https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

Yesss, Uni Eropa Melunak...

Yesss, Uni Eropa Melunak...

(kiri) Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Manurung dan Dubes Uni Eropa, Vincent Piket. foto: dok: KSP


Jakarta, elaeis.co - Andai orang awam yang menyimak omongan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam ini, mereka akan langsung beranggapan bahwa Uni Eropa ini adalah sekumpulan negara yang super ketat menjaga lingkungan dari polusi apapun.

Sebab sang Duta Besar, Vincent Piket, selalu mengumbar bahasa berkelanjutan (sustainable) saat berbicara dengan siapapun, terkait produk yang mereka pakai, terlebih saat bicara terkait sawit. Dia bilang negaranya butuh yang sustainable.  

Kalau sudah super ketat begini menjaga lingkungannya, sudah otomatis orang menduga bahwa pencemaran lingkungan di Uni Eropa sangat minim dan bahkan enggak ada sama sekali. 

Tapi kalau orang yang sudah paham, dia paling beranggapan bahwa Uni Eropa sedang berjibaku menurunkan emisi karbon yang telah mengantarkan "Negara 27" ini berada di urutan ketiga penghasil emisi karbon terbesar dunia; 3,33 Gt CO2 eq. Climatewatchdata 2018 yang merangking itu.

Lantaran sedang berjibaku itulah Uni Eropa membikin aturan; produk apapun yang masuk, musti bebas dari potensi merusak lingkungan dan bukan bersumber dari usaha yang merusak lingkungan.  

Hanya saja, sikap seolah-olah negaranya cinta lingkungan, semestinya tidak ditujukan kepada Indonesia. 

Sebab urusan pencemaran, Indonesia jauh lebih bersih ketimbang Uni Eropa. Emisi karbon Indonesia versi Climatewatchdata di tahun yang sama, hanya; 1,7 Gt CO2 eq. 

Kalau kepada China atau Amerika, bolehlah Uni Eropa super ketat. Sebab masih menurut Climatewatchdata, emisi karbon China berada jauh di atas Uni Eropa; 11,71 Gt CO2 eq. 

Angka ini menempatkan China penghasil emisi terbesar di dunia dan disusul Amerika yang emisi karbonnya mencapai 5,79 Gt CO2 eq. 

Dan kalau kepada orang Indonesia Vincent ngomong, yang langsung teringat adalah isi Renewable Energy Directive (RED II) yang diratifikasi oleh komisi Uni Eropa akhir 2018 lalu. 

Negara penghasil sawit sampai tersinggung lantaran sangat mendiskriminasi sawit. Gugatan Indonesia atas RED II itu malah sedang berproses. 

Mengingat ini semualah makanya omongan Vincent jadi terkesan menghadirkan tanda tanya waktu dia bicara di Kantor Staf Presiden (KSP), dua hari lalu. 

Kebetulan KSP mengundang Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) dan Dubes Uni Eropa itu ke Bina Graha Jakarta.

Di sana Vincent bilang bahwa Eropa tidak bisa lepas dari kelapa sawit dan tidak diskriminatif menerapkan persyaratan sustainable

"Memang kelapa sawit dalam bentuk biofuel, belum bisa dianggap sebagai komoditi yang sustainable, namun untuk produk Crude Palm Oil (CPO) lainnya tidak masalah," katanya. 
 
Omongan Vincent selanjutnya yang memunculkan tanda tanya; Kami ingin bekerjasama dengan Indonesia tanpa melihat lagi masa lalu. Yang kita lihat masa dari sekarang.

"Indonesia harus bisa menunjukan niat untuk tidak merusak lingkungan hidup ke depannya. Ini akan menjadi inspirasi bagi negara negara lain," ada kesan seolah-olah Indonesia telah begitu besar membuat kerusakan di muka bumi. 

Padahal, kalaupun emisi oleh perubahan penggunaan lahan dan kehutanan Indonesia mencapai 734,28 Mt CO2 eq, karbon yang diserap oleh kelapa sawit saja sudah lebih dari 1,0 Gt. Itu jika serapan 16,38 juta hektar kelapa sawit Indonesia dipukul rata 65,4 ton per hektar pertahun.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung, juga mengaku kalau omongan Vincent tadi terasa aneh. 

"Jujur saya heran. Kenapa begitu cepat bergeser 'bingkai' yang selama ini mereka ributkan dan malah bergeser ke Biofuel? Bukankah Biofuel justru energi hijau yang sangat baik terhadap lingkungan?" ujar ayah dua anak itu kepada elaeis.co, tadi malam. 

Lantaran aneh itulah, doktor lingkungan Universitas Riau ini berusaha mencermati dan akan jeli menengok kemana sebenarnya arah perubahan 'bingkai' Uni Eropa itu. "Jangan kita larut oleh irama mereka," Gulat mengingatkan.

Kalau kemudian biodiesel yang dipersoalkan kata Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini, ya sudah. "Biodisel biar urusan dalam negeri, toh yang memakai kita sendiri kok. Yang penting ekspor minyak sawit dan turunannya ke Uni Eropa naik terus," katanya. 

Apapun itu, Gulat bersyukur juga Uni Eropa sudah melunak terhadap Sawit Indonesia. Dan lelaki 49 tahun ini dengan tegas bilang bahwa petani kelapa sawit Indonesia sudah sangat mengedepankan sustainable dalam membudidayakan sawit. 

"Ini kelihatan dari beberapa indikator yang sudah kami teliti di 22 provinsi perwakilan Apkasindo. Aspek ekologi, ekonomi dan sosial paling tinggi ketimbang yang lain," ujarnya. 

Setelah tetamunya ngomong panjang lebar, Kepala KSP, Moeldoko menyimpulkan bahwa yang jelas, Uni Eropa butuh kelapa sawit meski makin memperketat sustainabilitynya. 

Untuk sustainability ini, Eropa tidak hanya menerapkan pada sawit, tapi juga komoditi lain dan Biofuel masih menjadi catatan penting bagi Uni Eropa.

Lantas apa komentar pegiat kelapa sawit terkait omongan Vincent tadi? "Hehehe...Uni Eropa itu suka berbohong, menutup-nutupi dosanya terhadap lingkungan dengan cara menuding negara berkembang seperti Indonesia merusak lingkungan," kata Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung.

Lelaki 56 tahun ini kemudian menyodorkan data-data dalam bentuk diagram. "Kalau kita tengok data di atas, jika saat ini konsentrasi CO2 di atmosfir meningkat dan membuat suhu udara bumi naik, maka itu adalah dosa Uni Eropa sejak tahun 1600 an," ujarnya.

Selain emisi CO2, emisi gas Fluorocarbon Uni Eropa juga besar. Gas ini daya rusaknya pada lapisan ozon atmosfir bumi sangat dasyat. 

"Ozon berlubang membuat sinar ultraviolet menjadi bersifat carsiogenik," Tungkot mengurai. Wadduhh...


Catatan: tulisan ini telah mengalami perubahan judul dan pengeditan ulang pada pukul 12:18 WIB, Rabu (10/11). 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :