https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Petani Sawit Minta Akses Pendanaan Sertifikasi ISPO Diperluas

Petani Sawit Minta Akses Pendanaan Sertifikasi ISPO Diperluas

Para pembicara diskusi publik membahas sertifikasi ISPO untuk Petani KelapaSawit. foto: ist.


Jakarta, elaeis.co - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menggelar diskusi publik dengan tema Mewujudkan Keadilan, Kesetaraan akses Sertifikat Berkelanjutan ISPO untuk Petani Kelapa Sawit. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendorong peningkatan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) di kalangan petani swadaya.

Ketua SPKS, Sabarudin, mengatakan, akses pendanaan sertifikat ISPO bagi petani kelapa sawit harus diperluas. Akses pendanaan tidak seharusnya dibatasi hanya untuk pekebun, melainkan juga perlu diberikan kepada organisasi petani sawit yang memiliki polygon atau kemitraan kelompok tani.

Dia mengungkapkan, SPKS memiliki sebanyak 20 ribu anggota petani sawit yang tersebar di 15 kabupaten. Sayangnya, para petani tersebut mengalami kendala saat hendak melakukan sertifikasi ISPO karena masalah pembiayaan. Mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan proses sertifikasi ISPO.

“Sayangnya pemerintah tidak memperhatikan masalah pendanaan ini, terutama ketika petani tersebar di berbagai lokasi seperti yang terjadi di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, di mana ada 1.000 petani yang ingin menerapkan ISPO,” sebutnya dalam keterangan resmi dikutip Sabtu (6/4).

Menurutnya, petani SPKS di Sanggau sudah memiliki pemetaan, Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), dan semua persyaratan lain yang dibutuhkan untuk sertifikasi. "Sudah ada 12 koperasi yang siap untuk menerapkan ISPO dan mereka telah memenuhi semua persyaratan administratif, namun terkendala oleh pendanaan," sesalnya.

Menurut dia, perluasan akses pendanaan ISPO sangat penting untuk memastikan bahwa petani kelapa sawit, termasuk yang tergabung dalam organisasi petani, dapat dengan mudah mengakses proses sertifikasi tersebut tanpa terkendala oleh masalah keuangan.

“Hal ini tidak hanya akan membantu meningkatkan keberlanjutan industri kelapa sawit, tetapi juga mendukung upaya Indonesia dalam mempromosikan produk kelapa sawit yang berkelanjutan secara global,” ujarnya.

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementan, Prayudi Syamsuri, mengatakan, capaian sertifikasi ISPO masih tertinggal lantaran baru seluas 5,6 juta hektar (ha), atau capaian ISPO saat ini hanya mencapai sekitar 37,08 persen. Guna mengatasi kendala tersebut, pemerintah saat ini fokus pada peningkatan kelembagaan dalam industri ini.

Pihaknya menegaskan komitmennya untuk memperkuat kelembagaan sebagai upaya menghadapi tantangan dalam mencapai target ISPO yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, dirinya meminta Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk memberikan dukungan dalam pembiayaan STDB.

Prayudi menyarankan kelompok pekebun yang telah melakukan proses ISPO untuk mendaftar pada program Sarana dan Prasarana (Sarpras) agar bisa mendapatkan bantuan dana sertifikasi.

Dalam upaya optimalisasi penggunaan dana, dia menekankan pentingnya mengusulkan target-target secara tepat dan efisien. Proses ini akan mendapatkan pengawalan langsung dari pihak terkait untuk memastikan kelancaran dan efektivitasnya.

Selain itu, kata dia, revisi dalam implementasi ISPO menjadi hal yang penting untuk dibahas, di mana pembahasan meliputi aspek hilir tanaman sawit dan menyesuaikan status ISPO menjadi mandatory atau voluntary.

“Proses revisi peraturan oleh Kementerian Pertanian diharapkan dapat mempercepat penyelesaian, sehingga ISPO dapat diterapkan dengan lebih luas dan efektif. Model penilaian akan terus disempurnakan untuk mengurangi biaya dan mempercepat proses sertifikasi ISPO, sehingga beban BPDPKS dapat dikurangi dan dialihkan ke koperasi lainnya,” katanya.

Direktur Penghimpunan Dana BPDPKS, Sunari, menekankan pentingnya sertifikat ISPO sebagai identitas utama dalam menjadikan industri kelapa sawit Indonesia sebagai pelaku yang berkelanjutan.

Dia menegaskan bahwa saat ini sudah tidak relevan lagi membandingkan ISPO dengan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) atau sebaliknya.

“Mari kita miliki jati diri ISPO dan menjadi sawit berkelanjutan versi Indonesia, kami hanya mengikuti kebijakan yang sudah ditetapkan,” ujarnya.

Sunari menjelaskan bahwa sebelumnya BPDPKS hanya memberikan biaya untuk sertifikasi melalui pendanaan dan pembiayaan Legalisasi Sarana (LS) dalam proses sertifikasi. Namun, kini pendekatan tersebut telah berubah. BPDPKS akan memperbaiki prosesnya dengan memberikan penguatan kepada petani untuk memulai proses ISPO.

“Membangun itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah, dan saat ini kita akan memberikan pelatihan kepada petani terlebih dahulu tentang LS sebelum mereka memperoleh ISPO. Kami mendorong petani untuk mengadopsi ISPO,” tegasnya.

Dengan pendekatan baru ini, diharapkan akan lebih banyak petani kelapa sawit akan terlibat dalam proses sertifikasi ISPO, sehingga industri kelapa sawit Indonesia dapat meningkatkan standar keberlanjutannya dan menjadi pemain utama dalam pasar global yang menghargai prinsip-prinsip keberlanjutan.

“Langkah BPDPKS ini diharapkan dapat mempercepat transformasi industri kelapa sawit Indonesia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan,” jelasnya.

Bernadinus Steni Sugiarto dari Kaleka menyebutkan bahwa, kendala dana dalam proses sertifikasi bisa diatasi bila petani sawit mengikuti sertifikasi ISPO dalam jumlah besar secara bersama-sama.

“Pengalaman yang telah dilakukan, bila mensertifikasi ISPO sebanyak 500 petani, maka biaya yang dibutuhkan mencapai US$ 170 per ha. Lain halnya bila mensertifikasi petani sawit sebanyak 2.000 orang, maka biaya yang muncul hanya kurang lebih US$ 50 per ha,” ungkapnya.

Dia menegaskan bahwa aspek peningkatan kapasitas, pemetaan, pembentukan organisasi, dan legalitas adalah langkah krusial dalam menjaga keberlanjutan industri kelapa sawit. Aspek-aspek tersebut dapat didukung oleh pemerintah dan dikoordinasikan oleh otoritas local.

Oleh karena itu, dia mengusulkan pendekatan kewilayahan (yuridiksi) menjadi kunci dalam melaksanakan audit tersebut. Pemda memegang peran utama dalam memimpin proses ini, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, NGO, pelaku industri, dan petani.

“Kolaborasi ini memungkinkan saling mendukung antar-stakeholder serta memastikan implementasi kebijakan yang holistik dan berkelanjutan,” jelasnya.

Dia juga menilai insentif menjadi bagian penting dalam mendorong partisipasi dan keterlibatan aktif dari berbagai pihak. Salah satu penerima manfaat yang signifikan adalah petani sawit swadaya.

“Dengan pendekatan skala wilayah, perusahaan-perusahaan di wilayah tersebut dapat saling berkolaborasi dan memberikan dukungan. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab pemda untuk memfasilitasi kerja sama ini dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan,” tukasnya. 


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :