https://www.elaeis.co

Berita / Kalimantan /

Ekspansi Sawit Paksa Masyarakat Adat di Seruyan Jadi Buruh Perkebunan

Ekspansi Sawit Paksa Masyarakat Adat di Seruyan Jadi Buruh Perkebunan

Project Officer YMKL Kalimantan memaparkan hasil penelitian yang dilakukan di empat desa sekitar perkebunan sawit di Seruyan. Foto: ist.


Palangkaraya, elaeis.co – Ekspansi perkebunan sawit di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, menyebabkan perubahan sosial yang signifikan bagi masyarakat adat di sejumlah desa.

Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) telah melakukan survei pada Oktober-November 2024 di Desa Parang Batang dan Paring Raya, Kecamatan Hanau, serta Desa Sembuluh I dan Sembuluh II, Kecamatan Danau Sembuluh. Hasilnya menunjukkan telah terjadi perubahan corak produksi akibat pergeseran jenis pekerjaan masyarakat adat yang dulunya mengandalkan hutan dan danau sebagai mata pencaharian.

Berdasarkan survei YMKL, ada 14 perusahaan perkebunan sawit beroperasi di empat desa tersebut. Di Desa Paring Raya, 41 persen lahan telah dibebani izin perkebunan sawit milik PT Wana Sawit Subur Lestari II (1.242,48 ha) dan PT Musirawas Citra Harpindo (1.622,63 ha). Di Desa Parang Batang ada tiga perusahaan yang beroperasi, masing-masing PT Wana Sawit Subur Lestari II (3.521 ha), PT Sawitmas Nugraha Perdana (3.703,68 ha) dan PT Musirawas Citra Harpindo (553,64 ha).

Di Desa Sembuluh I, 71 persen lahan dibebani oleh izin perkebunan sawit milik tiga perusahaan. 
Sementara di Desa Sembuluh II, enam perusahaan menguasai 45 persen lahan desa.

“Saat ini wilayah kelola rakyat semakin sempit, akses terhadap sumber daya alam berkurang drastis akibat kehadiran perusahaan sawit. Akibatnya masyarakat terpaksa beralih dari petani tradisional atau pedagang menjadi buruh harian di perkebunan sawit dengan penghasilan yang terbatas yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ungkap Project Officer YMKL untuk Kalimantan, Djayu Sukma Ifantara, dalam keterangan resmi dikutip elaeis.co Senin (3/2).

Menurutnya, kondisi paling mencolok terlihat di Desa Paring Raya dan Parang Batang. Sekitar 75-80 persen masyarakat kini bekerja sebagai buruh perkebunan sawit dengan upah harian hanya Rp 80 ribu. “Aspek sosial dari perluasan perkebunan ini seolah terlupakan, padahal dampaknya begitu besar bagi masyarakat,” sebutnya.

Perluasan perkebunan sawit menyebabkan akses masyarakat ke lahan menjadi terbatas sehingga mereka sulit mencari pekerjaan sampingan. “Dulu masyarakat bisa memenuhi kebutuhan hidup dari hasil hutan dan ladang, sekarang tidak lagi,” jelasnya.

Karena makin tergantung pada penghasilan dari perusahaan, menurutnya, keterampilan bertani yang diwariskan secara turun-temurun di tengah masyarakat juga lama kelamaan menghilang.
“Masyarakat tidak punya kesempatan mengelola lahan sendiri, sistem plasma membuat mereka sepenuhnya bergantung pada perusahaan,” terangnya.

“Terjadi de-skilling, generasi muda tidak lagi memiliki keterampilan mengelola lahan secara mandiri. Mereka pun semakin bergantung pada pekerjaan sebagai buruh tanpa memiliki alternatif mata pencaharian lain,” tambahnya.

Dia berharap hasil survei tersebut menjadi masukan bagi pemerintah yang berencana memperluas perkebunan sawit dan meningkatkan produksinya untuk mendukung ketahanan pangan dan kemandirian energi.

“Survei ini menunjukkan urgensi untuk meninjau ulang kebijakan perkebunan sawit dan memastikan hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka terlindungi. Pemangku kebijakan harus mengambil langkah yang lebih berpihak kepada masyarakat agar mereka tidak terus-menerus terjebak dalam sistem yang merugikan,” pungkasnya.


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :