https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

PP 8/2025 Dinilai Bisa Berdampak Serius Bagi Petani Sawit Kecil

PP 8/2025 Dinilai Bisa Berdampak Serius Bagi Petani Sawit Kecil

Praktisi sawit dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto. Dok.Istimewa


Jakarta, elaeis.co - PP Nomor 8 Tahun 2025 mengatur kewajiban penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari kegiatan pengusahaan atau pengolahan sumber daya alam (SDA) ke dalam sistem keuangan nasional. 

Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia dengan meningkatkan cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah.

Pokok dari kebijakan ini adalah Penempatan DHE yakni eksportir di sektor pertambangan (kecuali minyak dan gas bumi), perkebunan, kehutanan, dan perikanan diwajibkan menempatkan 100% DHE SDA dalam rekening khusus di bank nasional selama 12 bulan. 

Menurut praktisi sawit dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, ada dampak serius yang ditimbulkan peraturan tersebut terhadap petani kelapa sawit kecil atau petani swadaya.

Sebab, petani kecil biasanya tidak mengekspor langsung hasil tanaman (CPO atau TBS). Melainkan menjual ke koperasi, tengkulak, atau perusahaan pengolahan (pabrik kelapa sawit).

Namum dalam ekosistem kelapa sawit (rantai supply), pabrik kelapa sawit selaku pengolah TBS petani kecil akan sangat bergantung pada eksportir.

"Kebijakan ini memang kepada eksportir. Tapi jika perusahaan berdampak, maka akan berdampak juga ke bawah. Misalnya, seluruh eksportir tidak mampu membeli TBS atau CPO dari ribuan perusahaan sawit karena dananya terbatas akibat di tahan DHE, maka mereka juga tidak mampu membeli CPO dari pabrik-pabrik sawit yang ada," ujarnya lewat siaran pers yang diterima elaeis.co, Selasa (6/5).

Karena serapan tidak ada, lanjutnya,  maka akan berdampak pada petani karena tidak bisa panen hasil kebun. Jika pun bisa, hasil kebun petani juga akan dibeli dengan harga rendah lantaran harga pasaran anjlok. Seperti saat ini saja rata-rata harga kelapa sawit petani swadaya sudah turun mulai Rp30-50/kg.

"Lambat laun hasil kebun petani tidak laku, sebab eksportir akan memilah-milah suppliernya. Eksportir akan memprioritaskan bahan baku dari group perusahaannya. Lalu pabrik banyak yang ditutup dan PHK massal bakal terjadi," jelasnya.

Kemudian masih, kata Darto, jika perusahaan eksportir kesulitan likuiditas karena harus menyimpan DHE di dalam negeri selama 12 bulan, bisa jadi perusahaan lebih selektif membeli bahan baku (TBS), atau menekan harga beli dari petani. Tapi sebaliknya, jika stabilitas nilai tukar membaik dan ekspor meningkat, harga TBS bisa ikut naik. 

"Dari 17,3 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia, 42% merupakan pe

"Walau bukan eksportir, tapi petani sawit kecil akan merasakan dampaknya. Sebab 42% dari 17,3 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia merupakan petani sawit kecil," ujarnya. 

"Memang dampaknya bisa positif atau negatif. Tergantung bagaimana perusahaan dan pemerintah mengelola transisi kebijakan tersebut. Misalnya, perkebunan diberlakukan seperti minyak dan gas yang hanya 30% disimpan, bukan 100%. Sebab hal itu bisa berdampak pada program hilirisasi sawit dan tergerusnya CPO nasional untuk food dan energy," pungkasnya.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :