Berita / Nasional /
Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Pengesahan RUU KSDAHE, ini Asalannya
Koalisi masyarakat sipil sampaikan penolakan terhadap RUU KSDAHE. foto: ist.
Jakarta, elaeis.co - Sejak tahun 2016, Koalisi Masyarakat Sipil aktif memberi masukan substantif untuk dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE).
Namun hingga draft terakhir keluar pada Desember 2023, ternyata tidak ada satupun usulan koalisi terkait dengan aspek partisipasi masyarakat, serta perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal, diakomodir dalam RUU KSDAHE.
Itu sebabnya koalisi yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil pembela HAM dan masyarakat adat menolak pengesahan RUU yang sudah 8 tahun keluar masuk program legislasi nasional itu. Jumat (19/1), Koalisi Masyarakat Sipil diwakili Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), menyampaikan surat terbuka yang berisi kekecewaan kepada Panitia Kerja (panja) RUU KSDAHE.
Cindy Julianty dari BRWA menyebutkan bahwa masyarakat sipil telah menyampaikan masukan ke panja dalam bentuk policy briefs, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), dan rekomendasi kunci pasal-perpasal. Namun tidak ada perubahan positif secara materil maupun formil dari proses legislasi RUU KSDAHE.
“Ada 3 alasan mengapa pengesahan RUU KSDAHE ditolak dan pemerintah tidak tergesa-gesa mengesahkannya. Pertama, proses legislasi RUU KSDAHE tidak transparan dan partisipatif terutama dalam perumusan pasal – pasal. Kedua, tidak diakomodirnya usulan kami terkait aspek partisipasi masyarakat, perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal. Ketiga, ada pasal-pasal bermasalah dan membuka peluang lebih banyak terjadinya kriminalisasi, diskriminasi, pengabaian hak terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi," jelasnya dalam rilis yang diterima elaeis.co, kemarin.
Satrio Manggala, Manager Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi menambahkan, RUU KSDAHE masih menggunakan pendekatan represif untuk memastikan kegiatan konservasi berjalan.
"Bentuk-bentuk sanksi dan pemidanaan lebih berorientasi pada pidana penjara. Padahal pidana konservasi memiliki motif ekonomi, sehingga seharusnya lebih menekankan sanksi denda dan perampasan asset. Sanksi pidana juga bukan ditujukan untuk korporasi melainkan perorangan, sehingga membuka lebih banyak potensi kriminalisasi,” kritiknya.
Selain itu, paradigma RUU KSDAHE juga cenderung menempatkan masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai ancaman, bukan sebagai mitra yang berkontribusi dalam pengelolaan konservasi. "Pendekatan yang dilakukan negara justru kembali memunculkan konflik dan mengeksklusi masyarakat dari ruang hidupnya," tandasnya.
Moehammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum & HAM AMAN, menyoroti penyelenggaraan konservasi yang tidak berbasis HAM dan abai terhadap hak masyarakat adat. "RUU KSDAHE ini tidak mengubah status quo, tidak ada perubahan positif. Buktinya, tidak ada partisipasi berarti dan persetujuan atas dasar tanpa paksaan di awal (Padiatapa) dalam penetapan kawasan konservasi," sesalnya.
Menurutnya, banyak kasus kriminalisasi terjadi akibat negara tidak memperhatikan aspek tersebut. "Misalnya kasus di Colol yang dikenal dengan Rabu Berdarah yang menyebabkan 6 orang tewas, 28 luka-luka dan 3 orang diantaranya cacat permanen. Makanya keliru jika RUU tidak mengatur aspek hak dan partisipasi. Sebab ada 75% wilayah adat masuk ke dalam kawasan hutan di mana 1,6 juta hektare wilayah yang masuk dalam konservasi memiliki populasi sekitar 2,9 juta orang,” paparnya.
Deputi Program dan Pengelolaan Pengetahuan KIARA, Erwin Suryana, menilai RUU ini menjadi ancaman perampasan wilayah pesisir dan laut atau Ocean Grabbing sehingga Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat memenuhi ambisi mencapai target 30 by 30 yang bertumpu pada perluasan kawasan konservasi.
"Padahal konservasi selama ini sebenarnya sudah gagal melestarikan alam dan laut. Praktik-praktik konservasi terbaik ada di masyarakat, bukan hanya dilakukan oleh negara. Ini yang seharusnya diakomodir dan diakui oleh negara sebagai kontribusi masyarakat untuk konservasi dengan caranya sendiri,” tukasnya.
RUU KSDAHE juga dinilai belum mengarah pada model konservasi yang inklusif, tapi justru membuka ruang untuk private sector (investor) agar dapat bekerja lebih dalam di wilayah–wilayah konservasi yang dibungkus atas nama Jasa Lingkungan untuk melanggengkan proses kapitalisasi atau akumulasi modal.
"Makanya koalisi masyarakat sipil menyimpulkan bahwa RUU KSDAHE gagal dalam mewujudkan transformasi kebijakan konservasi yang inklusif, adil, berbasis hak, berbudaya dan berciri-khas nusantara," pungkasnya.







Komentar Via Facebook :