Berita / Nusantara /
Saat Soko Guru Dicekik Pupuk
Ketua Umum DPP Apkasindo, Dr. Gulat Medali Emas Manurung saat berada di salah satu hamparan kebun kelapa sawit di Riau. foto: ist
Jakarta, elaeis.co – Tak Gulat Medali Emas Manurung namanya kalau apa-apa yang merugikan petani, tidak langsung diteriakkan.
Dua hari lalu misalnya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) ini langsung cerita panjang lebar dengan anggota Komisi IV DPR, Effendy Sianipar.
Kebetulan Effendy sedang berada di Pekanbaru, jadilah keduanya ngobrol panjang soal tingginya harga pupuk non subsidi, pestisida dan herbisida di pasaran 8 bulan terakhir.
Tingginya harga sarana produksi (saprodi) itu kata ayah dua anak ini telah benar-benar mencekik petani, itu lantaran pupuk adalah 60% dari total biaya produksi sawit.
Effendy sendiri kaget mendengar keluhan panjang Gulat itu. Soalnya yang didengar Effendy di luaran, petani sawit justru sedang sumringah oleh tingginya harga jual kelapa sawit.
“Kalau gini ceritanya, saya akan langsung bicarakan harga pupuk dan saprodi ini di internal Komisi IV dan segera menggelar rapat dengan Kementerian Pertanian,” kader PDI Perjuangan ini berjanji.
“Semua data terkait harga pupuk dan kondisi petani, sudah saya berikan kepada Pak Effendy, biar enggak dibilang orang hoaks,” kata Gulat kepada elaies.co siang ini.
Yang membikin Gulat gusar, disaat petani blingsatan dengan tekanan harga pupuk itu, produsen pupuk justru pamer enjoy menikmati untung yang tak lazim.
“Salah satu produsen pupuk ‘plat merah’ bilang untungnya Rp4,19 triliun. Padahal masih di kwartal III. Ini untung yang sangat luar biasa, 288%. Untung dari hasil produksi 5,15 juta ton ini sangat tidak wajar, ini ‘merampok’ namanya,” rutuk Gulat.
Lantaran ‘plat merah’, mestinya produsen pupuk itu kata Gulat berperan menjaga keseimbangan, bukan malah pamer ‘hasil rampokan’.
“Ini enggak sesuai lagi dengan motto BUMN. Lihat saja rasio produksi dengan keuntungannya, kenaikan produksi Kuarta III hanya 6%, tapi untungnya naik 288%. Artinya apa, ‘merampok’,” tegas Gulat.
Doktor ilmu lingkungan ini punya alasan mengatakan seperti itu. Sebab kalau ditengok kondisi harga bahan baku pupuk, kenaikannya masih tergolong normal.
“Mestinya enggak sampai membikin harga pupuk gila-gilaan lah. Tapi ini justru menjadi rekor gila-gilaan sepanjang sejarah,” katanya.
Memang kata Gulat, kenaikan harga pupuk, baik produksi BUMN maupun swasta, merata. Awalnya pupuk plat merah lebih dahulu naik, namun pada dua bulan terakhir, pupuk ‘plat kuning’ lebih kontras naiknya; 71,54% dan pupuk plat merah 52,52%,. Ini baru di tingkat distributor.
Di pengecer pasti lebih mahal lagi 20-30%. NPK ‘plat merah’ misalnya, di distributor Rp8.375 per kilogram, tapi di pengecer sudah Rp11 ribu hingga Rp12 ribu per kilogram atau Rp650 ribu per karung berisi 50 kilogram.
”Laporan petani Apkasindo di 22 provinsi, kenaikan harga pupuk ini merata, baik NPK maupun pupuk tunggal. Kalau harga pupuk tidak terkendali, biaya produksi pun pasti makin tak terkendali,” Gulat mengurai.
Dengan kondisi seperti ini kata Gulat, petani sawit benar-benar dibikin sangat lelah. Sebab jadi bertubi-tubi persoalan yang dihadapkan kepada petani.
Yang klaim kawasan hutan lah, kampanye negatif sawit lah, berurusan dengan Aparat Penegak Hukum (APH) lah.
"Jujur, kami petani ini menjadi histeris, teringat pidato Presiden Soekarno di IPB tahun 1960 silam yang mengatakan; Pangan adalah hidup matinya bangsa dan petani adalah tulang punggung utama pangan Indonesia. Maka petani itu adalah sokogurunya Bangsa Indonesia," bergetar suara Gulat menirukan kata-kata proklamator itu.







Komentar Via Facebook :