Berita / Nasional /
Genjot Penerimaan Negara dari Pengusaha Sawit Nakal, Komisi II DPR Usulkan Land Amnesty
Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda. Foto : Humas DPR RI
Jakarta, elaeis.co - Meskipun baru berjalan kurang lebih tiga bulan di awal periode, Komisi II DPR RI Periode 2024-2029 telah menjalankan tugas dengan dedikasi tinggi.
Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menjelaskan, pada periode awal di 2024, Komisi II telah menerima pengaduan masyarakat sejumlah 495 pengaduan yang terdiri dari 4 klaster. Yakni pengaduan masyarakat bidang kepemiluan sebanyak 201 aduan, bidang pertanahan dan tata ruang sebanyak 120 aduan, bidang ASN dan honorer sebanyak 114 aduan, dan bidang otonomi daerah sebanyak 60 aduan masyarakat.
“Pada tahun 2025 ini Komisi II akan fokus melakukan penyelesaian honorer menjadi ASN, pelaksanaan sistem merit bagi ASN, penataan hukum pertanahan dan tata ruang di Indonesia, hingga evaluasi pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024," jelas Politisi Fraksi Partai NasDem tersebut dalam keterangan resmi Setjen DPR RI dikutip elaeis.co Ahad (5/1).
Khusus penataan hukum pertanahan dan tata ruang, menurutnya, Komisi II DPR RI memiliki komitmen untuk mendukung sepenuhnya visi Presiden Prabowo Subianto untuk menegakkan hukum pertanahan tata ruang pada satu pihak dan meningkatkan penerimaan negara pada pihak yang lain.
Untuk itu, dia mengusulkan pembentukan atau merevisi aturan pertanahan untuk mendorong pemilik tanah mendaftarkan tanahnya agar memiliki sertifikat dan menjadi wajib pajak. Salah satu aturan yang diusulkan adalah land amnesty. "Kalau Komisi XI DPR RI memperkenalkan tax amnesty, saya kira Komisi II DPR RI akan memperkenalkan land amnesty," tukasnya.
Menurutnya, land amnesty ditujukan bagi para pengusaha yang sudah menikmati tanah berpuluh-puluh tahun namun cenderung tidak mau mendaftarkan tanahnya. “Masih ditemukannya lahan yang digunakan tapi tidak memiliki hak guna usaha (HGU). Nah, land amnesty ini bakal menyasar pihak yang telah menikmati tanah secara ilegal puluhan tahun itu,” jelasnya.
Dengan adanya land amnesty, diharapkan tanah yang selama ini belum terdaftar akan didaftarkan oleh pihak yang menguasai. "Tanah tidak legal itu enak, nggak bayar pajak. Hanya mempergunakan pengaruh dan kekuasaan serta power-nya," tandasnya.
“Teknisnya, penguasa tanah ilegal diberi waktu selama enam bulan hingga satu tahun untuk mendaftarkan agar memiliki sertifikat sehingga menjadi objek wajib pajak dan dapat menambah pendapatan negara. Kalau sudah didaftarkan, masa lalu dari penggunaan lahan itu akan diabaikan. Kalau tidak sadar diri juga mendaftarkan tanahnya, kita berikan kesempatan negara mengambil alihnya,” sambungnya.
Diakuinya, penertiban lahan-lahan ilegal tidak mudah dilakukan karena bakal bersinggungan dengan oknum-oknum yang melindungi. Namun jika bisa dijalankan, menurutnya, potensi pajak dari land amnesty cukup besar dan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan nasional. HGU perkebunan sawit yang belum diselesaikan saja luasnya mencapai 3 juta hektar.
“Kita akan panggil Nusron Wahid (Menteri ATR/Kepala BPN) ke Komisi II untuk memastikan ini. Karena kalau 3 juta hektare ini bisa segera di-HGU-kan, kita akan mendapatkan penerimaan negara lebih dari Rp 1.800 triliun," pungkasnya.
“Dan yang tidak kalah penting, dalam ketentuan undang-undang disebutkan, setiap perkebunan bukan hanya wajib ada intinya, tapi ada plasmanya. Plasma ini untuk rakyat. Mudah-mudahan dengan semakin besar HGU sawit yang bisa teregistrasi di negara, semakin besar pula porsi untuk rakyat yang bisa diberikan kepada mereka yang ada di sekitar perkebunan,” imbuhnya.







Komentar Via Facebook :