https://www.elaeis.co

Berita / KELINDAN KATA /

Ekonomi yang Tidak Menindas dari Hulu

Ekonomi yang Tidak Menindas dari Hulu

Seorang petani di Subulussalam memuat TBS ke dalam truk untuk segera diantar ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Foto: Aziz


Banyak orang mengira pembangunan ekonomi hanya soal uang, teknologi, dan pertumbuhan angka. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa penentu utama keberhasilan suatu bangsa justru lebih halus: kapital sosial. 

Kepercayaan, norma bersama, dan kemampuan bekerja sama—itulah mesin senyap yang membuat ekonomi bergerak efisien atau justru macet.

Francis Fukuyama pernah menegaskan bahwa masyarakat dengan tingkat kepercayaan tinggi mampu membangun organisasi ekonomi yang lebih kompleks dan produktif. 

Sebaliknya, masyarakat dengan kepercayaan rendah terjebak dalam biaya transaksi tinggi, kecurigaan, dan fragmentasi. Di titik inilah pembangunan sering gagal sebelum benar-benar dimulai.

Masalahnya, dalam dunia nyata, tidak semua aktor ekonomi memiliki tingkat organisasi yang sama. Korporasi hampir selalu lebih terorganisasi daripada petani atau pelaku usaha kecil. 

Teori dan praktik sama-sama menunjukkan satu hal: sistem yang lebih terorganisasi cenderung mengeksploitasi yang kurang terorganisasi. Bukan karena niat jahat, melainkan karena struktur yang timpang.

Di sinilah peran negara menjadi krusial. Bukan untuk memusuhi pasar, tetapi untuk mencegah pasar berubah menjadi arena penindasan terselubung. Negara hadir sebagai penyeimbang, memastikan bahwa efisiensi tidak dibayar dengan ketidakadilan.

Salah satu kesalahan besar kebijakan adalah membiarkan integrasi vertikal tanpa batas. Ketika satu korporasi menguasai rantai produksi dari hulu hingga hilir, petani berubah menjadi sekadar penyedia bahan mentah tanpa daya tawar. 

Nilai tambah terkunci di atas, sementara risiko tersebar di bawah. Implikasi sederhananya adalah jangan pernah melarang pabrik pengolahan yang tidak memiliki bahan baku yang diproduksinya sendiri.

Alternatifnya bukan mengusir korporasi, melainkan membatasi dominasinya. Biarkan petani mengelola produksi bahan baku—tandan buah segar, kayu rakyat, hasil kebun—sementara pengolahan dilakukan oleh korporasi yang memang unggul secara organisasi dan teknologi. 

Baca juga: Menata Ulang Arah Kerja Satgas PKH

Relasi saling tergantung seperti ini membuka ruang bagi kepercayaan, stabilitas pasokan, dan pembagian nilai tambah yang lebih adil.

Namun ekonomi yang inklusif tidak berhenti di sana. Kita juga perlu mengoreksi dogma lama bahwa pemerataan selalu mengorbankan pertumbuhan. Logika ini tampak masuk akal di atas kertas, tetapi rapuh di lapangan.

Bayangkan satu triliun rupiah dikuasai oleh satu orang. Investasinya cenderung jauh dari tempat tinggalnya ---ke pusat-pusat global yang dianggap aman dan menguntungkan. 

Sebaliknya, jika satu triliun rupiah tersebar ke seribu orang di desa, investasi akan mengalir ke warung, bengkel, sawah, kebun, dan usaha lokal. Uang bekerja di tempat ia lahir.

Pemerataan bukan musuh pertumbuhan. Dalam banyak kasus, justru ia adalah pemicunya. Ekonomi yang bertumpu pada banyak pusat kecil sering kali lebih tahan krisis dan lebih cepat pulih dibanding ekonomi yang ditopang segelintir menara tinggi.

Ekonomi yang adil bukan ekonomi tanpa korporasi, dan bukan pula ekonomi tanpa pasar. Ia adalah ekonomi yang memahami bahwa efisiensi perlu dijinakkan oleh keadilan, dan pertumbuhan perlu ditopang oleh kepercayaan sosial. 

Tanpa itu, pembangunan hanya akan menghasilkan angka—bukan kesejahteraan. Masalah Indonesia bukan kekurangan kapital sosial, melainkan kegagalan mengubah kapital sosial menjadi institusi publik yang adil.


 

ProfSudarsonoSoedomo
BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :