Berita / Feature /
Prof. Sudarsono, si Belanda itu; Pak Moor
ilustrasi. foto: tandaseru.id/dimas
Belakangan, di Indonesia klaim Kawasan Hutan kian menjadi momok. Selain dianggap telah mengerangkeng jutaan rakyat di perdesaan bahkan kota kecil, klaim ini juga dianggap telah menghambat program unggulan Presiden Jokowi; Peremajaan Sawit Rakyat (PSR)
Sepanjang pembahasan Peraturan Pemerintah (PP) turunan Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, sederet pakar sebenarnya sudah mengatakan bahwa kalaupun klaim kawasan hutan itu dijadikan non kawasan hutan, belum akan berpengaruh kepada kesediaan tutupan hutan yang ada.
Sebab sampai saat ini, tutupan hutan yang ada itu kata Guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Yanto Santosa, masih mencapai 53% dari total 191 juta hektar luas daratan Indonesia. Ini artinya, tutupan hutan itu masih 23% lebih tinggi dari standar minimum 30%.
Baca juga: Cerita Kawasan Hutan dan Aroma Cuan
Celakanya, banyak klaim kawasan itu justru sudah dihuni oleh rakyat jauh sebelum Indonesia merdeka. Lahan-lahan yang diklaim kawasan hutan itupun sudah dilengkapi legalitas hingga level sertifikat.
Menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Budi Mulyanto, dari jaman belanda, hak-hak pribumi diakui, namanya Indonesisch bezitsrecht. Ini bermakna bahwa hak atas tanah masyarakat pada jaman penjajahan diakui. Karena itu hak azasi manusia, sudah selayaknya hak atas tanah masyarakat itu diakui dan dihargai.
"Masak setelah merdeka, menjadi bangsa, mempunyai negara yang diperintah oleh bangsa sendiri hak atas tanah itu malah enggak diakui? Kita harus ingat, yang memperjuangkan dan yang membangun NKRI ini adalah rakyat Indonesia, janganlah mereka enggak dihargai," pinta Budi.
Tentang Hak Atas Tanah kata Budi sudah ada sejak jaman Belanda, misalnya Hak Erfpacht yang setelah Indonesia punya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), dikonversi menjadi Hak Guna Usaha (HGU). Bahkan hak ulayat masyarakat hukum adat (Beschikkingsrecht) pun diakui dan dihormati meski tidak didaftar.
Legalitas usaha yang diterbitkan oleh unsur-unsur pemerintah kata Budi, harusnya saling diakui dan dihargai oleh lintas kelembagaan, jangan malah petani, pemilik usaha, yang sesungguhnya rakyat Indonesia, dijadikan objek kesalahan.
Oleh kondisi yang tak sedap inilah kemudian Guru Besar IPB lainnya, Prof. Sudarsono Soedomo menyebut bahwa otoritas kehutanan telah melakukan sabotase program presiden.
Kemarin, lelaki 64 tahun ini menyempatkan diri berbincang-bincang dengan elaeis.co tentang kenapa kemudian bahasa sabotase itu muncul, berikut petikannya;
Apa dasar anda mengatakan kalau otoritas kehutanan melakukan sabotase?
Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 sudah berumur lebih dari 20 tahun. Tapi penataan kawasan hutan malah makin berantakan.
Anda bisa lihat sendiri, berapa ribu desa yang terjebak dalam klaim kawasan hutan, termasuk sejumlah kota, jutaan hektar lahan kehidupan masyarakat yang bahkan sudah turun temurun mereka ada di sana, masih diklaim dalam kawasan hutan.
Dari awal undang-undang sudah memerintahkan bahwa kawasan hutan yang akan diklaim negara, harus segera ditatabatas. Gunanya untuk memisahkan antara hak rakyat dan yang akan diambil Negara.
Tapi otoritas kehutanan tidak mengindahkan itu. Kalau sudah diklaim, mau ada hak orang di sana, mereka tidak perduli.
Bagi mereka klaim itu menjadi sesuatu yang sakral, tak boleh diprotes. Di sisi lain, presiden sudah pontang-panting membikin program supaya rakyatnya segera maju, makmur, sesuai misi UUD '45.
Gimana mau maju kalau klaim kawasan hutannya begitu, penyelesaian sangat lamban. Dari data dan fakta lapangan itulah makanya saya mengatakan ada kesan sabotase.
Seperti apa Anda menengok otoritas kehutanan ini?
Sektor ini menurut saya, sektor yang tekor meski dia menguasai sekitar 68 juta hektar hutan produksi. Saya bilang sektor yang tekor lantaran prediksi saya, penerimaan dari PSDH dan iuran izin saja, tidak cukup untuk menutupi gaji pegawainya.
Nah kalau kemudian benar kehutanan adalah sektor tekor, maka pilihannya ada dua; melikuidasi sektor itu (bagian produksinya) atau meringankan beban ketekoran.
Caranya, tanah yang tidak produktif diserahkan kepada sektor lain yang lebih produktif. Saat ini kawasan yang tidak berhutan ada sekitar 30 juta hektar.
Lantaran sudah tidak berhutan, kalaupun dipakai untuk yang bukan hutan, tidak akan mempengaruhi tutupan hutan.
Apakah ini tidak berdampak dengan ketercukupan tutupan hutan yang minimal 30%?
Gini, memang ada disebut bahwa hutan konservasi dan hutan lindung itu kira-kira 30% dari daratan. Tapi 30% harus kawasan hutan juga tidak ada dasar ilmiahnya, bahkan orang kehutanan juga tidak ada yang tahu.
Tahun 1980-an, waktu saya masih muda dulu, saya pernah bertanya kepada pembimbing saya, Prof. Zoefri Hamzah. Saya bilang begini,"Angka 30% itu dari mana sih, Pak?"
Prof Zoefri bilang,"Angka itu justru salah kaprah. Ceritanya begini, dulu ada pakar dari Belanda yang menjelajahi Pulau Jawa. Saya lupa mengeja namanya, tapi bunyinya kira-kira Pak Moor, gitulah. Hasil penjelajahan itu kemudian ditulis dalam laporan kecil. Kesimpulan Pak Moor, sekitar 30% Pulau Jawa sebaiknya digunakan untuk vegetasi permanen, bukan kawasan hutan,".
Ada tulisan Pak Moor ketika itu, tapi bahasa Belanda yang saya enggak ngerti. Tp boleh dibilang, saya orang pertama yg mendapat cerita tentang paper Pak Moor itu dari Prof Zoefri, soalnya baru saya yang bertanya.
Saya tanya ke dosen lain yang seumuran dengan Prof Zoefri malah enggak tahu. Banyak yang enggak ngerti sejarahnya, tapi ngomongnya kenceng banget
Dari apa yang Prof bilang, apakah kemudian para pakar pernah berusaha berkirim petisi kepada Presiden? Kalau misalnya sudah pernah, kenapa presiden terkesan lemah dengan kementerian yang satu ini?
Saya tidak tahu kenapa presiden terkesan lemah terhadap kementerian yang satu ini. Kalau soal pakar, khususnya akademisi, saya tahu persis. Jangan terlalu overestimate terhadap akademisi. Akademisi, termasuk saya, juga pantas untuk diteriakin, dan dibully habis-habisan kalau perlu. Sebab banyak yang tidak perduli dengan keadaan.
Apa langkah-langkah yang sedang Prof bangun untuk kembali menyuarakan soal klaim kawasan hutan ini?
Bersama anak-anak muda, belajar melihat realita. Tentu tetap menulis yg berbau sentilan-sentilan seperti yang saya runut tadi.






Komentar Via Facebook :