Jakarta, elaeis.co - Berdasarkan catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor minyak kelapa sawit tahun 2023 menurun. Padahal produksi kebun kelapa sawit sepanjang tahun itu justru mengalami peningkatan.

Ketua Umum Gapki, Eddy Martono menjelaskan, penggunaan minyak kelapa sawit dalam negeri terus meningkat. Hal ini menjadi salah satu faktor menurunnya ekpor tersebut ke pasar global.

"Konsumsi naik secara konsisten. Seperti konsumsi Biodiesel justru telah mendekati kebutuhan untuk produk pangan. Ekspor akhirnya turun, padahal biaya insentif biodiesel juga dikumpulkan dari ekspor melalui PE," kata Eddy kepada elaeis.co, Selasa (9/1).

Disamping itu, porsi ekspor terhadap produksi juga terus menurun. Pada tahun 2018 porsi ekpor sebesar 77%. Kemudian 2022 menjadi 66% dan sampai Oktober 2020 justru hanya tinggal 60%.

Sejatinya kata Eddy, nilai ekspor minyak sawit relatif lebih kokoh dibandingkan non migas secara keseluruhan. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan terjadi penurunan tadi.

Akibat penurunan itu tentu perolehan devisa negara juga ikut terdampak. Dimana sepanjang 2023 devisa yang diperoleh dari kelapa sawit hingga Oktober hanya US$ 25,58 miliar. Sementara 2022 devisa diperoleh sebesar US$ 39,07 miliar dan tertinggi sepanjang sejarah.

Menurut Eddy, PE dan BK perlu dilakukan pengkajian ulang.  Sebab beban bea ekspor CPO Indonesia lebih besar dari Malaysia. Kemudian kelapa sawit Indonesia kurang kompetitif sehingga tarif PE dan BK perlu diturunkan agar berdaya saing.

"Memang produksi tahun 2023 tercatat mengalami kenaikan yakni tumbuh 3,81%. Kenaikan produksi ini lebih ditentukan oleh luas areal dan sedikit oleh kenaikan produktivitas. Sementara pengembangan perkebunan sawit di moratorium," tandasnya.