https://www.elaeis.co

Berita / Kalimantan /

Caplok Lahan Kelompok Tani Sumber Rezeki, Kejagung Diminta Tindak Perusahaan Sawit

Caplok Lahan Kelompok Tani Sumber Rezeki, Kejagung Diminta Tindak Perusahaan Sawit

Sengketa lahan memicu konflik horizontal di Kalteng. Foto: ist.


Jakarta, elaeis.co – Perusahaan perkebunan sawit PT BSP diduga melakukan perambahan dan perusakan kawasan hutan di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah (Kalteng). Kejaksaan Agung (Kejagung) diminta mengambil tindakan tegas.

Staf Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mata Nusantara, Anekaria Safari, mengaku sudah membuat surat ke Jaksa Agung tentang dugaan pelanggaran hukum tersebut. Safari merupakan kuasa hukum dari Ardiansyah dan Julkipli, pengurus Kelompok Tani Sumber Rezeki.

“Surat itu berdasarkan pengaduan dari klien kami yang menyatakan adanya dugaan penguasaan tanah dalam kawasan hutan yang dilakukan perusahaan untuk perkebunan kelapa sawit. Padahal, perkebunan tersebut berdiri di atas tanah anggota Kelompok Tani Sumber Rezeki seluas 655,95 hektar,” sebutnya dalam keterangan yang dikutip elaeis.co Ahad (23/2).

Dalam surat yang ditujukan kepada Jaksa Agung dan ditembuskan kepada Presiden Prabowo Subianto itu turut dilampirkan sejumlah bukti-bukti pendukung. “Diduga ada perambahan atau perusakan kawasan hutan serta dugaan korupsi penguasaan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan secara melawan hukum,” sambungnya.

Dia mengaku telah melakukan telaah terhadap koordinat lokasi lahan Kelompok Tani Sumber Rezeki di Desa Cempaka Mulia Timur, Kecamatan Cempaga, Kotawaringin Timur, seluas 655,95 hektar. Hasilnya, wilayah Kelompok Tani Sumber Rezeki berada di luar izin usaha perkebunan perusahaan yang dilaporkan itu dan masuk dalam kawasan hutan produksi.

“Ditambah dengan lahan milik kelompok tani, dugaan perambahan hutan untuk kebun sawit di luar izin usaha perkebunan yang dilakukan oleh perusahaan luasnya mencapai 4.428 hektar,” ungkapnya.

Pencaplokan lahan yang dilakukan oleh perusahaan sawit, menurutnya, mengakibatkan kliennya kehilangan mata pencarian. Masyarakat adat setempat juga mengalami kerugian signifikan sejak kehilangan hutan leluhur mereka yang subur yang kini jadi perkebunan kelapa sawit yang dikelola perusahaan.

Perbuatan perusahaan juga berpotensi membuat kerugian besar yang dialami negara. Menurutnya, berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, ada dua jenis penyelesaian perkebunan sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Dalam pasal 110A disebutkan bahwa perkebunan sawit yang telah terbangun, memiliki perizinan berusaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya undang-undang ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tanggal 2 November 2023.

Lalu, perkebunan sawit yang telah terbangun dan memiliki perizinan berusaha di dalam kawasan hutan, namun tidak menyelesaikan persyaratan dalam jangka waktu hingga 2 November 2023, dikenai sanksi administratif berupa pembayaran denda administratif dan/atau pencabutan perizinan perusahaan.

Pada pasal 110B disebutkan bahwa kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat yang dilakukan sebelum tanggal 2 November 2020, dikenai sanksi administratif. Ini berupa penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administratif dan/atau paksaan pemerintah.

“Bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh perusahaan telah memenuhi perbuatan melawan hukum serta ketentuan pidana lainnya,” pungkasnya.


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :