https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Manfaatkan Penundaan EUDR, Waspadai Aturan Serupa

Manfaatkan Penundaan EUDR, Waspadai Aturan Serupa

Para pembicara sesi 2 IPOC 2024. foto: Taufik Alwie


Nusa Dua, elaeis.co - Sejatinya, Indonesia tetap harus waspada kendati pemberlakuan European Union Deforestation Regulation (EUDR) ditunda hingga akhir tahun depan. 

Selain harus memanfaatkan waktu “jeda setahun” itu untuk berbenah dengan sebaik-baiknya, Indonesia juga harus siap menghadapi potensi aturan ala Uni Eropa tersebut dijiplak oleh negara lain.

“Warning” ini mencuat dalam Sesi 2  Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024 di Nusa Dua, Bali,  Kamis, 7 November 2024.  Sesi yang berlangsung cukup seru dan dipandu Agus Purnomo dari GAPKI itu menampilkan  empat pembicara.

Mereka adalah Rizal Affandi Lukman (Sekjen CPOPC), Ian Suganda (Golden Agri-Resources), Pietro Paganini (Universitas John Cabot, Roma), dan Andri Hadi (Dubes RI untuk Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa).

Ian Suwarganda, Penasehat Bidang Sawit Golden Agri-Resources, mengingatkan bahwa saat ini negara-negara lain tampaknya sedang mempersiapkan aturan yang sama. 

“Saya kira negara-negara seperti Amerika Serikat, Cina dan India pun sedang berusaha merumuskan peraturan yang mirip dengan EUDR itu,” katanya dalam Sesi bertema “Implementasi EUDR: Peluang & Tantangan” tersebut.

Baca juga: Target Tinggi Biodiesel di Tengah Problem Sektor Hulu

Maklumlah, sesungguhnya spirit dari EUDR itu adalah memproteksi produk dalam negeri mereka dengan cara  membatasi perdagangan terhadap komoditas tertentu, dengan dalih berjejak deforestasi. 

Melalui EUDR, Uni Eropa hendak memastikan produk-produk yang dijual di negara-negara anggotanya tidak terkait dengan perusakan atau degradasi hutan.  

Cara tersebut dinilai akan cukup efektif untuk membatasi serbuan komoditas impor, dan dalihnya pun cukup “elegan”,  karena terkesan peduli terhadap lingkungan dunia. 

Tercatat ada 7 komoditas yang terdampak oleh EUDR, yaitu sawit, kayu, karet, kakao, kopi, kedelai, dan ternak. Indonesia sebagai penghasil sawit terbesar sekaligus pengekspor sawit terbesar tentu saja bakal terdampak cukup serius. 

Untunglah, seperti yang juga dibahas di awal sesi, penerapan EUDR tersebut dipastikan ditunda sampai tahun depan. Hal ini tak lepas dari lobi-lobi penting pejabat Pemerintah Indonesia, termasuk Dubes Andri Hadi.

Hadi mengungkapkan kalau salah satu musabab ditundanya EUDR karena Parlemen Uni Eropa tidak bisa menjelaskan sistem dalam implementasi benchmarking sebagaimana disyaratkan dalam EUDR.  

Ia mengatakan, pemberlakuan benchmarking ini akan berpotensi bermasalah. Karena bahkan di suatu negara sendiri, hal itu susah untuk dilakukan dengan sistem benchmarking yang sama.

“Sama dengan negara-negara lain, Indonesia juga mempunyai wilayah yang berbeda. Tidak bisa benchmarking yang sama dilakukan misalnya pada suatu kebun kopi di Sumatra dan kebun kopi di Nusa Tenggara Timur,” kata Andri Hadi.

Sebagai akibat benchmarking ini, suatu negara dikategorikan sebagai high risk dalam hal deforestasi. Konsekuensinya adalah kemungkinan negara-negara partner dagangnya di luar UE bisa ikut mengambil tindakan yang merugikan negara tersebut. 

“Ya memang EUDR itu dari awal memaksakan “one size fit all” (Satu ukuran diberlakukan untuk semua),” kata Andri Hadi. 

“Sebenarnya dari awal kita sudah minta perundingan untuk menyamakan persepsi tentang aturan deforestasi ini. Tapi UE tetap memaksakan pemberlakuannya, dan sekarang ini kita lihat sedang ditunda,” ia menambahkan.

Secara berkelakar, ia bahkan  menyebut kalau sistem itu mirip panadol, satu obat untuk segala jenis sakit ringan. “Ya nggak bisa dong!” ucapnya sambil tertawa.

Senada dengan Andri, Pietro Paganini menyarankan agar negara-negara produsen sawit harus mengintensifkan perundingan dengan Uni Eropa dalam semangat kerja sama untuk menemukan cara terbaik dalam mengikuti EUDR nantinya.  

“Penerapannya diperkirakan tidak hanya akan di Eropa saja tapi juga di luar Eropa,” ujarnya.

Sementara itu, Rizal Affandi Lukman mengatakan pelaksanaan EUDR nantinya akan pasti berdampak pada negara-negara Asia Tenggara, kecuali Brunai Darussalam.

“Ada 7 komoditas yang terdampak oleh EUDR ini, termasuk sawit, kopi dan karet. Indonesia adalah produsen terbesar sawit di dunia, Vietnam produsen besar kopi, sementara Thailand karet,” katanya.

Dia mengatakan bahwa pemberlakuan EUDR ini tidak hanya akan berdampak pada ekspor Indonesia ke Eropa, tapi juga impor Indonesia dari Eropa. 

“Ini karena EUDR itu mensyaratkan bebas deforestasi bagi semua barang komoditi pertanian, perkebunan dan kehutanan di Eropa, baik barang impor dan ekspor,” katanya pula.

Menurut perkiraannya, pemberlakuan  EUDR akan berpengaruh pada nilai ekspor Indonesia ke Eropa yang mencapai US$4.4 miliar dalam berbagai produk pertanian, perkebunan dan kehutanan. Jumlah yang tidak sedikit.


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :