Berita / Nasional /
Selesaikan Masalah Sawit di Kawasan Hutan, Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Keterlibatan Militer
Personel TNI membantu petani mengumpulkan hasil panen sawit di Tanjung Jabung, Jambi. Foto: ist.
Jakarta, elaeis.co – Pelibatan Menteri Pertahanan dalam penuntasan permasalahan kebun sawit dalam kawasan hutan memantik reaksi dari sejumlah kalangan.
Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin mengenai peran Dewan Pertahanan Nasional (DPN) dalam penertiban kawasan hutan dan sektor sawit adalah keliru, bahkan berbahaya bagi demokrasi.
Sebelumnya, dalam kesempatan rapat kerja bersama dengan Komisi I DPR RI, pada 4 Februari lalu, Sjafrie yang juga Ketua Harian DPN menyebutkan bahwa DPN dapat mengambil peran dalam urusan penertiban kawasan hutan, khususnya pelanggaran hukum oleh pengusaha kelapa sawit. Ini tidak lepas dari wewenang yang diberikan kepada DPN dalam mengobservasi seluruh permasalahan nasional di Indonesia.
Koalisi Masyarakat Sipil tersebut terdiri dari berbagai organisasi, termasuk Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, dan AJI Jakarta.
Koalisi tersebut menyebut pernyataan Sjafrie bukan hanya bertentangan dengan sistem hukum nasional, tetapi juga mengindikasikan kembalinya praktik dwifungsi militer seperti era Orde Baru.
“Pernyataan ini mengindikasikan kembalinya praktik militerisme dan otoritarianisme ala Orde Baru yang terbukti mewariskan berbagai pelanggaran HAM,” demikian pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil dalam siaran pers yang dikutip elaeis.co Jumat (21/2).
Menurut koalisi, DPN seharusnya berfungsi sesuai dengan Pasal 15 UU Pertahanan, yakni mengurus kebijakan pertahanan negara dan bukan terlibat dalam urusan sipil seperti pengelolaan hutan dan ekonomi.
Selain itu, koalisi juga menyoroti Peraturan Presiden (Perpres) No. 202 Tahun 2024 tentang DPN yang dinilai memiliki pasal karet. “Pasal 3 huruf F dalam Perpres tersebut berpotensi menjadi ‘pasal sapu jagat’ yang memungkinkan DPN mengambil peran di luar kewenangannya. Kami khawatir pasal ini dijadikan sebagai alasan untuk membenarkan pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang lainnya dalam ranah non-pertahanan,” tegas koalisi.
Koalisi lantas mencontohkan beberapa kasus keterlibatan militer dalam urusan sipil yang dinilai bermasalah. Seperti proyek Rempang Eco-City yang berujung pada pelanggaran HAM dan program food estate di Merauke, Papua Selatan, yang menyebabkan konflik antara aparat dan masyarakat adat.
“Kami menilai, keterlibatan militer dalam ranah sipil harus dihindari. Keterlibatan militer di ranah non-pertahanan hanya akan menghidupkan kembali militerisme dan otoritarianisme dalam politik,” tolak mereka.
Sebagai bentuk penolakan, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah untuk mengoreksi kebijakan DPN dan menghentikan segala bentuk keterlibatan militer dalam urusan sipil demi menjaga demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.
“Pada titik ini, keterlibatan DPN yang terlalu jauh mengurusi urusan sipil, sebagaimana pernyataan Menhan, sudah semestinya dikoreksi dan pelaksanaannya harus dihentikan. Hal ini penting untuk menyelamatkan Reformasi 1998,” demikian pernyataan koalisi.







Komentar Via Facebook :