Berita / Pojok /
Prahara Perpres 132
Hamparan kebun kelapa sawit di kawasan Siak, Riau. foto: hermansyah
Kalau saja para pelaku sawit di Indonesia bukan orang-orang yang masih memegang teguh 'adat ketimuran', bisa jadi sejak 10 tahun terakhir, aksi besar-besaran dan bahkan konflik berkepanjangan dan masif, akan terus terjadi.
Soalnya, sejak saat itu, tak henti-hentinya sawit dirundung oleh orang-orang terorganisir agar --- secara perlahan --- tanaman yang tahun lalu menggelontorkan devisa lebih dari Rp600 triliun itu, benar-benar collapse.
Tudingan bahwa sawit telah menjadi perusak utama hutan alam di Indonesia, telah menjadi pintu masuk mereka untuk menekan otoritas kehutanan.
Maka lahirlah regulasi bernama Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang kontroversi itu.
Baca juga: Prof. Sudarsono, si Belanda itu; Pak Moor
PP 23 tahun 2021 ini telah terang-terangan mengangkangi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 45 tahun 2011. Bahkan Putusan MK 34 tahun 2011, juga tidak dianggap sama sekali.
Padahal isi Putusan MK 34 tahun 2011 ini sangat tegas: Penetapan tanah milik seseorang sebagai kawasan hutan tanpa kompensasi, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum!
Kampanye masif dengan tagline 'sawit perusak hutan' telah membuat aturan suka-suka ini benar-benar berubah menjadi aturan yang benar.
Alhasil, lebih dari tiga juta hektar kebun kelapa sawit dengan mudah diklaim oleh aturan suka-suka tadi berada dalam kawasan hutan.
Agar aturan itu terkesan demi hukum dan berkeadilan, dua pasal; pasal 110A dan 110B dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang kontroversi tadi, disodorkan sebagai solusi bila pelaku sawit masih mau pohon sawitnya tetap berdiri.
Pasal-pasal yang sesungguhnya telah membikin para pelaku sawit banyak yang 'stroke'lantaran terpaksa dan harus mengakui kalau kebun sawitnya berada di dalam kawasan hutan. Dan lantaran harus pula mengaku salah, meski tidak salah.
Ironisnya, entah sudah dipertimbangkan atau belum, Presiden Jokowi meneken Keppres nomor 9 tahun 2023. Melalui Keppres yang cuma berlaku setahun itu, lintas institusi dikerahkan memburu para pelaku sawit yang dianggap berada dalam kawasan hutan tadi. Embel-embelnya, demi pemasukan bagi negara.
Padahal kalau dihitung-hitung, besaran duit yang diharapkan masuk ke kocek negara dari klaim kawasan hutan itu, tidak ada apa-apanya ketimbang investasi pelaku sawit yang sudah tertanam.
Dan hanya setengah dari devisa yang disetor sawit pada tahun lalu. Artinya, kalau sawit itu dibiarkan terus tumbuh dan regulasinya ditata, justru pemasukan negara akan lebih besar lagi. Tapi, lantaran misinya memang hanya ingin meng-collapse-kan sawit, hitung-hitungan ini diabaikan.
Baca juga: Jurus Mabuk Memeras Sawit
Sebetulnya, sebelum PP23 tadi nongol, serangan masif terhadap sawit secara keseluruhan sudah terjadi melalui melalui aturan main yang disebut dengan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Banyak yang bilang kalau aturan berlabel sertifikasi yang sampai sekarang tidak diakui oleh negara lain itu, diboncengi oleh asing.
Tapi entah kenapa kemudian, Presiden Jokowi meneken Perpres 44 tahun 2020 sebagai aturan penguat ISPO itu. Pelaku sawit pun tak berkutik, termasuk petani sawit yang tahun depan, ISPO ini sudah berlaku wajib padanya.
Duit Pungutan Sawit Mengalir Jauh
Sejak semula, boleh dibilang nyaris tidak ada peran pemerintah dalam mengembangkan perkebunan kelapa sawit hingga bisa seperti sekarang.
Kalaupun ada peran pemerintah hanya memberikan perizinan kepada perusahaan, yang sudah barang tentu, tidaklah gratis.
Di jaman orde baru, ada jugalah mengirim orang dari Pulau Jawa untuk menjadi petani kelapa sawit. Di tempat tujuan, perusahaan yang disuruh membina dan 'membesarkan' mereka.
Para warga transmigrasi ini diberikan kebun kelapa sawit dua hektar untuk setiap rumah tangga, plus rumah di atas pekarangan seluas setengah hektar.
Selebihnya, para pelaku sawit mengusahakan sendiri kebunnya --- tak terkecuali petani swadaya --- di tengah ragam kesulitan yang dihadapi. Mulai dari sulitnya mendapatkan pupuk serta kebutuhan lainnya, termasuk pembinaan melalui penyuluhan.
Sebab sampai hari ini, pemerintah sama sekali tidak pernah memiliki yang namanya penyuluh bidang perkebunan kelapa sawit.
Sadar akan segala keadaan itulah pada tahun 2014 silam, para pelaku sawit berembuk untuk mendirikan sebuah badan yang bisa diandalkan memajukan industri sawit. Kebetulan regulasi yang mendukung untuk itu ada; pasal 93 Undang-Undang 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. Begitulah sejarah singkat yang saya dengar.
