Berita / Nasional /
Target Tinggi Biodiesel di Tengah Problem Sektor Hulu
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Edi Wibowo (ketiga dari kanan). Foto: Taufik Alwie
Nusa Dua, elaeis.co - Pemerintah bertekad melaksanakan program mandatori biodiesel dengan bauran yang terus ditingkatkan. Tak cuma biodiesel, program untuk varian biofuel lainnya, seperti bioethanol, bioavtur, dan green gasoline, juga akan didorong.
Tekad yang sudah lama bergaung ini kembali dikumandangkan oleh Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, EdI Wibowo, pada hari pertama gelaran Indonesian Oil Palm Conference (IPOC) Ke-20 di Nusa Dua, Bali, Kamis, 7 November 2024.
Memang, pada kesempatan itu, Edi Wibowo lebih banyak bicara seputar program mandatori biodiesel. Ia menyebut banyak manfaat yang dipetik dari program biodiesel yang didorong ke arah bauran yang lebih tinggi.
Baca juga: IPOC 2024; Bersama Menghadapi Ketidakpastian Global
Mulai dari mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil, menstabilkan pasokan energi, sampai mengurangi arus keluar devisa. “Juga meningkatkan ketahanan terhadap fluktuasi harga minyak global dan ketidakpastian geopolitik.” kata Edi Wibowo.
Karena itu ia berharap pemangku kepentingan industri sawit dan semua pihak dapat mendukung program pemerintah tersebut, yang kini didorong lebih maju lagi oleh Presiden Prabowo.
Harus diakui, program biodiesel dengan bauran yang terus didorong meningkat tersebut memang identik dengan tekad Presiden Prabowo yang resmi memimpin negeri ini sejak dilantik pada 20 Oktober lalu.
Program ini pun sebetulnya sudah digadang-gadang bahkan jauh sebelum Prabowo-Gibran memenangkan Pemilihan Umum Presiden pada 14 Februari 2024.
Program itu merupakan salah satu butir dari 17 butir program prioritas dalam Visi-Misi pasangan tersebut saat berkampanye sebagai Capres-Cawapres.
Dalam butir pertama dengan sub-judul “Mencapai swasembada pangan, energi, dan air”, disebutkan bahwa pada tahun 2029 dengan sumber daya alam yang ada, sangat optimis program biodiesel B50 dan campuran ethanol E10 akan tercapai.
Tekad ini pun terus dikumandangkan saat Prabowo menjadi presiden terpilih. Ketika dilantik sebagai Presiden RI, dalam pidatonya ia antara lain kembali menekankan pentingnya swasembada energi, termasuk di dalamnya energi hijau dari sawit.
Multiplier effect
Tentu tidaklah keliru Prabowo mendorong program biodiesel hingga setidaknya B50. Pasalnya, program yang dimandatorikan ini secara nyata menghadirkan banyak keuntungan, menimbulkan efek berganda (multiplier effect).
Seperti telah disinggung di atas, selain menyerap minyak sawit dalam jumlah besar, juga menghemat devisa impor solar, dan meningkatkan nilai tambah CPO.
Sebagai contoh, program B35 di tahun 2023 tercatat menghemat devisa impor BBM sebesar US$7,92 milyar. Pada tahun yang sama, penambahan nilai CPO tercatat sebesar Rp15,85 triliun.
Tak mengherankan jika Prabowo dengan optimistis menargetkan capaian B50 tahun depan akan menghemat devisa impor BBM sebesar US$20 miliar atau Rp303 triliun.
Biodiesel juga menyerap tenaga kerja, dan mereduksi gas rumah kaca. Masih pada 2023, misalnya, tercatat menyerap tenaga kerja on farm sebanyak 1,5 juta dan off farm sebanyak 11.533. Sedangkan gas CO2 yang dicegah mencapai 32,6 juta ton.
Meningkatnya serapan minyak sawit oleh biodiesel praktis menjaga harga TBS sawit pada posisi yang bagus, sehingga meningkatkan kesejahteraan petani sawit, yang turut mendorong geliat ekonomi di sekitar lingkungan mereka, bahkan menjangkau ke luar wilayah domisili mereka.
Pertumbuhan biodiesel terbilang pesat. Dimulai memproduksi B2,5 sebanyak 190.000 kiloliter pada 2008, pada 2023 membukukan jumlah B35 sebanyak 13,15 juta kiloliter, dengan menyerap minyak sawit 10,65 juta ton, atau 45,9% dari total konsumsi minyak sawit dalam negeri.
Jumlah konsumsi minyak sawit untuk biodiesel itu sudah melebihi volume pasokan untuk pangan yang “hanya” 10,3 juta ton, atau 44,4% dari total konsumsi minyak sawit dalam negeri.
Tampaknya, berangkat dari sukses program biodiesel dengan persentase bauran serta volume yang terus ditingkatkan inilah pemerintahan Prabowo akan terus memacu peningkatan tersebut.
Saat ini Kementerian ESDM telah mempersiapkan segala sesuatunya guna menyongsong pelaksanaan B40 pada awal tahun depan sebagai ancang-ancang menuju B50.
Walau pun konsekuensinya adalah meningkatnya kebutuhan pasokan minyak sawit, dan melambungnya subsidi oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), disamping dapat menurunkan volume ekspor.
Ketua Umum GAPKI Eddy Martono pada kesempatan terpisah memprediksi, untuk program B40 diperkirakan akan menyedot minyak sawit sebanyak 14 juta ton, dan untuk B50 akan menyedot 17,5 juta ton.
Dalam kaitan menggerus ekspor, B40 diperkirakan akan menurunkan volume ekspor sebesar 2 juta ton. Sedangkan B50 akan menurunkan 6 juta ton.
Sementara itu, ketersediaan sawit di sektor hulu cukup mengkhawatirkan karena produksi sudah stagnan di kisaran 50 juta ton per tahun.
Sedangkan pelaksanaan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) masih jauh dari harapan. Dari target 180.000 hektar per tahun, yang dicapai masih di bawah 30%.
Jika program biodiesel dengan bauran tinggi ingin berhasil, maka tidak bisa tidak sektor hulu harus dibereskan terlebih dahulu, utamanya dengan mendorong percepatan PSR.
Hal ini telah juga menjadi perhatian pemerintah. Edi Wibowo mengatakan, untuk mendukung program mandatori biodiesel tanpa mengganggu pasokan minyak sawit untuk kebutuhan lain, maka produksi dan produktivitas harus ditingkatkan.
Yakni, dengan cara meningkatkan program peremajaan sawit rakyat. Selain itu, ujar Edi Wibowo, dengan memanfaatkan lahan kritis atau bekas tambang untuk mengembangkan hutan energi khusus untuk pemenuhan bahan baku biodiesel.
Juga tak kalah penting adalah upaya diversifikasi bahan baku non-pangan.







Komentar Via Facebook :