https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Sawit Paling Produktif, Dunia Justru Terjebak Narasi Emosional Anti-Sawit

Sawit Paling Produktif, Dunia Justru Terjebak Narasi Emosional Anti-Sawit


Jakarta, elaeis.co – Perdebatan global tentang kelapa sawit dinilai semakin menjauh dari fakta ilmiah dan lebih didorong oleh narasi emosional. 

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB University), Prof. Sudarsono Soedomo, menegaskan bahwa sawit merupakan tanaman minyak nabati paling produktif dan efisien secara lahan, namun justru kerap diposisikan sebagai musuh lingkungan dunia.

Menurut Prof. Sudarsono, diskursus sawit di tingkat global sering kali dimulai dari asumsi moral dan kampanye lingkungan, bukan dari data produktivitas dan efisiensi biologis. Padahal, fakta ilmiah menunjukkan sawit memiliki keunggulan yang sulit ditandingi tanaman minyak nabati lain.

“Kalau berbicara berbasis angka, sawit itu tanaman minyak paling hemat lahan yang pernah dikembangkan manusia,” ujar Prof. Sudarsono dalam keterangannya. 

Ia menjelaskan, satu hektare kelapa sawit mampu menghasilkan rata-rata sekitar empat ton minyak per tahun. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan sunflower, canola, kedelai, maupun jagung. 

Untuk menghasilkan volume minyak yang setara dengan satu hektare sawit, dunia membutuhkan lahan sekitar enam kali lebih luas jika menggunakan sunflower, bahkan bisa mencapai 25 kali lipat jika mengandalkan jagung.

Fakta efisiensi lahan ini, menurut Prof. Sudarsono, kerap diabaikan dalam perdebatan lingkungan global. Padahal, di tengah krisis iklim dan keterbatasan lahan, efisiensi biologis seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan pangan dan energi dunia.

“Dalam situasi lahan makin sempit dan tekanan iklim meningkat, menyingkirkan sawit justru berpotensi memperluas pembukaan lahan di tempat lain,” katanya.

Lebih jauh, Prof. Sudarsono menilai keunggulan sawit membuka peluang solusi lingkungan yang jarang dibahas. Pengembangan sawit di wilayah tropis, menurutnya, secara teoritis dapat diimbangi dengan pengurangan tanaman minyak nabati non-sawit di negara beriklim sedang untuk kemudian direforestasi.

“Secara matematis, pasokan minyak dunia tetap terjaga, bahkan ada peluang menambah cadangan karbon melalui reforestasi,” ujarnya.

Namun, pendekatan rasional semacam ini kerap kandas karena pertimbangan ekonomi politik. Prof. Sudarsono menyebut, pengakuan terhadap keunggulan sawit akan memengaruhi kepentingan petani dan industri minyak nabati non-sawit di negara maju.

“Banyak kampanye anti-sawit terdengar hijau, tapi sesungguhnya proteksionis. Lingkungan sering dijadikan alasan untuk melindungi struktur ekonomi lama,” tegasnya.

Meski demikian, ia mengingatkan bahwa keunggulan sawit tidak boleh menjadi pembenaran atas praktik tata kelola yang buruk. Keberlanjutan dan penegakan hukum tetap menjadi syarat mutlak.

Menurut Prof. Sudarsono, dunia perlu keluar dari jebakan narasi emosional dan kembali pada rasionalitas berbasis data. Tanpa itu, sawit akan terus dijadikan kambing hitam, sementara tekanan terhadap hutan dan iklim global justru berpindah ke komoditas dan wilayah lain.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :