Berita / Nasional /
Ombudsman Minta Menteri LHK Perpanjang Tenggat Pemutihan Kebun Sawit di Kawasan Hutan
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika
Jakarta, elaeis.co - Batas penyerahan kelengkapan syarat perizinan bagi pengusaha sawit terindikasi menggunakan lahan ilegal di kawasan hutan sudah berakhir pada 2 November 2023. Ombudsman RI menyurati Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar dan meminta agar tenggat pemutihan kebun sawit di kawasan hutan diperpanjang.
"Kebijakan tersebut berpotensi maladministrasi mengingat masih banyaknya permasalahan terkait status kawasan hutan," kata Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika dalam siaran pers dikutip Sabtu (4/11).
Ia menyarankan agar Siti mengeluarkan diskresi untuk menunda batas akhir tersebut dengan pertimbangan bahwa penatagunaan kawasan hutan menjadi tanggung jawab Kementerian LHK, yang sekaligus memberikan kepastian hak atas tanah badan usaha atau masyarakat untuk dapat dinyatakan berada dalam kawasan hutan atau tidak.
"Pertimbangan kedua, permintaan persyaratan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit kepada badan usaha atau masyarakat dapat dilakukan setelah selesai dilakukan penetapan kawasan hutan," sebutnya.
Menurutnya, apabila badan usaha/masyarakat dinyatakan melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan, dengan adanya Penetapan Kawasan Hutan maka dapat dilanjutkan dengan proses melengkapi persyaratan perizinan di bidang kehutanan.
"Diskresi dapat dilakukan dengan alasan-alasan objektif, yaitu alasan yang diambil berdasarkan fakta dan kondisi faktual, tidak memihak dan rasional serta berdasarkan asas-asas umum pemerintah yang baik," jelasnya.
Ia menyebut permasalahan lainnya juga dirasakan oleh para petani sawit swadaya. "Petani sawit swadaya yang hanya memiliki lahan seluas kurang dari 10 hektare merasa kesulitan dalam memenuhi persyaratan administratif pengurusan legalitas usaha berdasarkan ketentuan Undang-Undang Cipta Kerja. Hal tersebut tentu perlu menjadi perhatian serius oleh pemerintah," tegasnya.
Ia mengatakan, proses penentuan tenggat waktu 2 November 2023 adalah batas yang diambil dari tanggal diundangkannya UU Cipta Kerja pada 2020. "Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penundaan dan diubah dengan UU Cipta Kerja (2) yaitu UU Nomor 6 Tahun 2023, maka selayaknya tanggal batas akhir juga dimulai dari pemberlakuan UU Cipta Kerja Nomor 6/2023," tukasnya.
Ia menekankan pelaksanaan penatagunaan kawasan hutan harus menghormati hak masyarakat dan kepentingan nasional. Karena itu, KLHK perlu memperhatikan tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan tetap menghormati hak masyarakat.
"Penatagunaan kawasan hutan perlu memperhatikan dan mempertimbangkan produk administratif yang berkaitan dengan hak atas tanah yang diterbitkan oleh Kementerian ATR/BPN dan pemerintah daerah," tandasnya.
Yeka juga menilai usaha sawit perlu mendapat dukungan, baik dari ranah domestik maupun internasional. "Beberapa tahun terakhir, usaha sawit mengalami tekanan akibat dampak Pandemi covid-19, kebijakan subsidi, dan kebijakan ekspor. Hak atas tanah yang menjadi fondasi usaha perkebunan sawit, perlu ditata untuk memberikan kepastian hukum dan menjamin keberlanjutan usaha," tegasnya.
Dalam hal terjadi pengenaan sanksi denda, ia menyarankan hukuman itu dilaksanakan dengan mekanisme yang meringankan untuk melindungi pelaku usaha sawit dari kebangkrutan. Apalagi, usaha sawit merupakan lapangan kerja yang cukup besar dan memberikan kontribusi ekonomi yang cukup signifikan.
Dia menekankan bahwa saran dan pendapat Ombudsman kepada Menteri LHK ini adalah upaya pencegahan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. "Selanjutnya Ombudsman RI akan membuat Policy Report yang mendorong kepastian hak atas tanah sebagai fondasi dalam usaha perkebunan sawit yang dapat mempengaruhi tata niaga sawit di Indonesia," pungkasnya.







Komentar Via Facebook :