https://www.elaeis.co

Berita / Pojok /

Mendorong Kesejahteraan Petani Sawit Mandiri melalui Kolaborasi dalam Rantai Pasok

Mendorong Kesejahteraan Petani Sawit Mandiri melalui Kolaborasi dalam Rantai Pasok

Sudarsono Soedomo. foto: aziz


Oleh: Sudarsono Soedomo*)

Sekitar 42 persen dari total areal kebun kelapa sawit di Indonesia dimiliki dan diusahakan oleh petani, terutama petani sawit mandiri. 

Angka ini menunjukkan bahwa petani bukan sekadar pelengkap dalam industri sawit nasional, melainkan merupakan salah satu pilar utama yang menyangga produksi dan ketahanan industri ini. 

Namun demikian, harus diakui bahwa petani sawit mandiri merupakan kelompok yang paling rentan, terutama dalam hal kapasitas teknis, akses terhadap pembiayaan, serta kemampuan memenuhi persyaratan perdagangan global yang semakin ketat.

Dalam beberapa tahun terakhir, standar keberlanjutan menjadi tuntutan utama dalam perdagangan minyak sawit dunia. 

Baca juga: Prof. Sudarsono, si Belanda itu; Pak Moor

Isu-isu seperti deforestasi, emisi gas rumah kaca, hak-hak pekerja, dan ketelusuran rantai pasok semakin diperhatikan oleh pasar internasional. 

Sayangnya, sebagian besar petani mandiri belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan tersebut. Ini bukan semata karena ketidakmauan, tetapi lebih karena keterbatasan sumber daya, akses informasi, dan dukungan kelembagaan.

Di sisi lain, keberadaan petani sawit mandiri tidak dapat dipisahkan dari mata rantai industri sawit secara keseluruhan. 

Banyak pabrik kelapa sawit (PKS) yang menggantungkan sebagian besar bahan bakunya pada pasokan tandan buah segar (TBS) dari petani mandiri. 

Produk olahan dari PKS ini kemudian dijual ke eksportir atau digunakan sebagai bahan baku produk turunan yang ditujukan untuk pasar internasional. 

Artinya, keberhasilan atau kegagalan petani dalam memenuhi standar global akan berdampak langsung pada kelangsungan seluruh rantai pasok dari PKS hingga eksportir.

Di sinilah pentingnya melihat industri sawit sebagai suatu ekosistem yang saling terhubung. Tidak ada satu pihak pun yang dapat berjalan sendiri. 

Pendekatan individualistik hanya akan memperlebar jurang ketimpangan dan merugikan semua pihak dalam jangka panjang. 

Untuk itu, diperlukan kolaborasi erat antara petani, PKS, pemerintah, perusahaan besar, lembaga pembiayaan, serta lembaga swadaya masyarakat. 

Upaya-upaya seperti peningkatan kapasitas teknis, pendampingan menuju sertifikasi berkelanjutan, akses terhadap pembiayaan yang adil, serta insentif pasar bagi TBS yang memenuhi standar harus diperluas dan diperkuat.

Memastikan petani sawit mandiri terlibat secara penuh dalam rantai nilai global bukan hanya soal keadilan, tetapi juga soal strategi keberlanjutan industri. 

Jika petani mandiri mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas produksinya secara berkelanjutan, maka kesejahteraan akan meningkat dan daya saing produk sawit Indonesia di pasar global akan semakin kuat.

Sudah saatnya semua komponen dalam rantai industri sawit bekerja bersama, saling mendukung, dan memikul tanggung jawab secara kolektif. Hanya dengan cara inilah, kesejahteraan bersama dan keberlanjutan jangka panjang dapat benar-benar terwujud.


*) Guru Besar Kebijakan Kehutanan, IPB University

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :