https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

Risa; Dan Nahkoda Pompong Sawit Ini Pun Menjemput Mimpi

Risa; Dan Nahkoda Pompong Sawit Ini Pun Menjemput Mimpi

Risa saat mengemudikan pompong untuk mengantar hasil panen sawit kebun keluarganya kepada pengepul. foto: ist


“Ah, yang betul lah, Pak? Apa iya saya bisa kuliah tahun ini?”bergetar suara perempuan 17 tahun ini di ujung telepon mendengar kabar dari elaeis.co, pekan lalu.  

Belum rampung jebolan Madrasah Aliyah Nurul Huda Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, ini ngomong, suaranya mendadak hilang. 

“Maaf Pak, sinyalnya hilang. Ini Risa baru dapat sinyal lagi,” belum hilang getar suara bontot empat bersaudara ini oleh rasa kagetnya tadi.

Begitulah yang dirasakan Risalatul Halimah sehari-hari kalau teleponan. Sinyal selalu menjadi kendala. Maklum, perempuan cantik ini tinggal nun jauh di Desa Teluk Kabung --- warga di sana lebih sering menyebut Parit Cahaya Muda --- Kecamatan Gaung. Sekitar tiga jam dari Tembilahan pakai perahu bermesin tempel.   

Risa saat perpisahan dengan keluarganya di atas pompong. foto: ist

Dan gara-gara sinyal ini pula perempuan yang jamak dipanggil Risa ini, gagal ikut tes Beasiswa Sawit Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Soalnya, sejak dua tahun belakangan, tes beasiswa ini enggak lagi manual, tapi sudah berbasis internet.   

Jadi, di mana-mana orang seperti Risa, dipastikan akan lebih banyak mengurut dada, pasrah untuk tidak mencicipi beasiswa sawit yang duitnya bersumber dari keringat petani juga. 

Baca juga: Si Gadis Cantik Pemanen Sawit

Elok dibilang begitu. Sebab harga tiap janjangan TBS petani berkurang lantaran setelah jadi minyak sawit, hasil penjualan minyak sawit itu sebahagian diambil BPDPKS dalam bentuk Pungutan Ekspor (PE). 

Kalaupun ada yang berani hijrah sementara ke kota mengadu nasib di beasiswa sawit itu, belum pasti lulus, sebab kepiawaian anak kampung berselanjar di dunia internet tidak akan sama dengan orang yang saban hari sudah berteman dengan sinyal yang bagus. 

 

Jika kemudian Risa akhirnya bisa kuliah ‘beasiswa sawit’, itu lantaran Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) tersentuh membaca kisahnya dalam tulisan berjudul “Si Gadis Cantik Pemanen Sawit” yang tayang di elaeis.co pada 21 September 2022 lalu. 

Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung bergegas menyuruh anak buahnya mencari tahu tentang Risa dan kemudian menemukan alamat rumah perempuan itu. 

Doktor ilmu lingkungan Universitas Riau ini juga langsung menelpon Direktur Politeknik Kampar (Polkam), Nina Veronika, ST., M.Sc, mana tahu berkenan menerima Risa kuliah ‘beasiswa’ di sana. Kebetulan Polkam sendiri adalah satu dari tujuh kampus mitra BPDPKS.

Alhamdulillah, Nina langsung welcome menjemput keinginan Gulat itu. Risa diterima menjadi mahasiswa program Diploma IV Administrasi Bisnis Kelapa Sawit Internasional.

“Kita sepakat bekerjasama kekhususan antara Apkasindo dan Polkam. Uang bulanan dan uang kuliah ditanggung Apkasindo. Asrama dan uang pembangunan dari Polkam,”Gulat merinci poin kesepakatan itu. 

Risa sendiri langsung tertegun mendengar kabar indah itu, kabar yang sama sekali enggak pernah berseliweran di benaknya. Sebab meski punya cita-cita tinggi, Risa tahu diri. Bahwa oleh keadaanlah yang membuat dia sampai mahir menjadi tukang dodos. 

Oleh keadaan pula yang membuat dia membunuh rasa takut agar bisa sendirian mengemudikan pompong Abahnya untuk menjual hasil panen sawit kepada pengepul. 

“Dari kelas 1 SMP saya sudah jadi pemanen sawit di kebun kami dan mengemudikan Pompong saat akan menjual hasil panen itu. Waktu itu Abah mendadak sakit. Badan Abah tiba-tiba berasa berat. Sudah kami bawa berobat kemana-mana enggak sembuh,” kenang Risa. 

Mata perempuan ini langsung memandang jauh, tak terasa bulir bening menggelayut dan menggelinding dari kelopak matanya. 

Singkat cerita, dua hari lalu, dia memeluk Abahnya Masran 64 tahun dan emaknya Suyati 58 tahun erat-erat. Meski teramat berat, sementara dia harus meninggalkan dua insan paling berharga dalam hidupnya itu. “Alhamdulillah, Abah dan Mak merestui saya untuk kuliah,”katanya. 

 

Lima jam menempuh perjalanan kapal speedboat dari kampungnya, di Pelabuhan Tembilahan, H Teddy Susilo, pengurus Apkasindo Inhil sudah menunggu Risa. 

Setelah bermalam di Kempas Jaya, tadi pagi Risa ditemani Teddy dan pengurus Apkasindo Inhil lainnya, bertolak ke Pekanbaru untuk bergabung dengan mahasiswa Polkam lainnya di Balai Pelatihan Pertanian, Marpoyan. 

Habis sudah kata-kata Risa untuk dirangkai sebagai ucapan terimakasih kepada Apkasindo yang telah memberinya ruang untuk menjemput masa depan. 

“Mudah-mudahan Allah memberikan balasan kebaikan yang sebesar-besarnya. Apkasindo semakin besar dan pengurusnya sehat semua. Biar petani-petani kayak kami semakin banyak tertolong,” Risa berdoa.  

Gulat yang kebetulan sedang berada di Medan terdengar menarik napas panjang saat dihubungi elaeis.co. “Risa itu adalah sosok nyata tentang apa yang selama ini kami suarakan. Bahwa beasiswa sawit itu harus dengan tujuan khusus (affirmative action), bukan seperti sekarang, khususnya pada tiga tahun terakhir,”suara lelaki 49 tahun ini bergetar. 

Bagi Apkasindo kata Gulat, kisah Risa menjadi penguat untuk meminta quota kekhususan kepada Ditjenbun dan BPDPKS agar “Risa Risa” yang lain lebih mudah menjemput impiannya. 

“Kami sudah berkomunikasi dengan Pak Dirjenbun, beliau sangat mendukung. Tahun depan adalah awalnya. Anak-anak petani sawit dengan segala keterbatasannya akan menjadi target kami, semua akan kami seleksi sendiri setelah kami mendata dan mensurvey calon mahasiswa dari aspek ekonomi keluarga, kemauan si anak dan keterwakilan dari 22 provinsi sawit dari Aceh sampai Papua. Kampus-kampus seperti IPB, UGM dan Universitas di daerah akan menjadi mitra baru,” katanya. 

Kalau kemudian BPDPKS tidak mau membiayai kata Gulat, Apkasindo bersama Asosiasi Sawitkku Masa Depanku (SAMADE) akan membiayai sendiri lewat rekening “gotong royong”. 

“Itu enggak susah. Saya sudah hitung, kalau 100 orang anak kami kuliahkan, dalam setahun paling butuh duit sekitar Rp6,5 miliar. Sementara kalau 1 kg TBS saja per hektar disumbang oleh anggota Apkasindo dan SAMADE, dalam setahun sudah terkumpul Rp9,6 miliar. Asumsinya harga TBS Rp2.000 per kg ya,” Gulat menghitung. 

Biaya bulanan untuk uang saku anak-anak itu kata Gulat akan digandakan menjadi Rp2,5 juta perbulan. “Enggak seperti selama ini yang hanya Rp1,4 juta per bulan. Malu saya mendengarnya,” suara Gulat melengos.

Kepada Polkam yang sudah menerima Risa, Gulat sangat berterimakasih. Mudah-mudahan ini menjadi titik balik dari filosofi awal beasiswa ini, yang 3 tahun terakhir sudah lari dan menyimpang. 

"Tujuh tahun lalu cikal bakal beasiswa ini dilahirkan di Instiper Yogyakarta bersama sesepuh Apkasindo. Tujuannya untuk memberi kesempatan kepada anak-anak kami --- dengan segala keterbatasannya --- bisa kuliah di Fakultas Pertanian dibiayai sawit. Sejarah mencatat itu, jangan dialihkan menjadi bisnis dengan modus “seleksi,” benar-benar tegas Gulat mengingatkan.



BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :