Berita / Nasional /
Aturan Baru Plasma Sawit 30 Persen, Ombudsman: Berpotensi Maladministrasi
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika. foto: ORI
Jakarta, elaeis.co – Rencana pembuatan aturan baru terkait hak guna usaha (HGU) bagi perusahaan sawit yang diungkapkan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dalam Rapat Kerja dengan Komisi II DPR RI Kamis (30/01) lalu masih jadi pembicaraan hangat.
Saat itu, Nusron mengatakan bahwa pemerintah akan mewajibkan perusahaan sawit menyediakan lahan plasma untuk masyarakat sebesar 20 persen dari total luas kebun sawit sebelum mengajukan HGU baru maupun perpanjangan HGU. Artinya, kewajiban 20 persen lahan plasma hanya berlaku untuk pemberian HGU tahap pertama selama 35 tahun dan perpanjangan tahap kedua untuk HGU yang berlaku selama 25 tahun berikutnya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, pemilik HGU diberikan jangka waktu penguasaan paling lama 35 tahun untuk tahap pertama. Pemilik HGU bisa melakukan perpanjangan hingga 25 tahun untuk tahap kedua setelah HGU tahap pertama sudah habis, dan pembaruan tahap terakhir atau tahap ketiga selama 35 tahun.
Nah, bagi perusahaan sawit yang sudah mengelola lahan selama 60 tahun (HGU tahap pertama dan kedua), jika mengajukan pembaruan HGU tahap ketiga, maka diberlakukan aturan baru yakni kewajiban plasma ditambah 10 persen sehingga menjadi 30 persen.
Pro kontra bermunculan menanggapi aturan baru plasma ini. Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika juga ikut bersuara. Menurutny, mewajibkan perusahaan sawit menyediakan lahan plasma sebesar 30 persen berpotensi maladministrasi.
Dia mengingatkankan, Kementerian ATR/BPN harus patuh pada aturan yang ada. “Aturannya 20 persen, ya 20 persen. Atau ubah dulu aturannya, undang-undangnya diubah. Misalnya undang-undangnya maunya 30 persen, 40 persen, monggo. Kalau undang-undangnya mengatakan 20 persen, ya harus 20 persen,” tegasnya dalam dalam siaran pers dikutip elaeis.co Rabu (5/2).
Menurutnya, ada sejumlah regulasi yang mengatur kewajiban plasma 20 persen bagi pemegang HGU dalam industri sawit. Salah satunya Pasal 58 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lalu Pasal 58 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 11 Ayat 1 Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2007, dan Pasal 15 Ayat 1 Permentan Nomor 98 Tahun 2013.
“Boleh saja Menteri ATR/BPN mau menerapkan aturan plasma untuk kepentingan petani. Tapi harus tetap mengacu pada aturan yang ada. Kalau rencana menambah plasma jadi 30 persen tetap dilaksanakan, jelas melanggar aturan yang ada. Maladministrasi itu berarti,” tandasnya.
Jika tujuannya untuk mempercepat realisasi plasma, dia menyarankan pemerintah lebih fokus melakukan audit kepatuhan perusahaan merealisasikan plasma 20 persen. Sebab, sejauh ini masih banyak pemilik HGU belum melaksanakan kewajiban plasma 20 persen kepada masyarakat. “Sudah dievaluasi belum? Jangan-jangan yang 20 persen itu belum dievaluasi,” ujarnya.
Dia juga menekankan, kalau kewajiban plasma 30 persen diterapkan, dikhawatirkan akan timbul masalah mengingat ketersediaan lahan semakin terbatas. “Niatnya baik untuk masyarakat, tapi nanti akhirnya malah fire back,” pungkasnya.







Komentar Via Facebook :