https://www.elaeis.co

Berita / Pasar /

Emiten Sawit Dihantui Risiko Besar di 2026, Saham Berisiko Goyang Tahun Depan

Emiten Sawit Dihantui Risiko Besar di 2026, Saham Berisiko Goyang Tahun Depan


Jakarta, elaeis.co – Industri kelapa sawit Indonesia diproyeksikan tetap tumbuh pada 2026, tapi jalannya tak lagi lurus. Di balik prospek permintaan global yang masih kuat, emiten sawit justru dibayangi sederet risiko besar yang berpotensi menggoyang kinerja saham tahun depan.

Riset terbaru Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, sektor sawit masih menyimpan daya tarik, terutama karena posisi Indonesia sebagai produsen dan eksportir Crude Palm Oil (CPO) terbesar dunia. 

Baca Juga: Lengkap! Begini Perjalanan Harga CPO Sepanjang 2025

Namun, tekanan regulasi global, volatilitas harga, hingga kebijakan domestik membuat ruang gerak emiten tak seleluasa sebelumnya.

Permintaan minyak sawit dunia dinilai tetap solid, terutama dari Asia, Timur Tengah, dan Afrika. Meski begitu, peta perdagangan mulai berubah. 

Regulasi keberlanjutan seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR) menjadi momok baru yang memperketat akses pasar, khususnya ke Eropa. Artinya, bukan cuma volume yang diuji, tapi juga kepatuhan rantai pasok dari hulu ke hilir.

Dari sisi produksi, Indonesia diperkirakan masih mencatat pertumbuhan pada 2025–2026. Kenaikan ini bukan datang dari pembukaan lahan baru, melainkan dari peningkatan produktivitas dan percepatan program replanting. 

Baca Juga: Sawit Paling Produktif, Dunia Justru Terjebak Narasi Emosional Anti-Sawit

Pilarmas memperkirakan produksi sawit nasional naik sekitar 10% pada 2025 dan bertambah 4–5% pada 2026, dengan catatan cuaca relatif bersahabat.

Soal harga, CPO global diproyeksikan tetap berada di level tinggi secara historis pada 2026, di kisaran US$ 1.050–1.150 per ton. Namun, harga ini diperkirakan akan bergerak liar, sangat sensitif terhadap kebijakan biofuel, dinamika cuaca, serta kondisi ekonomi global yang belum sepenuhnya stabil.

Di dalam negeri, kebijakan mandatori biodiesel justru menjadi pedang bermata dua. Program B40 hingga B50 akan meningkatkan serapan CPO domestik dan menopang harga. 

Tapi di sisi lain, volume ekspor bisa tergerus, yang berpotensi mengubah struktur pendapatan emiten sawit yang selama ini mengandalkan pasar luar negeri.

Pilarmas menilai, rencana penerapan biodiesel B50 pada semester II-2026 bisa menjadi pemicu lonjakan harga CPO global. Dampaknya, harga Tandan Buah Segar (TBS) petani berpeluang ikut terangkat. 

Namun bagi emiten, tantangannya adalah menjaga margin di tengah kenaikan biaya dan tuntutan efisiensi.

Risiko lain datang dari aspek tata kelola. Tuntutan transparansi, traceability, dan sertifikasi makin ketat. Tanpa penguatan ISPO dan adopsi teknologi digital untuk pelacakan rantai pasok, daya saing sawit Indonesia bisa tergerus perlahan, seperti karat yang bekerja diam-diam.

Dalam kondisi penuh tikungan ini, Pilarmas menyoroti sejumlah saham sawit yang berpotensi bergejolak pada 2026, yakni AALI, LSIP, BWPT, dan GZCO. 

Saham-saham ini dinilai menarik untuk dicermati, namun tetap mengandung risiko tinggi seiring dinamika harga CPO dan kebijakan global.

Kesimpulannya, 2026 bukan tahun nyaman bagi emiten sawit. Prospek masih ada, tapi tantangan jauh lebih kompleks. 

Bagi investor, sektor ini menjanjikan peluang sekaligus peringatan: satu kebijakan bisa jadi angin segar, kebijakan lain bisa berubah jadi badai.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :