Berita / KELINDAN KATA /
Menata Ulang Arah Kerja Satgas PKH
Plang penguasaan lahan milik masyarakat oleh Satgas PKH di kawasan Indragiri Hilir, Riau. Foto: Ist
Niat baik tidak pernah cukup. Dalam kebijakan publik, niat yang tidak disertai cara yang benar justru dapat melahirkan masalah baru yang lebih serius. Itulah kesan yang kini menguat terhadap cara kerja Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH).
Banyak pihak mengeluhkan bahwa satgas ini bergerak seolah berada di atas hukum, bukan di dalam kerangka hukum yang seharusnya menjadi landasannya.
Masalahnya bukan pada tujuan. Hampir semua orang sepakat bahwa penertiban penguasaan lahan yang menyimpang adalah agenda penting.
Namun persoalan mendasarnya terletak pada pijakan yang digunakan. Satgas PKH menjadikan “kawasan hutan” sebagai acuan utama, padahal status kawasan hutan di Indonesia sendiri masih merupakan klaim administratif yang bermasalah secara hukum.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 secara tegas mengatur bahwa penetapan kawasan hutan harus melalui tahapan yang jelas dan partisipatif.
Pasal 15 UU tersebut mensyaratkan adanya penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan hutan di Indonesia berhenti pada tahap penunjukan.
Artinya, statusnya belum final secara hukum. Kondisi ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 dan Nomor 34/PUU-IX/2011 yang menegaskan bahwa kawasan hutan yang belum ditetapkan tidak dapat diperlakukan seolah-olah telah sah secara hukum.
Dalam konteks ini, menjadikan klaim kawasan hutan sebagai dasar penertiban kebun rakyat jelas bermasalah. Negara seharusnya lebih dulu membereskan klaimnya sendiri sebelum menertibkan rakyat atas dasar klaim tersebut. Membalik urutan ini bukan hanya keliru secara hukum, tetapi juga tidak adil secara moral.
Situasi di lapangan memang sudah terlanjur semrawut. Tumpang tindih penguasaan lahan terjadi di mana-mana. Namun justru karena kompleksitas itulah negara dituntut bersikap lebih bijak dan proporsional.
Kebun petani yang dipahami berada di dalam klaim kawasan hutan bukanlah spekulasi bisnis, melainkan soal hidup dan mati keluarga petani. Bagi mereka, kebun adalah satu-satunya sumber penghidupan, bukan instrumen akumulasi modal.
Dalam kondisi seperti ini, pendekatan represif terhadap petani kecil hanya akan memperdalam ketidakpercayaan publik terhadap negara. Negara akan kembali dipersepsikan sebagai entitas kuat yang menekan yang lemah, bukan sebagai pengatur yang adil.
Sebaliknya, fokus penertiban seharusnya diarahkan pada penyimpangan izin oleh korporasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di banyak tempat, luas kebun yang dibangun korporasi jauh melampaui luas izin yang diberikan.
Penyimpangan ini relatif mudah dibuktikan melalui citra satelit dan dokumen perizinan. Di sinilah negara seharusnya hadir dengan tegas.
Perbedaan antara luas kebun riil dan luas izin bukan wilayah abu-abu. Itu pelanggaran nyata. Negara tidak hanya berhak, tetapi wajib menyita kelebihan tersebut dan menjatuhkan sanksi tambahan yang proporsional.
Langkah ini jauh lebih kuat secara hukum, lebih adil secara sosial, dan lebih efektif dalam mengembalikan wibawa negara. Hindari juga menghukum korporasi secara berlebihan, bahkan hingga bangkrut total.
Jika Satgas PKH ingin benar-benar berhasil, maka arah kerjanya perlu dikoreksi. Tertibkan klaim kawasan hutan terlebih dahulu. Lindungi kebun petani kecil. Fokus pada penyimpangan izin korporasi.
Dengan cara itulah penertiban kawasan hutan dapat menjadi kebijakan yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil secara sosial dan bermartabat secara moral. Negara tidak boleh menegakkan hukum dengan cara yang melanggar hukum itu sendiri.








Komentar Via Facebook :