Berita / Nasional /
Industri Sawit Indonesia sedang Tidak Baik-Baik Saja
Ketua Umum Gapki, Eddy Martono (tengah), memberikan paparan pada acara Halalbihalal dengan media, di Jakarta. Foto : Taufik Alwie
Jakarta, elaeis.co - Lembaran-lembaran data menyangkut kinerja industri sawit yang terpampang nyata melalui proyektor LCD itu tak bisa dibilang menyampaikan kabar gembira.
Apalagi narasi yang disampaikan Eddy Martono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), yang banyak menyebut penurunan capaian, makin menguatkan kesan kurang menggembirakan.
Bahkan di awal narasinya, Eddy Martono tanpa ragu menyampaikan kalimat cukup menyentak.
Baca juga: Tak Putus Polemik PKS Tanpa Kebun
“Industri sawit Indonesia sedang tidak baik-baik saja,” ucapnya dalam diskusi berbalut acara “Halalbihalal Gapki dengan Media,” di Hotel Shangri-La Jakarta, Selasa siang, 30 April 2024.
Memang tidak terlalu berlebihan jika dikatakan industri sawit Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Lembaran-lembaran data tersebut secara tegas menunjukkan kinerja industri sawit Indonesia yang sedang menurun di banyak sisi.
Setidaknya hal itu tergambar dari pergerakan data di bulan Januari dan Februari 2024.
Produksi CPO, misalnya, pada Februari tercatat 3,88 juta ton, turun 349.000 ton dibanding bulan Januari sebanyak 4,23 juta ton (-8,25%).
Hal yang sama juga terjadi pada produksi PKO, dari 402.000 ton pada Januari, turun menjadi 369.000 ton pada Februari (-8,20%).
Ekspor CPO juga turun tajam, dari 367.000 ton pada Januari menjadi 152.000 ton pada Februari.
Begitu pula dengan ekspor produk turunannya, rata-rata semua menurun.
Sehingga total ekspor turun dari 2,81 juta ton pada Januari menjadi 2,17 juta ton pada Februari (-22,92%).
Turunnya volume ekspor ini praktis menurunkan pula nilai ekspor, meski pun harga CPO cif Rotterdam naik dari US$ 958 per ton menjadi US$ 965 per ton.
Tercatat nilai ekspor pada Februari hanya US$ 1,8 milyar, merosot jauh dibanding pada bulan Januari sebesar US$ 2,30 milyar.
“Jadi di sini saya katakan, hampir semua terjadi penurunan di bulan Februari,” kata Eddy Martono.
Direktur Eksekutif Gapki, Mukti Sardjono, dalam siaran persnya tanggal 30 April 2024, merinci penurunan volume ekspor tersebut.
Penurunan volume ekspor terbesar terjadi untuk tujuan India, yakni sebesar 287.000 ton, dari 527.000 ton menjadi 240.000 ton (-54,45%).
Lalu diikuti tujuan Pakistan yang merosot 97.000 ton, dari 284.000 ton menjadi 187.000 ton (-34,15%).
Berikutnya, tujuan Afrika turun 91.000 ton, dari 639.000 ton menjadi 548.000 ton (-14,24%), serta tujuan China sebesar 49.000 ton, dari 375.000 ton menjadi 326.000 ton (-13,07%).
Kemudian tujuan Bangladesh turun 43.000 ton, dari 77.000 ton menjadi 34.000 ton (-55,84%), dan tujuan EU terpangkas 27.000 ton, dari 368.000 ton menjadi 341.000 ton (-7,34%).
Kondisi Global
Seperti diketahui, menurunnya ekspor produk sawit Indonesia tentu tak lepas dari pengaruh kondisi global.
Di antaranya, harga CPO yang jauh lebih tinggi dibanding harga minyak nabati dari biji-bijian, termasuk biji bunga matahari, yang merosot tajam.
Jatuhnya harga minyak nabati biji-bijian ini terimbas oleh langkah Rusia yang meneken Black Sea Grain Initiative pada 2022, yang membuka jalur perdagangan baru.
Jalur baru ini membuat harga minyak nabati biji-bijian di Eropa menjadi lebih murah.
Faktor lainnya yang menyebabkan rendahnya harga minyak nabati biji-bijian adalah produksi dan stoknya yang berlimpah.
Eddy Martono menjelaskan, hal itu disebabkan Eropa memacu penanaman biji-bijian penghasil minyak nabati sebagai respon atas larangan ekspor CPO yang sempat diberlakukan Indonesia pada 2022, menyusul kelangkaan dan meroketnya harga minyak goreng dalam negeri.
“Mereka kan harus menjaga ketahanan pangan, sehingga mereka terus menanam dan menanam, sampai produksi minyak bunga matahari berlimpah,” Eddy menerangkan.
Selain minyak bunga matahari, minyak kedelai juga melimpah dan harganya lebih rendah dari minyak sawit.
Akibatnya, negara-negara pengimpor sawit mengalihkan sebagian kebutuhannya dengan mengimpor minyak nabati biji-bijian dari Eropa.
“Kalau ada yang lebih murah, tentu mereka akan cari yang lebih murah,” ujar Eddy.
Di samping adanya barang substitusi yang lebih murah, turunnya permintaan impor CPO dari negara-negara importir potensial seperti Paskistan dan Cina, juga disebabkan terjadinya perlambatan ekonomi di negara tersebut, dan di sisi lain, stok mereka masih cukup.
Stagnan
Lebih jauh Eddy Martono mengingatkan bahwa Indonesia memang merupakan produsen sawit terbesar di dunia, sekaligus konsumen terbesar pula, yang tingkat konsumsinya cenderung terus naik. Padahal saat ini, kata Eddy, produksi sawit sudah stagnan.
Kondisi stagnan ini masih berlangsung, meski telah diupayakan percepatan peremajaan sawit rakyat (PSR).
Eddy menegaskan, kalau tidak hati-hati, dan konsumsi dalam negeri makin naik terus, maka ekspor akan terus menurun.
Sehingga, kendati kelak permintaan dari negara importir CPO sudah normal, namun belum tentu Indonesia dapat memenuhinya.
“Maka yang akan kita korbankan pasti devisa hasil ekspor. Ini yang harus diwaspadai bersama,” Eddy menandaskan.







Komentar Via Facebook :