https://www.elaeis.co

Berita / Pojok /

Nasionalisasi Akal Sehat

Nasionalisasi Akal Sehat

Sudarsono Soedomo. foto: aziz


Oleh: Sudarsono Soedomo*)

Venezuela pernah menjadi negara paling makmur di Amerika Latin. Kekayaan minyak, sistem ekonomi terbuka, dan manajemen profesional menjadikannya simbol modernisasi dunia Selatan.

Namun sejak Hugo Chávez berkuasa pada 1999, semua berubah. Atas nama rakyat dan revolusi sosialisme abad ke-21, ia menasionalisasi sektor-sektor ekonomi dan mengganti para profesional dengan loyalis politik. 
Kedaulatan ekonomi menjadi slogan besar, tetapi yang terjadi justru erosi kapasitas kelembagaan dan hilangnya rasionalitas kebijakan. Fenomena ini mulai terasa akrab. 

Indonesia, meski tidak seekstrem Venezuela, menunjukkan arah yang serupa. Profesionalisme birokrasi melemah, loyalitas politik justru meningkat. 

Prof. Sudarsono, si Belanda itu; Pak Moor

Kebijakan ekonomi yang seharusnya berbasis data kini berubah menjadi alat pencitraan. Proyek hilirisasi, industrialisasi, hingga nasionalisasi tambang digadang sebagai kedaulatan nasional, namun sering tanpa transparansi dan akuntabilitas. 

Birokrasi perlahan berubah dari pelaksana rasional menjadi corong retorika kekuasaan.

Populisme selalu menjanjikan kedaulatan rakyat, tetapi sering kali justru menyingkirkan rakyat dari proses pengambilan keputusan. 

Venezuela menyingkirkan korporasi asing, namun juga menyingkirkan mekanisme akuntabilitas. 

Indonesia kini menghadapi versi lembut dari gejala yang sama: jabatan strategis diisi oleh loyalis, kebijakan disusun demi sorotan media, dan jargon nasionalisme menggantikan diskusi rasional. 

Semakin nyaring teriakan kedaulatan, semakin redup suara kompetensi.

Kehancuran Venezuela bukan disebabkan oleh nasionalisasi minyak, melainkan oleh nasionalisasi akal sehat. 

Ketika loyalitas menggantikan kapasitas, kebijakan publik kehilangan arah dan masyarakat bertepuk tangan seolah sedang diselamatkan. 

Indonesia masih memiliki ruang koreksi publik dan demokrasi yang rapuh namun hidup. Namun ruang itu akan sia-sia jika kita terus memuja figur dan menertawakan profesionalisme. 

Negara yang kuat bukan yang paling banyak memiliki pengikut, melainkan yang berani mendengarkan yang berbeda.

Pada akhirnya, nasionalisme sejati tidak diukur dari seberapa keras pemerintah berteriak tentang kedaulatan, melainkan dari seberapa tenang ia bekerja membangun rasionalitas. 

Kedaulatan yang sesungguhnya lahir dari kepercayaan terhadap akal, bukan dari ketakutan akan kritik. Dan
mungkin, tragedi Venezuela seharusnya menjadi cermin, bukan cermin hias yang memantulkan wajah gagah, melainkan cermin retak yang memperlihatkan bagaimana kekuasaan dapat meluluhlantakkan bangsa ketika nalar dianggap musuh politik. 

Sebab bangsa yang kehilangan akal sehat akan tetap merasa merdeka, bahkan di bawah kebodohannya sendiri — dan itulah bentuk penjajahan yang paling sempurna.


*) Guru Besar Kebijakan Kehutanan, IPB University

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :