalahan akibat kelalaian pihak kehutanan, sangat tidak adil,” tandasnya.
Dia lantas menyampaikan kekhawatiran andai Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk oleh presiden turun ke lapangan. Menurutnya, kehadiran satgas bisa mengganggu mental dan psikologis masyarakat yang tidak bersalah namun diminta membayar denda lalu lahannya diambil. “Kami yakin masyarakat akan ketakutan dan terpaksa menyerahkan lahannya lantaran tidak mampu membayar denda,” sebutnya.
“Ini bukan soal berapa luas lahan yang dikuasai oleh masyarakat dan apa yang ditanam di atasnya. Ini soal berhak atau tidaknya mereka atas lahannya secara hukum. Jadi, sebelum satgas turun ke lapangan, kami memohon Bapak Presiden berkenan meninjau ulang dulu kebenaran proses pengukuhan kawasan hutan yang dibuat oleh kehutanan,” sambungnya.
Di surat itu dia juga menyinggung sekitar 1,9 juta hektare lahan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di Riau yang proses perizinannya terindikasi menyalahi aturan. Sebab, diberikan pada kawasan hutan dengan tutupan hutan minimal 80 meter kubik per hektar. Padahal, hutan berkepadatan tinggi tidak boleh dikonversi menjadi HTI.
“Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10 Tahun 2000 junto Nomor 21 Tahun 2001, areal konsesi HTI hanya boleh ada pada areal yang kepadatan kayunya tidak melebihi 5 meter kubik per hektar dan diameter kayu tidak lebih dari 10 sentimeter,” bebernya.
Berdasarkan hitungan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), hutan yang dibabat seluas 17 ribu hektar saja menghasilkan uang Rp 1,1 triliun. “Kalau 1,9 juta hektar hutan yang digunduli, berapa duit yang dihasilkan? Karena itu, jika masyarakat yang tidak bersalah harus menanggung konsekuensi atas kesalahan pemerintah, maka kami meminta agar perizinan HTI yang menyalahi aturan juga diberikan sanksi yang setimpal,” pungkasnya.







Komentar Via Facebook :