Dan singkat cerita, pada 2015, Presiden Jokowi meneken Perpres nomor 61 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Duit yang dihimpun ini, bukan berasal dari duit APBN, tetapi dari pungutan ekspor kelapa sawit. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS) didirikan untuk mengelola duit itu. Berada langsung di bawah Kementerian Keuangan.
Adapun misi pokok badan ini sesuai pasal 11 Perpres 61 itu adalah; pengembangan sumber daya manusia perkebunan kelapa sawit, penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, promosi perkebunan kelapa sawit, peremajaan sawit rakyat, sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit.
Ada juga misi kebutuhan pangan, hilirisasi industri Perkebunan Kelapa Sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel.
Hadirnya BPDPKS ini benar-benar sangat membantu pemerintah. Sebab duit pungutan itu dipakai untuk sederet hal yang mestinya tanggungjawab pememrintah dan musti didanai APBN. Misalnya peningkatan SDM, sarana dan prasarana serta riset-riset.
Makin ke sini, penggunaan duit pungutan itu untuk membiayai yang semestinya tanggungjawab negara, makin kebablasan.
Duit yang terkumpul dari hasil pungutan, akhirnya kebanyakan dipakai untuk menomboki selisi harga solar yang dipakai untuk bauran biodiesel. Sementara biodiesel ini adalah kebutuhan publik yang biasanya subsidinya dari kocek APBN.
Sampai tahun lalu saja, duit untuk menomboki selisi harga dagangan Pertamina itu, sudah lebih dari Rp144 triliun. Sementara duit yang mengalir untuk PSR masih hanya sekitar Rp9,1 triliun, pengembangan SDM dan sarpras tak sampai Rp1 triliun.
Walau penggunaan duit itu jomplang, nyaris tidak ada pelaku sawit protes, termasuk petani. Padahal, hadirnya pungutan ekspor tadi menurut Apkasindo, telah turut memangkas pendapatan petani sawit.
Apkasindo mengambil contoh begini; bila pungutan ekspor di angka USD62 per ton, harga TBS petani telah terbebani Rp192 per kilogram, dengan asumsi rendemen 20%. Hitung saja berapa duit petani yang tersedot untuk pungutan itu bila total luas kebun mereka mencapai 6,8 juta hektar.
Entah lantaran selalu diam atas semua perlakuan yang pernah ada, pada 18 Oktober 2024 lalu, persis dua hari jelang pulang ke Solo, Jokowi meneken Perpres 132. Kakao dan kelapa dimasukkan dalam BPDPKS. Nama BPDPKS dirubah menjadi BPDP.
Konon, BPDPKS dikasi waktu tiga bulan untuk merubah semua pernak pernik yang ada di lembaga yang dipimpin Eddy Abdurrachman itu, untuk menjadi BPDP.
BPDPKS repot, para pelaku sawit pun grasak-grusuk menduga-duga apa sebenarnya tujuan Perpres janggal itu. Dibilang janggal lantaran Perpres itu telah bertentangan dengan nomenklatur kabinet merah putih bikinan Prabowo.
Di Perpres 132 tadi disebutkan, Komite Pengarah BPDP dipimpin oleh Kemenko Ekonomi, sementara di kabinet Prabowo, Kemenko ekonomi tidak lagi membawahi Kementerian Keuangan dan Pertanian.
Kementerian Keuangan sudah langsung dibawah presiden dan Kementerian Pertanian dibawah Kemenko Pangan.
Dugaan kalau duit sawit bakal disedot untuk Kakao dan kelapa, sontak berseliweran. Malah isu kalau beasiswa sawit akan dipangkas dari yang tadinya 23 kampus menjadi hanya 3 kampus, juga berseliweran. Mahasiswa beasiswa sawit pun heboh.
Banyak juga petani yang miris lantaran saat hanya untuk sawit saja, kepentingan petani masih sangat banyak yang belum terakomodir. Konon pula Kakao dan kelapa juga akan menyedot duit itu.
Wajar sebenarnya dugaan-dugaan di atas bermunculan. Sebab pelaku usaha sesungguhnya tidak bodoh. Mereka paham kalau duit sawit mereka sudah dipakai serampangan dan bahkan duit pungutan tadi sudah dicampuri oleh ragam kepentingan, tak terkecuali untuk menomboki subsidi minyak goreng yang sempat mahal.
Hampir semua kementerian turut mencampuri urusan sawit juga memperkuat dugaan itu. Dan oleh banyaknya yang turut campur hingga kegaduhan sering muncul itu pulalah makanya sejak dua tahun lalu, pelaku sawit sudah mengusulkan agar Badan Sawit Nasional didirikan. Badan ini langsung di bawah presiden.
Bila orang-orang terorganisir tadi tidak lagi bergentayangan, tak sulit sebenarnya Presiden Prabowo mengabulkan permintaan ini.
Selain akan mempermudah misinya untuk mewujudkan bauran biodiesel yang lebih tinggi lagi, Presiden juga akan lebih bisa mendapatkan gelontoran duit yang lebih besar dari sawit untuk membantu APBN.
Sebab dedengkot sawit Indonesia bernama Sahat Sinaga telah mengatakan, kalau sawit diurus dengan baik --- dengan luasan yang sama --- maka di tahun 2030, produktifitas sawit Indonesia bisa mencapai 90 juta ton dari yang saat ini hanya sekitar 55 juta ton.
Dengan begitu, maka revenue sawit akan meningkat lebih dari dua kali lipat dari yang tadinya USD62,8 miliar pada 2023, menjadi USD153 miliar pada 2030. Gimana Mr. President?







Komentar Via Facebook :